Pendidikan di Indonesia merupakan aspek krusial yang menentukan masa depan bangsa. Meskipun telah banyak upaya yang dilakukan, masih terdapat beberapa tantangan yang perlu diatasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan di negeri ini, salah satunya tentang rendahnya pendidikan inklusi.

Sebagai contoh, belum lama ini ada cerita tentang salah satu siswi difabel sempat mengalami kesulitan mendapatkan sekolah. Si siswi sempat mendaftar dan diterima di salah satu sekolah swasta, namun baru berjalan satu pekan diminta pindah sekolah karena dianggap tidak bisa mengikuti teman sebayanya di sekolah tersebut.
 
Kasus hampir serupa juga terjadi pada siswa lain. Menurut pengakuan orang tuanya, dulu saat TK juga pernah ditolak dengan alasan pihak sekolah tidak menerima siswa inklusi. Bahkan, untuk bisa sekolah sampai di jenjang SMP saat ini, pihaknya harus menempuh perjalanan lintas kota karena di kota domisilinya tidak banyak menyediakan sekolah inklusif.

Dari dua contoh kasus tersebut cukup memberi gambaran perihal ketidaksiapan sekolah menghadapi dan mendukung pertumbuhan perkembangan siswa inklusi. Atau bahkan, betapa tidak tahunya masyarakat tentang apa itu pendidikan inklusi untuk anak difabel?
 
Padahal menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 70 Tahun 2009 tentang "Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan atau Bakat Istimewa", setiap sekolah tidak boleh menolak untuk menerima peserta didik atau ABK. 

Kemudian berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional: 380/C.C6/MN/2003 tentang "Pendidikan Inklusif" menjelaskan bahwa pendidikan inklusi diselenggarakan dan dikembangkan sekurang-kurangnya 4 sekolah, yang terdiri dari SD, SMP, SMA, dan SMK di setiap kabupaten/kota.

Lantas, apa sebenarnya pendidikan inklusif itu? Pendidikan Inklusif, menurut Hildegun Olsen (Tarmansyah, 2007;82), adalah sekolah yang harus mengakomodasi semua peserta didik tanpa melihat fisik, kecerdasan (intelektual), sosial emosi, bahasa maupun kondisi lainnya. 

Sementara menurut Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang "Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa" dinyatakan bahwa pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.

Problematika seperti kasus-kasus di atas memang perlu dijadikan perhatian lebih. Karena dampak buruknya anak difabel yang semestinya mendapat hak pendidikan terpaksa harus putus sekolah karena sulitnya mendapatkan sekolah yang mau menerima.

Hal ini sesuai dengan data Unicef (2016), sebanyak 67 persen anak dengan disabilitas di Indonesia tidak bersekolah. Data tersebut juga diperkuat data Survei Ketenagakerjaan Nasional (Sakernas) 2016 yang menunjukkan 45,74 persen penyandang disabilitas tidak pernah/tidak lulus SD.
 
Selain karena ketidaksiapan sekolah menangani siswa inklusi, seperti contoh dua kasus di atas, ada beberapa faktor mengapa pendidikan inklusif masih sulit diimplementasikan di Indonesia. Kondisi itu meliputi kurangnya fasilitas dan akses, stigma dan ketidakpahaman, kurangnya pelatihan dan dukungan guru, biaya tambahan, keterbatasan rasio guru-siswa, ketidaksesuaian kurikulum, kurangnya kolaborasi dengan orang tua dan ahli kesehatan, dan persaingan penerimaan siswa.

Untuk mengatasi kesulitan siswa inklusif dalam mendapatkan sekolah memerlukan komitmen dari seluruh masyarakat pendidikan, termasuk pemerintah, lembaga pendidikan, guru, dan orang tua. 

Selain itu, ada beberapa upaya yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut.

Pertama, fasilitas yang ramah inklusi. Dengan menyediakan fasilitas fisik yang ramah inklusi, seperti akses bagi penyandang disabilitas serta menyesuaikan infrastruktur sekolah agar sesuai dengan kebutuhan anak inklusif. 

Kedua, penyuluhan dan kampanye kesadaran. Melakukan kampanye penyuluhan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya inklusi dan hak pendidikan bagi anak-anak inklusif. Selain itu juga bisa dengan menyebarkan informasi tentang kebijakan inklusi dan dukungan yang tersedia.

Ketiga, pelatihan guru dan tenaga pendidik. Memberikan pelatihan khusus kepada guru dan staf sekolah untuk meningkatkan pemahaman mereka terhadap kebutuhan anak inklusif dan cara pembelajaran yang tepat, juga mengintegrasikan kurikulum pelatihan guru dengan penekanan pada metode pengajaran inklusif.

Keempat, pengembangan program inklusi. Mendorong pembentukan program inklusi yang dapat mengakomodasi keberagaman kebutuhan anak dan memastikan keberlanjutan dan keefektifan program-program inklusi tersebut. 

Kelima, dukungan psikososial. Menyediakan layanan dukungan psikososial bagi anak-anak inklusif, termasuk dukungan konseling dan lingkungan yang mendukung, serta membangun lingkungan yang ramah dan bebas dari stigmatisasi.

Keenam, akses pendidikan jarak jauh. Menerapkan solusi pendidikan jarak jauh atau daring untuk memberikan akses pendidikan kepada anak-anak inklusif yang mungkin kesulitan menghadiri sekolah fisik dan memastikan aksesibilitas teknologi dan pelatihan untuk orang tua dan anak-anak.

Ketujuh, kebijakan inklusi yang kuat. Mendorong pemerintah untuk mengembangkan dan mengimplementasikan kebijakan inklusi yang kuat dan progresif, lalu memastikan kepatuhan terhadap kebijakan inklusi melalui pengawasan dan evaluasi berkala.

Kedelapan, pendekatan diferensiasi. Menerapkan pendekatan pembelajaran diferensiasi di kelas untuk memenuhi kebutuhan individu setiap siswa dan menyediakan sumber daya tambahan atau dukungan khusus bagi anak dengan kebutuhan khusus. 

Kesembilan, kerja sama dengan orang tua dan masyarakat. Melibatkan orang tua secara aktif dalam proses pendidikan anak inklusif dan membangun kemitraan dengan masyarakat setempat untuk mendukung inklusi sekolah. 

Kesepuluh, pengembangan kurikulum yang inklusif. Mengembangkan kurikulum yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan beragam anak, termasuk anak dengan kebutuhan khusus. Kemudian, memasukkan materi tentang inklusi dan keberagaman ke dalam kurikulum untuk mengedukasi semua siswa tentang nilai-nilai inklusi.

Dengan melakukan upaya-upaya tersebut, diharapkan mampu mengurai problematika anak inklusi yang sulit mendapatkan sekolah. Selain itu kita dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang mendukung perkembangan setiap siswa, tanpa memandang keberagaman kebutuhan mereka. 

Ingat, bahwa setiap manusia memiliki hak yang sama, terutama hak memperoleh pendidikan yang layak. Dengan mengakui hak-hak pendidikan anak inklusif, kita tidak hanya memenuhi prinsip-prinsip dasar kemanusiaan, tetapi juga membuka peluang bagi mereka untuk memiliki kehidupan yang lebih bermakna dan berdaya. 

Pendekatan inklusif  dalam pendidikan memperkaya masyarakat dengan memahami dan menghargai keberagaman serta memastikan bahwa setiap anak dapat mencapai potensi maksimal mereka.

*) Avita Diah Ayu Atalia adalah mahasiswa STKIP PGRI Ponorogo

 

Pewarta: Avita Diah Ayu Atalia*)

Editor : Masuki M. Astro


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2023