Setiap tanggal 10 Dzulhijjah, semua umat Islam yang tidak melaksanakan haji merayakan Hari Raya Idul Adha. Pada hari itu, umat Islam disunahkan untuk berkurban di mana mereka menyembelih hewan kurban untuk kemudian dibagi-bagikan kepada seluruh warga di suatu daerah. Lalu apakah sebenarnya kurban itu?
Kurban berasal dari bahasa Arab, “Qurban” yang berarti dekat. Kurban dalam Islam juga disebut dengan al-udhhiyyah dan adh-dhahiyyah yang berarti binatang sembelihan, seperti unta, sapi (kerbau), dan kambing yang disembelih pada hari raya Idul Adha dan hari-hari tasyriq sebagai bentuk taqarrub atau mendekatkan diri kepada Allah.
Adapun dalil disyariatkannya kurban bagi umat Islam dapat kita lihat pada Surat Al-Kautsar : 1 — 3, dimana Allah SWT mensyariatkan kurban dengan firman-Nya:
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membencimu, dialah yang terputus.”
Selain itu, dalil disyariatkannya kurban tertuang juga di dalam Surat Al-Hajj : 36 yaitu :
“Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebagai syiar Allah. Kamu banyak memperoleh kebaikan dari padanya, maka sebutlah nama Allah ketika kamu menyembelihnya.”
Hikmah kurban Idul Adha sangatlah mendalam dengan makna yang terkandung di baliknya bagi kehidupan umat Muslim karena di dalamnya terdapat kisah yang begitu berarti dan patut kita jadikan sebagai pelajaran yang amat berharga untuk menjalani kehidupan di masa yang akan datang.
Begitu pula dengan hakikat para aparatur penegak hukum, khususnya di lingkungan Kejaksaan, yang melaksanakan tugas dan fungsinya selaku unsur aparatur negara yang harus mengedepankan nilai-nilai luhur yang tertuang di dalam Doktrin Tri Krama Adhyaksa, sehingga diharapkan para jaksa dalam memahami tugas dan wewenangnya dalam penegakan hukum dapat memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat para pencari keadilan, dengan berupaya mematangkan diri untuk memberikan kontribusi pengabdian yang terbaik.
Doktrin Tri Krama Adhyaksa menjadi landasan jiwa insan Adhyaksa sebagai abdi masyarakat yang harus dipedomani dalam setiap langkah anggotanya, agar mampu memperkokoh pemahaman dan pengejawantahan amanah atau tanggung jawab yang dipercayakan negara.
Doktrin Tri Karma Adhyaksa tersebut mengamanatkan tiga hal pokok, yaitu Satya Adhi Wicaksana, artinya:
SATYA: Kesetiaan yang bersumber pada rasa jujur, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, terhadap diri pribadi dan keluarga, maupun kepada sesama manusia.
ADHI: Kesempurnaan dalam bertugas dan berunsur utama pemilikan rasa tanggung jawab, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, terhadap keluarga dan terhadap sesama manusia.
WICAKSANA: Bijaksana dalam setiap tutur kata dan tingkah laku, khususnya dalam penerapan kekuasaan dan kewenangannya.
Dalam perspektif yang dikaitkan dengan makna semangat berkurban dalam memperingati Hari Raya Idul Adha bagi insan Adhyaksa, ada empat pelajaran yang dapat diambil.
Pertama, mendekatkan diri kepada Allah SWT karena pada hakikatnya kurban berasal dari kata qurb yang artinya dekat. Dengan kata lain, kurban merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Demi ketaatan dan kecintaannya kepada Allah SWT, Nabi Ibrahim AS rela mengorbankan anaknya Nabi Ismail AS. Rasa cinta kepada Allah mengalahkan rasa cintanya terhadap anak yang sangat disayanginya. Nabi Ismail AS dengan penuh keikhlasan mau disembelih oleh Nabi Ibrahim AS karena didasari oleh keyakinan bahwa apa yang dilakukan ayahnya tersebut atas perintah Allah SWT.
Dalam peristiwa kurban tersebut, menjelang Nabi Ibrahim menyembelih Nabi Ismail AS, setan terus menggoda keduanya agar membatalkan rencana tersebut, tetapi karena telah dilandasi oleh keimanan dan ketakwaan yang tinggi dan ingin mendekatkan diri kepada Allah SWT, maka godaan setan pun tidak mempan terhadap mereka berdua.
Bagi insan Adhyaksa, kurban menjadi sarana penghambaan seorang manusia kepada Sang Pencipta. Semakin dekat kepada Allah, maka keimanan dan ketakwaannya pun akan meningkat. Diharapkan dengan semangat berkurban tidak ada lagi para jaksa yang tergoda untuk keluar dari norma-norma hukum kepatutan yang menjadi rambu-rambu dalam pelaksanaan tugasnya.
Adapun harta yang dikurbankan dilandasi niat karena Allah, karena pada dasarnya semua harta yang dimiliki adalah titipan dari Allah SWT. Dan Allah akan memberikan pahala yang berlipat ganda bagi hamba-Nya yang berkurban.
Kedua, rela berkorban. Orang yang berkurban adalah simbol orang yang rela berkorban untuk orang lain. Dia mengorbankan harta yang dimiliki dan dicintainya semata-mata karena Allah. Tidak sedikit orang yang mampu berkurban, tetapi hatinya belum tergerak untuk berkurban. Hal ini disebabkan karena rasa cintanya yang berlebihan kepada harta yang dimilikinya, padahal harta tersebut pada hakikatnya adalah titipan dari Allah SWT.
Orang yang berkurban adalah cerminan dari seorang manusia yang mampu mengalahkan ego pribadinya untuk kepentingan orang lain. Orang yang berkurban adalah orang yang senang berbagi kebahagiaan kepada orang lain. Baginya, hakikat kebahagiaan adalah adalah jika mampu membahagiakan orang lain. Hal Ini sejalan dengan apa yang tertuang di dalam Tri Krama Adhyaksa.
Ketiga, meningkatkan solidaritas sosial. Kurban merupakan simbol solidaritas sosial, yaitu membantu sesama manusia. Daging kurban adalah berkah bagi orang yang tidak mampu. Bagi orang yang biasa makan daging, seonggok daging kurban mungkin tidak akan banyak berarti, tetapi bagi yang jarang makan daging, daging kurban merupakan menu istimewa, yang hanya dinikmati setahun sekali.
Mereka sangat senang ketika bisa menikmatinya. Oleh karena itu, demi mendapatkan daging kurban, banyak orang miskin yang rela antre berjam-jam, berdesak-desakan, bahkan pingsan karena bagi mereka nilainya sangat berharga.
Kurban merupakan bentuk empati terhadap kesulitan dan penderitaan orang lain. Oleh karena itu, sifat tersebut perlu ditumbuhkembangkan bagi seluruh insan Adhyaksa dalam kehidupan masyarakat, di tengah-tengah kondisi sosial yang semakin individualistis, hedonis, dan egois.
Keempat, menghilangkan sifat-sifat buruk manusia. Kurban melatih manusia untuk menghilangkan sifat-sifat buruk, seperti tamak, rakus, kikir, sombong, dan sebagainya. Melalui kurban, manusia mau membagikan sebagian harta yang dimilikinya kepada orang lain karena pada dasarnya harta yang dimilikinya adalah titipan Allah, bukan semata-mata hasil kerja kerasnya. Dan, sebenarnya harta yang dinikmatinya jauh lebih banyak daripada harta yang dibagikan kepada orang lain.
Harta yang dikurbankan akan mendapatkan keberkahan, dan Allah telah menjamin akan menggantinya dengan pahala yang berlipat ganda. Pahala daging, darah, dan bulu hewan yang dikurbankan akan terus mengalir bagi orang yang berkurban. Oleh karena itu, Islam sangat menganjurkan umatnya untuk berkurban
Demikian pula bagi seluruh Insan Adhyaksa, semangat berkurban yang dimaknai untuk menghilangkan sifat-sifat buruk manusia merupakan gambaran dari apa yang tertuang di dalam Doktrin Tri Krama Adhyaksa.
Bagaimana Keutamaan ibadah kurban?
Dari Aisyah RA, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Tidak ada suatu amalan pun yang dilakukan oleh manusia pada Hari Raya Kurban yang lebih dicintai Allah SWT dari menyembelih hewan kurban. Sesungguhnya hewan kurban itu kelak pada hari kiamat akan datang beserta tanduk-tanduknya, bulu-bulunya dan kuku-kukunya. Dan sesungguhnya sebelum darah kurban itu menyentuh tanah, ia (pahalanya) telah diterima di sisi Allah, maka beruntunglah kalian semua dengan (pahala) kurban itu.” (HR Tirmidzi).
Sebagaimana kita ketahui, ibadah kurban hukumnya sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan). Bagi orang yang mampu melakukannya lalu ia meninggalkan hal itu, maka hukumnya makruh. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa Nabi Muhammad SAW pernah berkurban dengan dua kambing kibasy yang sama-sama berwarna putih kehitam-hitaman dan bertanduk. Beliau sendiri yang menyembelih kurban tersebut, dan membacakan nama Allah serta bertakbir (waktu memotongnya).
Ibadah kurban disyariatkan Allah untuk mengenang sejarah Idul Adha yang dialami oleh Nabi Ibrahim As dan sebagai suatu upaya untuk memberikan kemudahan pada Hari Id, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah saw, “Hari-hari itu tidak lain adalah hari-hari untuk makan dan minum serta berdzikir kepada Allah Azza wajalla.”
Dengan semangat berkurban diharapkan dapat membangun moralitas insan Adhyaksa menjadi lebih baik, secara konsisten dapat membentuk aparatur yang berintegritas tinggi, amanah, jujur, berani, mumpuni, baik dalam penguasaan kemampuan teknis yuridis maupun kemampuan manajerial, bertanggung jawab atas kinerja yang dilakukan, menjalin kerja sama yang baik di antara sesama aparat penegak hukum dan instansi terkait lainnya, peduli terhadap segala sesuatu yang menjadi tugas pokok dan fungsinya dalam rangka membangun kejaksaan ke depan yang berbagi kebahagiaan disegani keberadaannya dan senantiasa melandasi prinsip kemanfaatan dan keadilan serta menjunjung tinggi harkat dan martabat hak asasi manusia.
Selamat Hari Raya Idul Adha
Dr. Mia Amiati, SH, MH, CMA, CSSL adalah praktisi Hukum
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2024
Kurban berasal dari bahasa Arab, “Qurban” yang berarti dekat. Kurban dalam Islam juga disebut dengan al-udhhiyyah dan adh-dhahiyyah yang berarti binatang sembelihan, seperti unta, sapi (kerbau), dan kambing yang disembelih pada hari raya Idul Adha dan hari-hari tasyriq sebagai bentuk taqarrub atau mendekatkan diri kepada Allah.
Adapun dalil disyariatkannya kurban bagi umat Islam dapat kita lihat pada Surat Al-Kautsar : 1 — 3, dimana Allah SWT mensyariatkan kurban dengan firman-Nya:
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membencimu, dialah yang terputus.”
Selain itu, dalil disyariatkannya kurban tertuang juga di dalam Surat Al-Hajj : 36 yaitu :
“Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebagai syiar Allah. Kamu banyak memperoleh kebaikan dari padanya, maka sebutlah nama Allah ketika kamu menyembelihnya.”
Hikmah kurban Idul Adha sangatlah mendalam dengan makna yang terkandung di baliknya bagi kehidupan umat Muslim karena di dalamnya terdapat kisah yang begitu berarti dan patut kita jadikan sebagai pelajaran yang amat berharga untuk menjalani kehidupan di masa yang akan datang.
Begitu pula dengan hakikat para aparatur penegak hukum, khususnya di lingkungan Kejaksaan, yang melaksanakan tugas dan fungsinya selaku unsur aparatur negara yang harus mengedepankan nilai-nilai luhur yang tertuang di dalam Doktrin Tri Krama Adhyaksa, sehingga diharapkan para jaksa dalam memahami tugas dan wewenangnya dalam penegakan hukum dapat memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat para pencari keadilan, dengan berupaya mematangkan diri untuk memberikan kontribusi pengabdian yang terbaik.
Doktrin Tri Krama Adhyaksa menjadi landasan jiwa insan Adhyaksa sebagai abdi masyarakat yang harus dipedomani dalam setiap langkah anggotanya, agar mampu memperkokoh pemahaman dan pengejawantahan amanah atau tanggung jawab yang dipercayakan negara.
Doktrin Tri Karma Adhyaksa tersebut mengamanatkan tiga hal pokok, yaitu Satya Adhi Wicaksana, artinya:
SATYA: Kesetiaan yang bersumber pada rasa jujur, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, terhadap diri pribadi dan keluarga, maupun kepada sesama manusia.
ADHI: Kesempurnaan dalam bertugas dan berunsur utama pemilikan rasa tanggung jawab, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, terhadap keluarga dan terhadap sesama manusia.
WICAKSANA: Bijaksana dalam setiap tutur kata dan tingkah laku, khususnya dalam penerapan kekuasaan dan kewenangannya.
Dalam perspektif yang dikaitkan dengan makna semangat berkurban dalam memperingati Hari Raya Idul Adha bagi insan Adhyaksa, ada empat pelajaran yang dapat diambil.
Pertama, mendekatkan diri kepada Allah SWT karena pada hakikatnya kurban berasal dari kata qurb yang artinya dekat. Dengan kata lain, kurban merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Demi ketaatan dan kecintaannya kepada Allah SWT, Nabi Ibrahim AS rela mengorbankan anaknya Nabi Ismail AS. Rasa cinta kepada Allah mengalahkan rasa cintanya terhadap anak yang sangat disayanginya. Nabi Ismail AS dengan penuh keikhlasan mau disembelih oleh Nabi Ibrahim AS karena didasari oleh keyakinan bahwa apa yang dilakukan ayahnya tersebut atas perintah Allah SWT.
Dalam peristiwa kurban tersebut, menjelang Nabi Ibrahim menyembelih Nabi Ismail AS, setan terus menggoda keduanya agar membatalkan rencana tersebut, tetapi karena telah dilandasi oleh keimanan dan ketakwaan yang tinggi dan ingin mendekatkan diri kepada Allah SWT, maka godaan setan pun tidak mempan terhadap mereka berdua.
Bagi insan Adhyaksa, kurban menjadi sarana penghambaan seorang manusia kepada Sang Pencipta. Semakin dekat kepada Allah, maka keimanan dan ketakwaannya pun akan meningkat. Diharapkan dengan semangat berkurban tidak ada lagi para jaksa yang tergoda untuk keluar dari norma-norma hukum kepatutan yang menjadi rambu-rambu dalam pelaksanaan tugasnya.
Adapun harta yang dikurbankan dilandasi niat karena Allah, karena pada dasarnya semua harta yang dimiliki adalah titipan dari Allah SWT. Dan Allah akan memberikan pahala yang berlipat ganda bagi hamba-Nya yang berkurban.
Kedua, rela berkorban. Orang yang berkurban adalah simbol orang yang rela berkorban untuk orang lain. Dia mengorbankan harta yang dimiliki dan dicintainya semata-mata karena Allah. Tidak sedikit orang yang mampu berkurban, tetapi hatinya belum tergerak untuk berkurban. Hal ini disebabkan karena rasa cintanya yang berlebihan kepada harta yang dimilikinya, padahal harta tersebut pada hakikatnya adalah titipan dari Allah SWT.
Orang yang berkurban adalah cerminan dari seorang manusia yang mampu mengalahkan ego pribadinya untuk kepentingan orang lain. Orang yang berkurban adalah orang yang senang berbagi kebahagiaan kepada orang lain. Baginya, hakikat kebahagiaan adalah adalah jika mampu membahagiakan orang lain. Hal Ini sejalan dengan apa yang tertuang di dalam Tri Krama Adhyaksa.
Ketiga, meningkatkan solidaritas sosial. Kurban merupakan simbol solidaritas sosial, yaitu membantu sesama manusia. Daging kurban adalah berkah bagi orang yang tidak mampu. Bagi orang yang biasa makan daging, seonggok daging kurban mungkin tidak akan banyak berarti, tetapi bagi yang jarang makan daging, daging kurban merupakan menu istimewa, yang hanya dinikmati setahun sekali.
Mereka sangat senang ketika bisa menikmatinya. Oleh karena itu, demi mendapatkan daging kurban, banyak orang miskin yang rela antre berjam-jam, berdesak-desakan, bahkan pingsan karena bagi mereka nilainya sangat berharga.
Kurban merupakan bentuk empati terhadap kesulitan dan penderitaan orang lain. Oleh karena itu, sifat tersebut perlu ditumbuhkembangkan bagi seluruh insan Adhyaksa dalam kehidupan masyarakat, di tengah-tengah kondisi sosial yang semakin individualistis, hedonis, dan egois.
Keempat, menghilangkan sifat-sifat buruk manusia. Kurban melatih manusia untuk menghilangkan sifat-sifat buruk, seperti tamak, rakus, kikir, sombong, dan sebagainya. Melalui kurban, manusia mau membagikan sebagian harta yang dimilikinya kepada orang lain karena pada dasarnya harta yang dimilikinya adalah titipan Allah, bukan semata-mata hasil kerja kerasnya. Dan, sebenarnya harta yang dinikmatinya jauh lebih banyak daripada harta yang dibagikan kepada orang lain.
Harta yang dikurbankan akan mendapatkan keberkahan, dan Allah telah menjamin akan menggantinya dengan pahala yang berlipat ganda. Pahala daging, darah, dan bulu hewan yang dikurbankan akan terus mengalir bagi orang yang berkurban. Oleh karena itu, Islam sangat menganjurkan umatnya untuk berkurban
Demikian pula bagi seluruh Insan Adhyaksa, semangat berkurban yang dimaknai untuk menghilangkan sifat-sifat buruk manusia merupakan gambaran dari apa yang tertuang di dalam Doktrin Tri Krama Adhyaksa.
Bagaimana Keutamaan ibadah kurban?
Dari Aisyah RA, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Tidak ada suatu amalan pun yang dilakukan oleh manusia pada Hari Raya Kurban yang lebih dicintai Allah SWT dari menyembelih hewan kurban. Sesungguhnya hewan kurban itu kelak pada hari kiamat akan datang beserta tanduk-tanduknya, bulu-bulunya dan kuku-kukunya. Dan sesungguhnya sebelum darah kurban itu menyentuh tanah, ia (pahalanya) telah diterima di sisi Allah, maka beruntunglah kalian semua dengan (pahala) kurban itu.” (HR Tirmidzi).
Sebagaimana kita ketahui, ibadah kurban hukumnya sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan). Bagi orang yang mampu melakukannya lalu ia meninggalkan hal itu, maka hukumnya makruh. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa Nabi Muhammad SAW pernah berkurban dengan dua kambing kibasy yang sama-sama berwarna putih kehitam-hitaman dan bertanduk. Beliau sendiri yang menyembelih kurban tersebut, dan membacakan nama Allah serta bertakbir (waktu memotongnya).
Ibadah kurban disyariatkan Allah untuk mengenang sejarah Idul Adha yang dialami oleh Nabi Ibrahim As dan sebagai suatu upaya untuk memberikan kemudahan pada Hari Id, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah saw, “Hari-hari itu tidak lain adalah hari-hari untuk makan dan minum serta berdzikir kepada Allah Azza wajalla.”
Dengan semangat berkurban diharapkan dapat membangun moralitas insan Adhyaksa menjadi lebih baik, secara konsisten dapat membentuk aparatur yang berintegritas tinggi, amanah, jujur, berani, mumpuni, baik dalam penguasaan kemampuan teknis yuridis maupun kemampuan manajerial, bertanggung jawab atas kinerja yang dilakukan, menjalin kerja sama yang baik di antara sesama aparat penegak hukum dan instansi terkait lainnya, peduli terhadap segala sesuatu yang menjadi tugas pokok dan fungsinya dalam rangka membangun kejaksaan ke depan yang berbagi kebahagiaan disegani keberadaannya dan senantiasa melandasi prinsip kemanfaatan dan keadilan serta menjunjung tinggi harkat dan martabat hak asasi manusia.
Selamat Hari Raya Idul Adha
Dr. Mia Amiati, SH, MH, CMA, CSSL adalah praktisi Hukum
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2024