Salah satu Komoditas yang menjadi isu kuat belakangan ini barangkali adalah Bahan Bakar Minyak (BBM). Setiap opsi kebijakan atau bahkan kebijakan yang baru direncanakan terkait dengan komoditas tersebut, langsung direspons banyak pihak. Apalagi, jika kebijakan tersebut terkait dengan kenaikan harga atau pembatasan peredarannya, maka respons yang menonjol di masyarakat adalah respons yang cenderung reaktif. BBM tampaknya memang telah menjadi komoditas yang sangat sensitif kalau tidak bisa dibilang seksi. Sensitivitas tersebut kiranya bisa dipahami, sebab pemenuhan BBM menyentuh hajat hidup masyarakat luas. Masyarakat berduit hingga masyarakat papa, berkepentingan atas komoditas ini, kendati dalam skala yang berbeda. Pergerakan harga BBM, sudah pasti langsung akan diikuti dengan pergerakan harga berbagai kebutuhan hidup lainnya. Jika harga naik, inflasi sepertinya tidak bisa dihindari. Dalam kondisi seperti ini masyarakat berduit mungkin masih bisa menyiasati dengan mengalkulasi ulang kebutuhannya, sementara kalangan bawah semakin sulit untuk menjangkaunya. Dalam konteks pemenuhan kebutuhan BBM, meletusnya perang antarnegara, bisa jadi juga karena kepentingan pemenuhan energi mereka, BBM mereka. Perang itulah yang dikenal sebagai perang sumber daya energi, meski seringkali perang seperti itu dibalut dengan dalih beragam dan kental unsur politisnya. BBM berbahan fosil, merupakan sumber daya tak terbarukan. Konsumsi terus menerus menjadikan sumber daya semakin terbatas. Karena itu, pengaturan distribusinya harus cermat, tepat sasaran, tidak gamang dan mengedepankan aspek pemerataan dan berkeadilan. Jadi, pemerintah mestinya tidak perlu ragu-ragu mengambil kebijakan apakah membatasi konsumsi BBM bersubsidi dengan cara melarang mobil pribadi menggunakan premium, menaikkan harga premium secara bertahap, atau bahkan opsi lain asal tidak keluar dari regulasi yang ada, tidak dibawah tekanan asing dan demi kepentingan nasional. Seperti diketahui, kebijakan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi memang telah diamanatkan UU Nomor 22 Tahun 2011 tentang APBN Tahun Anggaran 2012 yang disahkan pada Oktober 2011. Pasal 7 ayat 6 UU APBN 2012 secara tegas menyatakan harga jual eceran BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan, sedangkan pasal 7 ayat 4 menyebutkan pengalokasian BBM bersubsidi secara tepat sasaran dilakukan melalui pembatasan konsumsi BBM jenis premium untuk kendaraan roda empat pribadi di wilayah Jawa Bali sejak 1 April 2011. Dalam pasal ini memang tidak merinci mekanisme pembatasan yang bakal diterapkan. Dengan demikian, kemudian muncul dugaan adanya unsur kesengajaan agar terbuka peluang pemerintah dan DPR menciptakan opsi-opsi yang lebih populis demi kepentingan politiknya. Jika dugaan ini benar maka politisasi komoditas BBM yang banyak dikhawatirkan sejumlah kalangan, menjadi kenyataan. Namun demikian, belakangan ini tampaknya muncul juga opsi untuk menaikkan harga BBM, dengan tujuan untuk menekan beban APBN karena nilai subsidi yang besar. Biaya produksi premium saat ini Rp8.200 per liter, sedangkan harga jualnya hanya Rp4.500 per liter, sehingga subsidi yang diberikan setiap liternya Rp3.700. Subsidi BBM yang ditanggung APBN selama ini sekitar Rp250 triliun per tahun. Dari subsidi yang besar tersebut sekitar 70 persen justru dinikmati kalangan masyarakat mampu. Padahal, seharusnya subsidi BBM dinikmati masyarakat kurang mampu. Pemberian susbsidi BBM menjadi tidak tepat sasaran. Dana sebesar itu semestinya bisa digunakan untuk mendukung pengembangan sektor pendidikan maupun infrastruktur jalan dan jembatan. Jika opsi menaikkan harga BBM yang dipilih, maka jelas-jelas tidak selaras dengan UU tentang APBN 2012. Sebab, UU ini hanya mengamanatkan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi, bukan menaikkan harga. Tidak ada legitimasi pemerintah menaikkan harga. Kendati begitu, jika langkah menaikkan harga yang benar-benar diambil, berarti langkah pembahasan perubahan APBN harus dilakukan, bahkan perlu dipercepat, sehingga kebijakan tentang BBM tidak menggantung, penuh ketidakpastian. Kebijakan menaikkan harga BBM memang kebijakan tidak populis, apalagi jika dikaitkan dengan kepentingan politik 2014 (Pemilu). Tapi, jika pilihan tersebut dinilai yang terbaik, maka harus diamankan, dan harus diikuti dengan kebijakan yang mengikuti. Alasannya, kenaikan harga BBM identik dengan inflasi. Inflasi berarti memperlemah daya beli. Kemampuan daya beli masyarakat bawah yang sudah terseok-seok, akan semakin tergerus dan tergusur. BBM memang bisa menjadi komoditas bernilai strategis untuk menyejahterakan masyarakat, tapi BBM juga bisa menjadi komoditas politik. BBM sebagai komoditas politik umumnya tidak akan banyak bermanfaat bagi masyarakat, kecuali hanya sesaat. Mari kita tunggu opsi apa yang diambil pemerintah terkait BBM ini...(*)

Pewarta:

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2012