Tampilan Encek Mang (65 tahun) tampak tidak berbeda dengan warga lain di Pulau Kangean, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur.
Saat ditemui di rumahnya di Dusun Pecinan, Desa Kalikatak, Kecamatan Arjasa, Pulau Kangean, Jumat (8/7) sore, lelaki bernama asli Fathorrahman ini mengenakan sarung dan baju batik tanpa kopiah.
Hanya saja, ketika dilihat lebih teliti, tampak bahwa di tubuhnya mengalir gen dari turunan China. Kulitnya lebih putih dan semburat warna merah muda tampak di pipinya. Matanya juga terlihat lebih sipit.
Apalagi dari sisi panggilan, awalan Encek semakin memperjelas bahwa dia adalah keturunan China. Rata-rata di dusun itu, setiap laki-laki dipanggil dengan sebutan encek dan perempuan dengan encik. Encek adalah sebutan untuk paman dan encik untuk perempuan.
"Tapi saya sudah tidak tahu mengenai leluhur saya itu. Bahkan kakak saya yang usianya 80 tahun juga tidak bisa menjelaskan asal usul kami ini. Yang saya tahu, katanya saya memang ada turunan China," kata pensiunan guru dan kepala sekolah ini.
Ia hanya bercerita bahwa di dusun itu ada makam satu orang asal China. Tokoh yang oleh warga biasa dipanggil Mak Ribut itu, makamnya ada di sebelah timur rumah Encek Mang. Bahkan lokasi makamnya mepet dengan bangunan rumah. Dulu, makam itu sering didatangi warga China untuk ziarah, namun kini sudah tidak ada lagi yang datang.
Bukan hanya pengetahuan Encek Mang tentang leluhurnya yang mulai putus, tapi beberapa warisan budaya China di kampung itu sudah tidak bersisa. Bangunan jenis Pecinan di kawasan itu kini tidak lebih dari lima unit.
Dua di antaranya ada di sebelah kanan depan dan persis sebelah kiri rumah Encek Mang. Hampir semua warga di Dusun Pecinan sudah mengubah bentuk rumah mengikuti model modern sebagaimana rumah warga lainnya. Bahkan, dua rumah Pecinan di kawasan itu juga banyak berubah bentuk di beberapa bagian.
Warisan rumah model Pecinan justru lebih banyak ada di dusun lain, meskipun dalam beberapa bentuk juga berubah, yakni di Dusun Lambheng Dajah, Desa Kalikatak.
Bahkan, pengaruh bahasapun juga tidak ada yang tertinggal di masyarakat Pecinan. Mereka juga menggunakan Bahasa Madura logat Kangean yang banyak berbeda dengan Bahasa Madura pada umumnya.
Satu lagi jejak China di daerah itu adalah nama jalan, yakni Jalan Ba Bun Hong di Desa Kalikatak, yang diduga kuat disadur dari kata atau nama tokoh asal China.
Mengenai punahnya tradisi China di Dusun Pecinan, Encek Mang mengatakan kemungkinan karena seluruh keturunan China di wilayah itu sudah memeluk Agama Islam yang berbeda dengan tradisi keagamaan masyarakat China.
"Jadi membakar dupa dan tradisi lainnya dari China sudah tidak ada," katanya.
Sementara makam yang diduga sebagai salah satu leluhur asal Negara China di Dusun Pecinan, kondisinya sudah dibiarkan apa adanya. Nisan yang terbuat dari adonan semen itu kini diselimuti lumut, bahkan tidak terlihat tulisan apapun yang menandakan bahwa jasad di dalamnya adalah orang China. Sekilas makam itu mirip pot bunga berukuran besar. Apalagi di samping makam ada pohon jeruk dengan daun yang lebat.
Pemandangan berbeda justru terlihat di arah kiri depan rumah Encek Mang. Di situ ada rumah panggung khas salah satu suku di Sulawesi. Pemiliknya, Muhammad Sofwan Sakir (Wawan) ternyata bukan dari Sulawesi. Ia berasal dari Kabupaten Sampang dan istrinya asli Pulau Kangean.
Ia memiliki rumah panggung dari hasil membeli ke warga di Dusun Bugis, Desa Pajenangger, Kecamatan Arjasa. Wawan mengaku sangat suka dengan rumah panggung itu karena dinilainya eksotis. Rumah itu ada di bagian pojok Dusun Pecinan.
Sementara itu Camat Arjasa Husairi Husen yang mengaku juga masih keturunan China dan memiliki keluarga dekat de warga di Dusun Pecinan itu menuturkan bahwa informasi yang dia dapat, warga China di Kangean memang berasal dari Negara Tiongkok sekarang. Dulu mereka berlayar ke Dungkek di Kabupaten Sumenep lalu ke Sapudi dan ke Kangean. Sebagian ada yang menetap di Dungkek dan terjadi asimilasi dengan penduduk lokal ddi Sumenep daratan itu.
Di Desa Kalikatak, Kecamatan Arjasa, juga terjadi pembauran dan perkawinan warga China dengan penduduk lokal, sehingga yang tertinggal saat ini adalah peranakan.
Sebagai keturunan China, Husairi Husen juga akrab dipanggil encek, yakni Encek Eeng, dan sebagian warga dusun itu yang mengenalnya sejak kecil memanggil Koh Eeng.
Mengenai warisan leluhur yang kini mulai punah, Encek Eeng mengaku dirinya masih menyimpan sejumlah benda penanda budaya masa lalu orang China, salah satunya alat timbang yang dikenal dengan sebutan dhacen.
Timbangan kuno yang diklaim asli dari China itu ia dapat dari warisan orang tuanya yang sampai saat ini masih disimpan, meskipun secara fungsi sudah tidak dipergunakan.
Keberadaan kampung Pecinan dan rumah panggung menjadi bukti sejarah bahwa budaya Kangean adalah perpaduan beberapa budaya, yakni Madura, China dan Sulawesi, bahkan juga ada Arab.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2022
Saat ditemui di rumahnya di Dusun Pecinan, Desa Kalikatak, Kecamatan Arjasa, Pulau Kangean, Jumat (8/7) sore, lelaki bernama asli Fathorrahman ini mengenakan sarung dan baju batik tanpa kopiah.
Hanya saja, ketika dilihat lebih teliti, tampak bahwa di tubuhnya mengalir gen dari turunan China. Kulitnya lebih putih dan semburat warna merah muda tampak di pipinya. Matanya juga terlihat lebih sipit.
Apalagi dari sisi panggilan, awalan Encek semakin memperjelas bahwa dia adalah keturunan China. Rata-rata di dusun itu, setiap laki-laki dipanggil dengan sebutan encek dan perempuan dengan encik. Encek adalah sebutan untuk paman dan encik untuk perempuan.
"Tapi saya sudah tidak tahu mengenai leluhur saya itu. Bahkan kakak saya yang usianya 80 tahun juga tidak bisa menjelaskan asal usul kami ini. Yang saya tahu, katanya saya memang ada turunan China," kata pensiunan guru dan kepala sekolah ini.
Ia hanya bercerita bahwa di dusun itu ada makam satu orang asal China. Tokoh yang oleh warga biasa dipanggil Mak Ribut itu, makamnya ada di sebelah timur rumah Encek Mang. Bahkan lokasi makamnya mepet dengan bangunan rumah. Dulu, makam itu sering didatangi warga China untuk ziarah, namun kini sudah tidak ada lagi yang datang.
Bukan hanya pengetahuan Encek Mang tentang leluhurnya yang mulai putus, tapi beberapa warisan budaya China di kampung itu sudah tidak bersisa. Bangunan jenis Pecinan di kawasan itu kini tidak lebih dari lima unit.
Dua di antaranya ada di sebelah kanan depan dan persis sebelah kiri rumah Encek Mang. Hampir semua warga di Dusun Pecinan sudah mengubah bentuk rumah mengikuti model modern sebagaimana rumah warga lainnya. Bahkan, dua rumah Pecinan di kawasan itu juga banyak berubah bentuk di beberapa bagian.
Warisan rumah model Pecinan justru lebih banyak ada di dusun lain, meskipun dalam beberapa bentuk juga berubah, yakni di Dusun Lambheng Dajah, Desa Kalikatak.
Bahkan, pengaruh bahasapun juga tidak ada yang tertinggal di masyarakat Pecinan. Mereka juga menggunakan Bahasa Madura logat Kangean yang banyak berbeda dengan Bahasa Madura pada umumnya.
Satu lagi jejak China di daerah itu adalah nama jalan, yakni Jalan Ba Bun Hong di Desa Kalikatak, yang diduga kuat disadur dari kata atau nama tokoh asal China.
Mengenai punahnya tradisi China di Dusun Pecinan, Encek Mang mengatakan kemungkinan karena seluruh keturunan China di wilayah itu sudah memeluk Agama Islam yang berbeda dengan tradisi keagamaan masyarakat China.
"Jadi membakar dupa dan tradisi lainnya dari China sudah tidak ada," katanya.
Sementara makam yang diduga sebagai salah satu leluhur asal Negara China di Dusun Pecinan, kondisinya sudah dibiarkan apa adanya. Nisan yang terbuat dari adonan semen itu kini diselimuti lumut, bahkan tidak terlihat tulisan apapun yang menandakan bahwa jasad di dalamnya adalah orang China. Sekilas makam itu mirip pot bunga berukuran besar. Apalagi di samping makam ada pohon jeruk dengan daun yang lebat.
Pemandangan berbeda justru terlihat di arah kiri depan rumah Encek Mang. Di situ ada rumah panggung khas salah satu suku di Sulawesi. Pemiliknya, Muhammad Sofwan Sakir (Wawan) ternyata bukan dari Sulawesi. Ia berasal dari Kabupaten Sampang dan istrinya asli Pulau Kangean.
Ia memiliki rumah panggung dari hasil membeli ke warga di Dusun Bugis, Desa Pajenangger, Kecamatan Arjasa. Wawan mengaku sangat suka dengan rumah panggung itu karena dinilainya eksotis. Rumah itu ada di bagian pojok Dusun Pecinan.
Sementara itu Camat Arjasa Husairi Husen yang mengaku juga masih keturunan China dan memiliki keluarga dekat de warga di Dusun Pecinan itu menuturkan bahwa informasi yang dia dapat, warga China di Kangean memang berasal dari Negara Tiongkok sekarang. Dulu mereka berlayar ke Dungkek di Kabupaten Sumenep lalu ke Sapudi dan ke Kangean. Sebagian ada yang menetap di Dungkek dan terjadi asimilasi dengan penduduk lokal ddi Sumenep daratan itu.
Di Desa Kalikatak, Kecamatan Arjasa, juga terjadi pembauran dan perkawinan warga China dengan penduduk lokal, sehingga yang tertinggal saat ini adalah peranakan.
Sebagai keturunan China, Husairi Husen juga akrab dipanggil encek, yakni Encek Eeng, dan sebagian warga dusun itu yang mengenalnya sejak kecil memanggil Koh Eeng.
Mengenai warisan leluhur yang kini mulai punah, Encek Eeng mengaku dirinya masih menyimpan sejumlah benda penanda budaya masa lalu orang China, salah satunya alat timbang yang dikenal dengan sebutan dhacen.
Timbangan kuno yang diklaim asli dari China itu ia dapat dari warisan orang tuanya yang sampai saat ini masih disimpan, meskipun secara fungsi sudah tidak dipergunakan.
Keberadaan kampung Pecinan dan rumah panggung menjadi bukti sejarah bahwa budaya Kangean adalah perpaduan beberapa budaya, yakni Madura, China dan Sulawesi, bahkan juga ada Arab.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2022