Pasal 280 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) sudah cukup tegas melarang penggunaan instrumen suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) atau politik identitas sebagai sarana atau alat menyosialisasikan atau mengampanyekan diri.

Dalam pasal 280  angka (1) huruf  c  Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017  disebutkan bahwa pelaksana, peserta, dan tim Kampanye Pemilu dilarang menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau Peserta Pemilu yang lain.

Artinya, UU Pemilu sudah jelas mengatur larangan penggunaan instrumen SARA, yang dalam bahasa UU bisa disebut politik identitas, sebagai sarana atau alat untuk menyosialisasikan diri atau mengampanyekan diri.

Namun, hal itu bukan perkara mudah untuk mewujudkannya di era digital yang secara teknologi berkembang sangat cepat. Bahkan, pengguna telepon pintar (smartphone) di Indonesia merupakan pengguna terbesar ketiga di Asia Pasifik (2022).

Pengguna "terbesar ketiga" itu merujuk angka pengguna di atas 100 juta untuk setiap akun medsos. Misalnya,  Youtube di Indonesia mencapai 113 juta pengguna, Facebook ada 111 juta pengguna, Twitter/ig/TikTok juga tidak jauh dari angka itu. Bahkan, kini ada teknologi terbaru yakni 'transmedia' (perpaduan teks+suara+gambar+gerak).

Jika teknologi digital  bersatu dengan kebiasaan bergosip maka bisa menjadi "ngeri" . Bergosip yang "difasilitasi" dunia digital (Gosip Digital) yang terkadang menjadi  "trending topic" di Indonesia itu di antaranya  terkait isu SARA, dan isu politis (beda pilihan politik).

Terkait dengan itu, Bawaslu menyatakan siap menegur partai atau siapapun yang menggunakan instrumen SARA dalam pemilu. Bawaslu mengajak bangsa Indonesia memetik banyak pelajaran dari keterbelahan sosial akibat eksploitasi politik identitas pada Pilpres 2019 silam. Sebab, pemakaian politik identitas akan semakin memperparah keterbelahan dan konflik sosial.

Persoalan SARA atau politik identitas merupakan persoalan besar bangsa ini. Hal itu sudah terlihat dalam Pemilu 2019. "Perpecahan" terbukti menjadi potensi yang tidak bisa selesai dalam satu kali pemilu, meski pemilu itu sudah usai. 

Oleh karena itu, bangsa ini harus mengambil pelajaran untuk Pemilu 2024 guna mencegah politik SARA atau politik identitas agar "kebersamaan" warga bangsa tidak "tersandera" oleh persoalan suku, agama, ras (pribumi/non-pribumi), antar-golongan (kaya-miskin, dan sebagainya).


"Kebersamaan" dalam Pemilu

Kata kunci untuk Pemilu 2024 adalah mencegah politik identitas atau SARA, baik menjadi materi kampanye maupun menjadi isu kampanye di ruang-ruang digital, sebagaimana tagline 'Pemilu Sebagai Sarana Integrasi Bangsa' harus benar-benar terwujud dan terjaga.

Untuk mewujudkan "kebersamaan" dalam Pemilu 2024, maka perlu cara "kebersamaan" yang melibatkan parpol, penyelenggara (KPU/Bawaslu), aparat negara (kepolisian/Kominfo), dan masyarakat (media/tokoh masyarakat).

"Kebersamaan" parpol dan KPU dalam mencegah Pemilu SARA itu berperan penting dalam mengalihkan tema kampanye dari isu SARA ke program kerja untuk bangsa dan negara.

"UU Pemilu sudah jelas mengatur larangan menggunakan instrumental SARA yang dalam bahasa undang-undang bisa disebut politik identitas sebagai sarana atau alat untuk menyosialisasikan diri atau mengampanyekan diri," ujar Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari dalam acara Pelantikan dan Pengambilan Sumpah Jabatan Sekjen Bawaslu RI di Jakarta (17/2/2023).

Cara "kebersamaan" lain adalah peran jajaran kepolisian bersama Kominfo dan Bawaslu untuk melakukan patroli siber di ruang-ruang maya untuk mencegah "pembesaran" isu-isu SARA oleh influencer (pemengaruh) dan buzzer (pendengung) hingga masyarakat pun terpapar isu SARA itu.

"Ada berbagai macam jenis penciptaan kondisi yang kami lakukan untuk menciptakan situasi yang kondusif selama tahapan pemilu, termasuk melakukan patroli siber sebagai salah satu bagian dari pengawasan yang kita laksanakan," kata Kapolda Bali Irjen Pol Putu Jayan Danu Putra dalam acara deklarasi dan peluncuran kirab pemilu 2024 di Sanur, Denpasar, Bali (14/2/2023).

Peran "kebersamaan" yang tidak kalah pentingnya adalah peran media arus utama (media mainstream) dan tokoh-tokoh masyarakat dalam mengedukasi masyarakat untuk memprioritaskan "kebersamaan" dalam Pemilu 2024, karena kebinekaan bangsa ini merupakan fakta yang harus diterima dan dikelola menjadi potensi positif, bukan justru menghancurkan.

Untuk itu, media mainstream dan Kantor Berita ANTARA berperan dalam memperbanyak pemberitaan positif edukatif dan menyiapkan kanal aduan Hoax (email/website lapor.go.id/SMS) bersama jajaran Kominfo. Kemudian, media bersama tokoh masyarakat juga perlu memperbanyak media tatap muka (dialog/literasi digital) dan melarang tempat ibadah sebagai sarana kampamye, serta menyiapkan aplikasi database berita/informasi hoaks seputar Pemilu SARA.

"Jangan menjadikan digital sebagai sumber ilmu utama, melainkan sebagai media informasi saja (tetap ke lembaga/pendidikan)," kata Al-Habib Ali Zainal Abidin bin Abdurrahman Al-Jufri, ulama muda Jeddah, Arab Saudi.

Langkah "kebersamaan" peserta dan penyelenggara Pemilu serta masyarakat itu penting untuk mencegah politik identitas yang merusak "kebersamaan" bangsa yang  majemuk ini.

Karena itu, politisasi SARA harus dihadapi bersama-sama oleh semua pihak. Sebab, dampak fatalnya jika itu terjadi, juga bisa bertahun-tahun.

Mari kita buktikan bahwa UU yang sudah tegas melarang Pemilu SARA itu benar adanya. Apalagi bangsa ini juga sudah lama membuktikan bahwa "kebersamaan" di tengah kebinekaan yang diterima apa adanya itu indah.

Pewarta: Edy M Yakub

Editor : Fiqih Arfani


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2023