Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Timur mendesak semua pihak harus peka serta peduli demi mencegah perundungan terhadap anak.

Ketua LPA Jawa Timur Anwar Sholihin mengemukakan akhir-akhir ini kasus bullying atau perundungan yang terjadi di lembaga pendidikan baik umum maupun agama semakin memprihatinkan.

"Tahun 2023 saja terdapat 30 kasus perundungan yang dilaporkan. Banyak juga kasus perundungan yang tidak dilaporkan, namun anaknya dipindah atau minta pindah ke sekolah atau pondok lain, karena orang tuanya tanggap ketika mendapatkan keluhan dari anaknya, sehingga tidak sampai berakibat fatal," katanya dalam rilisnya di Kediri, Kamis.

Ia mengungkapkan di Jawa Timur kasus perundungan terjadi di Gresik, Pasuruan, Malang, Lamongan, Banyuwangi, Blitar dan Kediri. Bisa jadi daerah lainnya yang sebagian terjadi di pondok pesantren. Di Kecamatan Ujung Pangkah, Gresik seorang anak pondok dikeroyok walaupun sebelumnya telah dilakukan mediasi. Di Malang anak ditendang kakak kelasnya hingga koma, anak SMP dibanting kakak kelasnya hingga jari tangannya harus diamputasi.

Dirinya menambahkan, pada awal 2024 ini ada tiga kasus perundungan di pondok pesantren, di Malang, Blitar dan Kediri, bahkan yang dua anak sampai meninggal dunia.

Menurut dia, hal ini akibat dari kurang peka dan respon pengelola/pengasuh maupun orang tuanya. Seperti kasus di Blitar ternyata tidak cukup hanya dimediasi dan setelah itu dianggap selesai dan setelah mediasi ada pengeroyokan yang mengakibatkan anaknya meninggal.

Baca juga: LPA Jatim: Jutaan anak manfaatkan taman di Kota Surabaya

Sedangkan kasus di Kediri anaknya sudah mengeluh ketakutan, orang tuanya tidak segera mengkoordinasikan sama pengasuh untuk minta dilindungi sebelum bisa dijenguk atau dijemput, bahkan setelah kejadian sampai meninggal pondok masih menutupi penyebab kematiannya. Padahal itu merupakan kebohongan yang harus dipertanggungjawabkan.

Pihaknya meminta kepekaan dan kepedulian semua pihak, orang tua, pengasuh, guru, ustaz, pengelola lembaga pendidikan dan pondok pesantren, serta dinas yang bertanggungjawab terhadap lembaga pendidikan maupun pesantren dan dinas yang mengurusi perlindungan anak termasuk lembaga perlindungan anak.

Di pondok pesantren, kata dia seharusnya juga ada gerakan untuk menciptakan lingkungan yang aman, nyaman dan menyenangkan bagi semua anak.

"Semua sekolah dan pondok pesantren harus didorong memiliki kebijakan anti kekerasan yang dipahami oleh seluruh warganya. Semua warga sekolah dan ponpes memiliki semangat untuk menciptakan lingkungannya yang aman, nyaman dan menyenangkan bagi anak," kata dia.

Ia juga menambahkan, dalam membuat kebijakan sekolah maupun ponpes ramah anak, harus turut serta menciptakan lingkungan yang aman, nyaman ramah dan menyenangkan bagi anak, anak-anak (murid maupun santri) harus dilibatkan, sehingga tata-tertib, aturan, kebijakan yang dibuat terhadap anak, anak-anak terlibat secara aktif.

Kasus perundungan menimpa BM (14), santri asal Dusun Kemayan, Desa Kranding, Kecamatan Mojo, Kabupaten Kediri, dekat dengan Pesantren Al Islahiyyah, Mojo, Kabupaten Kediri.

Ia menimba ilmu di Pondok Pesantren Tartilul Quran (PPTQ) Al Hanifiyyah di Dusun Kemayan, Desa Kranding, Kecamatan Mojo, Kabupaten Kediri. Ia dikeroyok kakak kelasnya hingga meninggal dunia.

Dalam perkara itu, polisi menetapkan empat tersangka anak, yakni MN (18) asal Sidoarjo, MA (18) asal Kabupaten Nganjuk, dan AK (17) asal Surabaya, serta yakni AF (16) asal Denpasar, Bali. AF bahkan diketahui masih saudara dengan korban.

Pewarta: Asmaul Chusna

Editor : Taufik


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2024