Subdit Tindak Pidana Korupsi Kepolisian Daerah Jawa Timur mengungkap kasus mafia tanah yang terjadi di tiga desa di Kabupaten Sumenep dengan tersangka Direktur Utama PT Sinar Mega Indah Persada (SMIP) berinisial HS (63).
"HS ini sebelumnya masuk DPO (daftar pencarian orang). Dia melakukan penjualan tanah kas di tiga desa, yakni Desa Kolor, Kecamatan Sumenep Kota; Desa Cabbiya dan Desa Talango, Kecamatan Talango, Kabupaten Sumenep," kata Kepala Subdit Tipikor Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Jatim Ajun Komisaris Besar Polisi Edy Herwiyanto di Mapolda Jatim, Surabaya, Rabu.
Selain HS, polisi juga menetapkan mantan Kepala Desa Kolor, Kecamatan Sumenep Kota, berinisial MR (71), dan mantan petugas Badan Pertanahan Negara (BPN) Kabupaten Sumenep berinisial MH (76) sebagai tersangka. Namun, untuk MH belum dilakukan penahanan karena sedang sakit.
"Untuk tersangka HS, kami lakukan penahanan karena memang tersangka sempat bersikap tidak kooperatif. Saat dilakukan pemanggilan, tersangka tidak datang, sehingga kami masukkan DPO dan saat ini berhasil kami tangkap," jelas Edy.
Tiga orang pelaku itu menjual tanah kas di tiga desa dengan modus memberikan tukar guling tanah, namun ternyata tanah yang digunakan untuk tukar guling tersebut fiktif.
"Ternyata masih punya warga dan warga tidak pernah memperjualbelikan tanah tersebut ke siapa pun," ujarnya.
Edy menjelaskan luas tanah di tiga desa itu sekitar 160.000 meter persegi atau lebih kurang 17 hektare. Tanah itu diklaim oleh PT SMIP yang merupakan perusahaan pengembang Perumahan Bumi Sumekar di Desa Kolor, Kecamatan Kota Sumenep.
Kerugian keuangan negara dalam kasus mafia tanah ini mencapai Rp114 miliar. Polisi telah menyita aset milik tersangka HS yang nilainya sekitar Rp97 miliar sebagai barang bukti.
"Hal ini masih kami kembangkan karena memang perkara ini terjadi pada tahun 1997. Dugaan aset yang diperoleh pelaku bisa lebih dari itu," ucapnya.
Atas perbuatannya, tiga orang tersangka itu dijerat dengan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tipikor serta pasal tindak pidana pencucian uang dengan ancaman hukuman minimal 5 tahun hingga yang terberat 20 tahun penjara.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2024
"HS ini sebelumnya masuk DPO (daftar pencarian orang). Dia melakukan penjualan tanah kas di tiga desa, yakni Desa Kolor, Kecamatan Sumenep Kota; Desa Cabbiya dan Desa Talango, Kecamatan Talango, Kabupaten Sumenep," kata Kepala Subdit Tipikor Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Jatim Ajun Komisaris Besar Polisi Edy Herwiyanto di Mapolda Jatim, Surabaya, Rabu.
Selain HS, polisi juga menetapkan mantan Kepala Desa Kolor, Kecamatan Sumenep Kota, berinisial MR (71), dan mantan petugas Badan Pertanahan Negara (BPN) Kabupaten Sumenep berinisial MH (76) sebagai tersangka. Namun, untuk MH belum dilakukan penahanan karena sedang sakit.
"Untuk tersangka HS, kami lakukan penahanan karena memang tersangka sempat bersikap tidak kooperatif. Saat dilakukan pemanggilan, tersangka tidak datang, sehingga kami masukkan DPO dan saat ini berhasil kami tangkap," jelas Edy.
Tiga orang pelaku itu menjual tanah kas di tiga desa dengan modus memberikan tukar guling tanah, namun ternyata tanah yang digunakan untuk tukar guling tersebut fiktif.
"Ternyata masih punya warga dan warga tidak pernah memperjualbelikan tanah tersebut ke siapa pun," ujarnya.
Edy menjelaskan luas tanah di tiga desa itu sekitar 160.000 meter persegi atau lebih kurang 17 hektare. Tanah itu diklaim oleh PT SMIP yang merupakan perusahaan pengembang Perumahan Bumi Sumekar di Desa Kolor, Kecamatan Kota Sumenep.
Kerugian keuangan negara dalam kasus mafia tanah ini mencapai Rp114 miliar. Polisi telah menyita aset milik tersangka HS yang nilainya sekitar Rp97 miliar sebagai barang bukti.
"Hal ini masih kami kembangkan karena memang perkara ini terjadi pada tahun 1997. Dugaan aset yang diperoleh pelaku bisa lebih dari itu," ucapnya.
Atas perbuatannya, tiga orang tersangka itu dijerat dengan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tipikor serta pasal tindak pidana pencucian uang dengan ancaman hukuman minimal 5 tahun hingga yang terberat 20 tahun penjara.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2024