"Orang tua saya bekerja memungut sisa-sisa panen di sawah. Karena itu saya ingin mengubah nasib lewat pendidikan yang tinggi."

Itulah kalimat yang diucapkan Khofifah, siswa yang baru lulus dari SMKN 1 Sumberwringin, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, dalam perbincangan dengan ANTARA.

Pekerjaan mencari sisa-sisa hasil panen padi membawa konsekuensi tidak menentunya penghasilan yang didapat ayah dan ibu dari siswa yang pernah menjadi Ketua OSIS di sekolahnya itu. Selama 3 tahun menempuh pendidikan di SMK di lereng Gunung Raung itu, ia tidak pernah mengenal uang saku. Bagi dia, sudah bisa sekolah saja sudah beruntung.

Di identitas kependudukan, termasuk ijazah sekolah, nama gadis ini tertulis Hovivah. Hanya saja, ia sering dipanggil "bu gubernur" oleh beberapa guru karena kemiripan nama tersebut dengan Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa. Gadis itu sebetulnya agak risih mendapat panggilan seperti Gubernur Jatim Khofifah, namun seorang guru menegur dan memintanya untuk berkata "aamiin" dengan panggilan itu.

"Guru saya mengingatkan bahwa semua harus dimaknai sebagai doa. Menurut beliau, tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah jika Dia berkehendak gar seseorang menjadi pejabat. Makanya kalau sekarang ada yang manggil saya bu gubernur, saya amini saja," katanya.

Soal nama, ia bercerita, waktu mendaftar di sekolah dasar (SD) dulu, orang tuanya asal mengiyakan saja ketika petugas yang menerima pendaftaran, menulis namanya dengan mengganti huruf F dengan V. 

Terkait keinginannya untuk bisa mengenyam pendidikan tinggi, ia mengaku "dendam" dengan keadaan yang dialami oleh orang tuanya. Dendam positif yang membawa dia selama ini fokus untuk belajar dan tidak tergoda untuk mengikuti kecenderungan teman sebayanya, seperti pacaran atau lebih banyak bermain.

Bahkan, terkait hubungan lawan jenis itu, ia juga semacam trauma. Ia sempat memilih mengenakan cadar setiap keluar rumah, termasuk setiap hari ke sekolah. Cadar itu bukan karena pilihan ideologis atau mengikuti paham keagamaan yang kaku dan saat ini secara gampang disebut sebagai paham Wahabi oleh masyarakat.

Karena cadar itu ia kemudian banyak mendapat cibiran dari lingkungannya yang masih memegang teguh paham keagamaan tradisional. Meskipun demikian, ada juga beberapa orang yang memandangnya dengan lebih bijak bahwa pilihan bercadar itu dinilainya tidak ada masalah.

Jauh panggang dari api. Pilihan bercadar dari gadis yang biasa dipanggil Vivah itu hanya soal menghindarkan dirinya dari godaan laki-laki.

Ia tidak ingin wajah cantiknya terlihat anak muda, termasuk teman di sekolah, yang dikhawatirkan akan memupuskan mimpinya untuk memperbaiki ekonomi keluarga. 

"Tujuannya hanya itu. Karena itu saya mohon maaf kalau bercadarnya saya itu sempat memancing fitnah," kata gadis yang saat ini sedang berjuang ikut seleksi masuk PTN dengan pilihan Politeknik Negeri Jember (Polije) itu.

Cerita menyertai ikhtiar Vivah dari pandangan para pemuda sebayanya. Seorang guru bercerita bahwa ada teman sekolah Vivah yang menyukai gadis itu, meskipun tidak berani mendekati. Meskipun tidak pernah melihat wajahnya, si cowok yakin bahwa Vivah itu cantik hanya dari sorot matanya.

Mengapa sampai bercadar untuk melindungi diri dari tatapan lelaki muda? Vivah memiliki alasan kuat untuk itu. Saudara perempuan dia yang juga cantik dan berprestasi di sekolah, kemudian masuk pada keadaan hidup yang terpuruk.

Kakak perempuan Vivah menikah saat masih kelas 2 MTs dan berakhir dengan perceraian saat memiliki satu anak. Kemudian si kakak menikah lagi dan lahir anak kedua. Kini dia ikut suaminya bekerja di usaha pembuatan batu bata di Bali. Ayah dari Vivah kemudian sempat menyampaikan penyesalannya setelah melihat kenyataan si kakak itu dan tidak ingin Vivah mengalami hal serupa. 

Selain itu ada saudara sepupu dari Vivah yang juga menikah muda karena sesuai tradisi di desa, pantang bagi keluarga perempuan menolak lamaran laki-laki.

Saat itu ayah dari Viva menyatakan tidak setuju dengan pernikahan dini tersebut. Dengan potensi anak yang pintar dan seandainya bisa meneruskan pendidikan lebih tinggi, tentu nasibnya tidak akan seperti saat ini. Bagi perempuan berpendidikan pas-pasan di desa itu adalah merantau ke daerah lain untuk menjadi asisten rumah tangga (ART). 

Naluri ayah Vivah betul, tali pernikahan tidak berlangsung lama, kakak sepupunya bercerai dengan meninggalkan 1 anak yang harus ditanggung oleh si ibu. Melihat itu, Vivah dan ayahnya hanya bisa menangis, bahwa tradisi masyarakat telah merenggut masa depan seorang gadis yang memiliki potensi untuk maju lewat pendidikan tinggi.

Vivah tidak ingin mengulang itu. Ia telah memiliki modal, yaitu akademis dan organisasi. 

Evy Yulis, salah seorang guru di SMKN 1 Sumberwringin, mengungkapkan bahwa gadis ini selalu meraih ranking pertama di kelasnya sejak dari kelas 1 dan kemampuan organisasi serta pergaulan. Ia terpilih menjadi ketua OSIS dengan mengalahkan siswa-siswa lain yang memiliki kemampuan kepemimpinan maupun fasilitas dari orang tuanya, termasuk dari kalangan laki-laki. 

Saat wisuda kelulusan atau purnawiyata di SMKN 1 Sumberwringin, Bondowoso, Kamis (4/5), Vivah dinobatkan sebagai lulusan terbaik di kompetensi keahlian multimedia dan mendapatkan penghargaan dari sekolah. 

Vivah mengaku banyak hal yang didapatkan dengan menjadi Ketua OSIS, aktif di Pramuka dan kegiatan lainnya. Mungkin sebagian orang berpikiran bahwa organisasi itu tidak penting, hanya buang-buang waktu dan ada yang menyatakan mereka yang aktif itu sebagai "babu sekolah".
 
"Padahal ada banyak sekali ilmu yang saya dapatkan dari organisasi yang tidak saya dapatkan dalam pembelajaran di kelas. Organisasi membuat saya banyak memiliki teman antarkelas, memperluas relasi, berlatih public speaking, bekerja sama dalam tim, membuat proposal kegiatan, laporan kegiatan dan banyak ilmu lainnya," katanya.

Di luar ketokohannya dalam organisasi, Vivah sempat bingung dan hanya bisa menitikkan air mata memikirkan masa depannya yang seolah buntu saat akhir-akhir memasuki kelas 3. Beruntunglah beberapa guru memberikan perhatian pada dia dengan mencarikan informasi bahwa saat ini banyak peluang beasiswa untuk calon mahasiswa dari kalangan keluarga tidak mampu yang bisa dia manfaatkan.

Kini, ia mengikuti seleksi masuk PTN jalur tes dengan pembiayaan Kartu Indonesia Pintar (KIP) di Polije. Vivah banyak berterima kasih kepada para guru yang bukan sekadar memindahkan pengetahuan pada otaknya, melainkan juga telah membangkitkan semangat dia untuk meraih mimpi di masa depan yang lebih baik.

Vivah tidak ingin mengulang atau melestarikan kemiskinan keluarga bagi generasi selanjutnya. Vivah ingin memberikan semacam "hadiah" kepada kedua orang tuanya agar kelak di masa-masa tuanya mereka tidak lagi berjuang di sawah dalam mencari makan.

Ia juga membawa misi agar generasi setelahnya juga berani bermimpi untuk mengubah keadaan lewat pendidikan. 

"Terima kasih bapak ibu guru semua. Mohon doanya restunya agar saya sukses dalam perjuangan meraih masa depan ini," kata gadis yang hobi membaca ini.(*)


Baca juga: Gubernur Khofifah ambil sumpah dan janji 1.450 PNS

Baca juga: Khofifah kembali sematkan Satyalencana Karya Satya kepada ratusan guru

Pewarta: Masuki M. Astro

Editor : A Malik Ibrahim


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2023