Oleh Abdul Maliq

Terbitnya SK Pengesahan Kepengurusan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Surabaya dinilai beberapa kalangan sangat kental dengan nuansa politik internal dan arogansi.

Semula Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengeluarkan SK karetaker Jilid II untuk PCNU Kota Surabaya pada akhir Oktober 2022.

Setelah diperpanjang masa kerjanya sampai tiga kali, karetaker tidak juga menyelenggarakan konferensi tanpa alasan yang jelas. 

Lalu PBNU tiba-tiba melakukan penunjukan pengurus definitif PCNU Surabaya untuk masa khidmat terbatas, yakni 2023-2024. Ketua pengurus definitif adalah ketua karetaker yang tidak berhasil menyelenggarakan konferensi itu Ini merupakan sesuatu yang sangat janggal.

Mengapa karetaker jilid II tidak menyelenggarakan konferensi?. Benarkah karena tidak terpenuhinya syarat kecukupan untuk penyelenggaraan konferensi seperti disampaikan oleh H. Masduki selaku sekretaris Pengurus PCNU yang baru?. Apakah karena ada penolakan?.

Jawabnya: Tidak. Pengurus Cabang hasil konferensi karetaker Jilid I sudah taslim (patuh) bahkan sangat kooperatif membantu menyediakan data-data formil dan apa yang diperlukan oleh karetaker.

Demikian pula Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWC NU) dan ranting-ranting.

Mereka diundang, datang dan diminta menandatangani pernyataan ketaatan, ditandatangani. Tidak ada penolakan. Kalau kekecewaan, ya pasti ada, karena mereka sesungguhnya sudah menyalurkan aspirasinya pada konferensi yang telah berlangsung sebelumnya.

Tapi mereka juga dapat menghindari kegaduhan dan mengikuti saja arahan dan program karetaker. Mereka, para pegiat NU di Surabaya hanya ingin menjaga Marwah jam'iyah.

Kalau mau disebut kendala, memang ada sedikit hambatan administratif karena beberapa MWC dan Ranting telah habis masa khidmatnya disebabkan jeda waktu 1,5 tahun yang dinyatakan sebagai status quo, dimana pengurus hasil konferensi jilid I dianggap tidak memiliki kewenangan untuk mengeluarkan SK-nya.

Ini problem yang dibikin-bikin sendiri oleh PBNU. Masak ada 1,5 tahun dinyatakan sebagai status quo? Kepemimpinan de facto hasil Konferensi yang diselenggarakan karetaker jilid I dianggap tidak ada begitu saja.

Kan pada kurun waktu itu beberapa MWC dan Ranting yang masa khidmat nya berakhir. Otomatis mereka harus konferensi. Kalau tidak konferensi kan ada kekosongan kepemimpinan. 

Sebenarnya ranting-ranting dan MWC itu sangat eksis. Mereka berkegiatan dan melakukan pergantian pengurus melalui konferensi juga.

Tapi tidak diakui oleh PBNU, dalam hal ini karetaker yang dibentuk karena klaim sepihak bahwa tidak ada kepemimpinan yang sah selama 1,5 tahun sejak konferensi oleh karetaker jilid I. 

Tetapi ini kan persoalan sederhana dan dapat diatasi oleh karetaker jilid II. Jika mereka tidak ada bias kepentingan. Tinggal verifikasi dan ditindaklanjuti. Bukankah salah satu tugas mereka juga untuk melakukan penataan organisasi ?.

Tapi, ya sudahlah. Kelihatannya ini bukan soal kebenaran. Tapi menang-menangan, dengan menunjukkan kewenangan atau otoritas.

Warga Nahdliyyin di Surabaya tahu hal ini. Karena ini NU yang di Surabaya. Kelihatannya memang spesial. Banyak nuansa "conflict of interest" atau konflik kepentingan di sini. Seperti diketahui, Surabaya tempat berkantornya Pengurus Wilayah NU dan banyak pimpinan tertinggi NU yang berkepentingan dengan Surabaya.

Penunjukan pengurus definitif, meski dengan masa khidmat terbatas, potensial menyisakan masalah. Sayang sekali ini dilakukan untuk NU di Surabaya. Sehingga sangat beralasan jika K.H. Abdus Salam Sochib mengkhawatirkan akan hilangnya kepercayaan awam terhadap kepemimpinan ulama, yang lazimnya bersikap arif dan menjaga nidham.

Memang bisa saja pengurus yang baru nantinya membuat MWC-MWC dan ranting-ranting NU yang baru. Bahkan dengan cara yang sama "penunjukan" karena klaim atau Dhon bahwa MWC ini orangnya si itu, ranting ini orangnya si ini dan karena sudah dibentuk pada timing status quo. Pasal yang digunakan tentu bisa berulang, yaitu "kewenangan" membentuk. 

Tapi apakah akan dibiarkan konflik itu akan merambah ke level grass root NU ?.

Publik Surabaya juga tahu. Mereka juga sudah menyaksikan, bahwa geliat NU di Surabaya selama ini sudah cukup baik. Lumayan lagi, kalau tidak bisa disebut di atas lumayan. Meskipun tentu masih harus terus ditingkatkan. 

Lalu apakah fakta ini akan dikorbankan untuk memenangkan ego tertentu ?. 

Jangan sampai kebijakan terhadap NU di Surabaya jadi bumerang. Para Nahdliyyin dan pecinta NU tentu tidak ingin ini terjadi.


*Penulis adalah Ketua MWC NU Gayungan Surabaya
 

Pewarta: Oleh: Abdul Maliq *

Editor : Fiqih Arfani


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2023