Sepanjang perjalanan ke PP Salafiyah Al Fitrah, doa-doa mengalir sirri, sambil terus bertanya, "Ya Allah, karuniai hikmah dari perjalanan ini." Hati kecil bergeming syukur tak terukur. 

Maka, ketika kondisi aneh di malam perjalanan, dua bola mata sulit terpejam, kembali doa-doa dan Suratul Fatihah kualirkan pada orang-orang tercinta. Kondisi ini tidak seperti biasanya dalam kepergian yang lain. Entah, spontan saja. Perjalanan pergi-pulang, sungguh sangat lancar, meski melewati jalur non-tol. (Tol hanya Mojokerto-surabaya, kala berangkat karena takut terlambat).

Dan, pukul 05.14 menit, sampailah di kompleks PP Al Qodiriyyah Wan Naqsyabandiyyah, Al Fithrah Surabaya, lapor sebagai tamu dan parkir di depan "pesantren hati". Keroncongan perut sulit dihindari, semalam kurang asupan, jatuhlah pada bubur ayam pinggir jalan untuk sarapan. Godaan "rasa ingin ke belakang" sedikit mengganggu sehingga porsi harus separuhnya. Bagi orang Jawa, kondisi terakhir ini tanda kerasan.

Usai itu, kembali ke sekitar kompleks pesantren thariqoh Al Fithrah, di depan ndalem pengasuh, hampir satu jam menikmati kopi hitam bersama dan menunggu ustadz Zidan. Tak berapa lama, beliau datang, ikut ngopi bareng sambil terus berbincang tentang segala hal, yang entah hingga sebagian terlupa. 

Hati saya bersyukur, bisa merasakan aura ndalem dzurriyah Hadratusyaih Achmad Asrori Al Ishaqy. Paling tidak ada tiga kali mobil keluar masuk ndalem dengan merk berbeda-beda.

Imajinasi berjalan pelan, menari-nari di antara aura putih yang beterbangan di kepala, Masya Allah. Menjelang pukul tujuh, aku memasuki pintu pesantren, melewati jalan samping kiri masuk, menuju arah masjid. Di depan masjid, mata hati tersentuh, betapa gedung berlantai lima berdiri kokoh putih bersih menghadap ke barat, yang enam tahun lalu kaki dan hati saya menginjakkan di halaman pesantren belum berdiri. Hati kecilku berkata, "Masya Allah...". 

Ada teriakan hati syukur yang tidak terukur, dipertemukan dalam tempat kemuliaan yang menyentuh sukma. "Adakah rahasia yang ditakdirkan Allah bagiku?" Sebuah pertanyaan pengusik yang terus-menerus saya sembunyikan rapat di balik percakapan yang mengalir dengan para ustadz.

Aku teringat dua kitab karangan Hadratusyaih KH. Achmad Asrori Al Ishaqy "Untaian Mutiara Ikatan Hati dan Jalinan Rohani" jilid I dan IV, karena itulah hadiah terindah yang diberikan ustadz Chafidz Wahyudi enam tahun lalu (2018). Rasanya melayang terbang ke lautan putih, teduh dan sejuk.

Semalam tidak tidur rasanya tidak terasa, hingga di tempat transit saya berbincang alur alir dalam tamasya makna dengan ustadz Zidan dan Zaki, tak berapa lama, ustadz Dzulfikar Nasrullah datang. Nostalgia yang indah. Kami tersangkar dalam "rumah burung" literasi spiritual. Berbincang tentang Edy Mulyono sang bos Diva press, Acep zamzam Noor Tasikmalaya, Lora (Ra) M. Faizi Sumenep, Gus Haedar Pasuruan, Abdul Hadi WM, D Zawawi Imron dan sejumlah tokoh dan keteladanan literasi dibincangkan unik, menarik dan menggelitik.

Salah satunya adalah Prof. Aksin Wijaya, penulis produktif kolega Edy Mulyono, yang tidak minta royalti atas buku-bukunya. Bahkan, hanya dibagikan kepada para tamu yang datang di rumahnya. Begitulah kami dengan sejumlah ustadz berbincang-bincang. Sebelumnya, kulo nuwun kepada ustadz Chafidz Wahyudi lewat WA, dan mohon maaf diminta mampir, terlanjur meluncur bersama wartawan Jawa Pos ke makam Sunan Ampel dan meninggalkan usai mampir di rumah sang wartawan Jawa Pos Eko Hendri Saiful.

Hingga menjelang pukul delapan ustadz Zaki menghampiri, dan meminta menuju aula karena acara dimulai dengan doa-doa penyejuk jiwa. Tubuh dan kepala ini hanya bisa menunduk. Hem, alangkah indahnya setiap acara di kampus atau sekolah umum diawali dengan ritual suci demikian. Sebuah daras pertanyaan tiba-tiba melintas sekilas.

Usai ustadz Hermansyah dan Dzulfikar Nasrullah memberikan sambutan dan motivasi, giliran saya berbagi sedikit pengalaman didampingi ustadz Zidan sebagai moderatornya. Alur alir dan mengalir hingga nyaris PPT yang dipersiapkan sebelumnya tak berguna. Bagaimana menulis? Inilah pengungkit dalam mengantarkan imajinasi dan pikiran para santri.

Menulis hanyalah mengungkapkan ulang apa yang dilihat, didengar, dirasakan, dibaca, diamati, dipikirkan, dan diimajinasikan. Begitulah kiranya, maka, hal itu merupakan bahan otentik yang akan keluar dengan sendirinya saat menulis.

Setelah itu, tugas kita hanya melatih diri  menulis, menulis, dan menulis. Saya mengutip apa yang disampaikan oleh Peter Elbow untuk melepaskan hambatan dalam menulis. Salah satunya dengan teknik Flow, cara mengalir. Tuliskan saja terus, jangan berpikir kaidah bahasa, yang penting keluar dulu gagasan itu berikut yang lainnya. Kata Ra M. Faizi, tulislah sebanyak-banyaknya dan buanglah sebanyak-banyaknya. Sisanya, itulah sari tulisan yang akan menyentuh dan mengena bagi pembaca.

Usai dialog kecil dengan peserta, maka dimulailah eksplorasi praktik bagaimana mengawali artikel yang menggoda, mengembangkan tubuh artikel yang seksi, dan mengakhiri artikel secara mengikat hati.

Untuk mengawali artikel, saya hanya mengenalkan empat cara: teknik bertanya, kutipan, pernyataan menonjol, dan aforisme. Sedangkan untuk pola pengembangan artikel hanya empat pola pula yang saya kenalkan: pola masalah dan pemecahannya, tanggapan, pemilihan topik, serta pendapat dan alasannya.

Sedangkan, pola penutup, saya kenalkan tertutup dan terbuka. Untuk penutup artikel terbuka bisa variatif dipadukan dengan beragam cara.

Setelah 40 menit mengalir, dilanjutkan tanya jawab meliputi dua pertanyaan santriwati dan dua pertanyaan dari santriwan. Mengalir, mengalir, dan menyadarkan betapa menulis artikel itu tidak sesulit yang sering dibayangkan orang. Latihan adalah kunci utamanya.

Ada satu pertanyaan yang saya suka, bagaimana jika ada "tekanan" atau tanggapan orang lain yang menilai atau bahkan merendahkan tulisan kita? Saya berikan ilustrasi tentang artikel saya, yang dimuat Kompas awal-awal 2000-an yang berjudul "Daerah Perlu Mengawal Peredaran Buku", yang kemudian dikomplain oleh penerbit, perwakilan penerbit Jawa Timur, dan perwakilan di Ponorogo mendatangi rumah tinggal saya. 

Perdebatan dan diskusi yang berujung saling memaafkan dan kesediaan untuk saling bekerjasama setelah mengetahui latar belakang dan tujuannya. Kata kuncinya adalah, "Katakan kebenaran itu sekalipun pahit adanya!" Tulisan, memang, seringkali bisa jadi menyakitkan orang lain. Artinya, jika menulis berangkat dari kejujuran nurani, pikiran jernih, dan tulus hati, jangan takutkan apa pun.

Selanjutnya break, dilanjutkan istirahat sebentar di tempat transit untuk merokok dan ngopi.

Sesi selanjutnya dimulai. Para santri membuat judul sementara, plus dari mana asal idenya. Lebih dari 14 santri menyampaikan secara bergantian. Rasanya asyik, dan mengulum rasa jiwa. Setelah itu, dilanjutkan bagaimana membuat poin artikel yang siap untuk dikembangkan.  Ingat, menulis itu adalah syiar nilai dan berkarya itu mengabadikan pesona jiwa.

Kegiatan berakhir, seperti biasa sesi ramah tamah. Hem. Terima kasih para ustadz yang menjadi wasilah hati. Mohon maaf segala khilaf. Selamat berkarya untuk para santri.

*) Dr Sutejo, MHum adalah dosen STKIP PGRI Ponorogo, penggagas Sekolah Literasi Gratis (SLG) dan penulis lebih dari 20 buku

 

Pewarta: Dr Sutejo, MHum *)

Editor : Masuki M. Astro


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2024