Pemerintah China berjanji akan terus mendukung negara-negara di kawasan Timur Tengah untuk menjaga keamanan kawasan tersebut pascapenandatangan Deklarasi Beijing, yang menyatukan faksi-faksi di Palestina.
"Kami akan terus mendukung negara-negara di Timur Tengah dalam meningkatkan kemandirian strategis, bekerja dalam semangat solidaritas untuk mengatasi masalah keamanan kawasan," kata juru bicara Kemenlu China Mao Ning di Beijing, Kamis (25/7).
China menjadi tuan rumah sekaligus fasilitator penandatanganan Deklarasi Beijing pada 23 Juli 2024 yang menyatukan 14 faksi Palestina, termasuk Fatah dan Hamas, setelah mereka menjalani perundingan selama tiga hari pada 21-23 Juli di Beijing.
Dalam deklarasi itu, disepakati pembentukan pemerintahan sementara sebagai wujud rekonsiliasi di Palestina dengan fokus rekonstruksi Gaza pascakonflik dan misi untuk mendirikan negara Palestina merdeka.
"China berkomitmen untuk menjaga kawasan Timur Tengah tetap damai dan stabil serta membantu kawasan tersebut berkembang dan melakukan pembangunan," ujar Mao.
Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) menyatakan masih mengkaji kesepakatan itu namun tetap dengan tegas menentang peran Hamas dalam kesepakan tersebut.
Jubir Deplu AS Matthew Miller mengingatkan bahwa AS mengkategorikan Hamas sebagai organisasi teroris, bahkan jauh sebelum konflik terbaru pecah di Jalur Gaza pada 7 Oktober 2023.
Atas sikap AS tersebut, Mao mengatakan Dekralasi Beijing merupakan langkah penting menuju penyelesaian masalah Palestina dan mencapai perdamaian dan stabilitas di Timur Tengah.
China, menurut jubir Kemlu itu, menilai persoalan Palestina adalah inti permasalahan Timur Tengah.
"Kami dengan tegas mendukung rakyat Palestina dalam memulihkan hak-hak mereka yang sah, dan mendukung rakyat di negara-negara Timur Tengah dalam menentukan masa depan mereka sendiri," ungkap Mao Ning.
Wilayah Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza telah terpecah secara politik pascapemilu 2006, yang memberikan kemenangan kepada Hamas sehingga faksi tersebut menguasai Jalur Gaza.
Pascapemilu, pertikaian antara kedua faksi politik itu tak pernah berhenti dan menyulitkan perjuangan Palestina menjadi negara merdeka.
Pemerintahan gabungan antara dua faksi hanya berjalan singkat, yaitu hanya satu tahun.
Bentrokan berdarah yang meletus pada 2007 semakin melemahkan perjuangan Palestina. Hamas kemudian menguasai Gaza, sementara Fatah menjalankan Otoritas Palestina di Kota Ramallah, Tepi Barat.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2024
"Kami akan terus mendukung negara-negara di Timur Tengah dalam meningkatkan kemandirian strategis, bekerja dalam semangat solidaritas untuk mengatasi masalah keamanan kawasan," kata juru bicara Kemenlu China Mao Ning di Beijing, Kamis (25/7).
China menjadi tuan rumah sekaligus fasilitator penandatanganan Deklarasi Beijing pada 23 Juli 2024 yang menyatukan 14 faksi Palestina, termasuk Fatah dan Hamas, setelah mereka menjalani perundingan selama tiga hari pada 21-23 Juli di Beijing.
Dalam deklarasi itu, disepakati pembentukan pemerintahan sementara sebagai wujud rekonsiliasi di Palestina dengan fokus rekonstruksi Gaza pascakonflik dan misi untuk mendirikan negara Palestina merdeka.
"China berkomitmen untuk menjaga kawasan Timur Tengah tetap damai dan stabil serta membantu kawasan tersebut berkembang dan melakukan pembangunan," ujar Mao.
Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) menyatakan masih mengkaji kesepakatan itu namun tetap dengan tegas menentang peran Hamas dalam kesepakan tersebut.
Jubir Deplu AS Matthew Miller mengingatkan bahwa AS mengkategorikan Hamas sebagai organisasi teroris, bahkan jauh sebelum konflik terbaru pecah di Jalur Gaza pada 7 Oktober 2023.
Atas sikap AS tersebut, Mao mengatakan Dekralasi Beijing merupakan langkah penting menuju penyelesaian masalah Palestina dan mencapai perdamaian dan stabilitas di Timur Tengah.
China, menurut jubir Kemlu itu, menilai persoalan Palestina adalah inti permasalahan Timur Tengah.
"Kami dengan tegas mendukung rakyat Palestina dalam memulihkan hak-hak mereka yang sah, dan mendukung rakyat di negara-negara Timur Tengah dalam menentukan masa depan mereka sendiri," ungkap Mao Ning.
Wilayah Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza telah terpecah secara politik pascapemilu 2006, yang memberikan kemenangan kepada Hamas sehingga faksi tersebut menguasai Jalur Gaza.
Pascapemilu, pertikaian antara kedua faksi politik itu tak pernah berhenti dan menyulitkan perjuangan Palestina menjadi negara merdeka.
Pemerintahan gabungan antara dua faksi hanya berjalan singkat, yaitu hanya satu tahun.
Bentrokan berdarah yang meletus pada 2007 semakin melemahkan perjuangan Palestina. Hamas kemudian menguasai Gaza, sementara Fatah menjalankan Otoritas Palestina di Kota Ramallah, Tepi Barat.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2024