Demikian slogan yang didengungkan setiap kali bangsa ini memperingati Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional (HKSN). Slogan tersebut sebenarnya bisa diterapkan pada setiap benak warga Indonesia, pada kehidupan sehari-hari, bahkan pada hal-hal yang sifatnya sangat sederhana. Namun, bagaimana kenyataannya?
HKSN diabadikan dari peristiwa sejarah tanggal 20 Desember 1948, yaitu kemanunggalan TNI dan rakyat menghadapi agresi militer Belanda. Rakyat memberikan apa saja yang menjadi miliknya untuk membantu perjuangan para pejuangnya. Sebaliknya para prajurit TNI selalu siap melindungi rakyat dari angkara murka penjarah milik rakyat. Bukan menjadi pelindung bagi pemilik perusahaan atau perorangan.
Disebutkan dalam sejarah bahwa kesetiakawanan sosial tumbuh secara nasional, hingga ke seluruh pelosok Tanah Air, dan menampakkan diri sebagai bukti kemanunggalan TNI dan rakyat dalam mengusir Belanda. Puncak kemanunggalan dibuktikan dalam "Serangan Umum 1 Maret 1949" dipimpin Letkol Soeharto yang atas prakarsa Sri Sultan Hamengkubowono IX.
Serangan Umum 1 Maret ini mempunyai arti yang sangat penting bagi kelangsungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan mempunyai arti politik yang sangat krusial bagi dunia internasional terhadap eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam lintasan sejarah, nilai kesetiakawanan sosial telah ada dari masa ke masa, yakni sejak tahun 1928, yakni tercetusnya Sumpah Pemuda.Tahun 1945, peristiwa heroik yang tak terlupakan, karena Bangsa Indonesia berhasil memproklamasikan kemerdekaan dari cengkeraman penjajah, hingga tahun tahun 1948 mendorong bangkitnya kemanunggalan TNI dan rakyat dalam mempertahankan kemerdekaan. Dan tahun 1965 kesetiakawanan sosial mewujudkan diri dalam format keterpanggilan menumpas komunisme.
Namun, akhir-akhir ini sering terlihat pemandangan yang cukup memprihatinkan yang ditayangkan di layar kaca, yakni adanya tawuran antarwarga, suku, pelajar, mahasiswa, antara buruh dengan aparat keamanan, bahkan berita sepekan terakhir yang cukup memilukan, yakni Tragedi Mesuji, pertentangan antara warga dan pam swakarsa serta aparat. Sepertinya tidak ada solusi untuk mencapai kata sepakat yang bisa menguntungkan kedua belah pihak, sekalipun sulit untuk mencapai kata adil.
Perselisihan yang terjadi tidak jarang berujung pada kematian. Perbuatan yang dilakukan hanya sia-sia saja, karena hanya mementingkan emosi tanpa berpikir panjang manfaat yang akan dipetik dari perbuatannya itu.
Nilai yang mendasari persatuan dan kesatuan bangsa kita, meskipun bangsa Indonesia serba bhineka namun tetap tunggal ika, nampaknya belum benar-benar diimplematasikan dalam praktik kehidupan sehari-hari. Seringkali mementingkan yang ada dalam isi kepala masing-masing atau kelompok dan golongan untuk mendapat keuntungkan sediri tanpa ada sikap toleran atau memahami kebutuhan orang lain.
Padahal, sikap toleran dapat diwujudkan dengan cara yang sangat mudah,yakni memahami atau sedikit mau mengerti kebutuhan orang lain untuk dicapai kata kompromi, sehingga terwujud rasa saling menghormati, rasa aman, dan berbagi dalam suka dan duka, karena tidak harus memonopoli kekuasaan dalam mencapai kebahagian, seperti menumpuk kekayaan secara ilegal (korupsi), atau menutup kesempatan orang lain untuk berkarya.
Seperti dikatakan Abun Sanda, salah seorang penulis bidang korporasi pada sebuah harian ternama di Tanah Air.
Ia mengatakan, membangun lobi untuk memperbesar suatu perusahaan harus dengan kesabaran yang terkadang tidak lumrah, karena ia harus sangat toleran, memahami orang lain. "Kita sadar bahwa salah satu esensi lobi adalah mengalah dengan jalan lebih banyak memberi daripada diberi," ucapnya.
Nah … pendapat yang dikemukakan oleh Abun Sanda tersebut bisa kita terapkan dalam kehidupan kita di tengah masyarakat. Ibaratnya kita membangun sebuah "perusahaan”", keahlian lobi (para pemegang kekuasaan) perlu dilakukan dengan sabar dan sikap toleran agar bisa mencapai keuntungan yang dapat dirasakan bersama oleh masyarakat.
Dalam menangani persoalan tidak harus dengan jalan kekerasan atau kecurangan, namun dengan kesabaran dan mau mendengarkan kemauan orang lain agar bisa dicapai kata kompromi untuk sepakat mewujudkan perdamaian dan kesejahteraan.
Membantu mereka yang kurang mampu, memberi kesempatan kepada mereka yang belum beruntung, sehingga mereka tidak merasa dipinggirkan dan tidak mengambil hak yang bukan miliknya serta memenuhi kewajiban yang harus dikerjakan, harus menjadi pedoman hidup yang lekat dalam jiwa kita dalam mewujudkan kesetiakawanan sosial. Jangan sampai lagi terjadi kasus bakar diri yang dilakukan salah seorang mahasiswa di Ibu kota, karena "protes" atas kondisi bangsa.
Untuk itu, semangat kesetiakawanan sosial secara berkesinambungan harus tetap ditumbuhkembangkan agar tetap mewarnai tatanan kehidupan dan penghidupan kita. Jadi slogan "No Day without Solidarity" tidak haya diimplementasikan saat memperingati HKSN setiap tanggal 20 Desember yang dilakukan melalui berbagai kegiatan yang bersifat seremonial maupun aktivitas sesaat saja. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2011
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2011