Pengamat independen industri Minyak dan Gas (Migas) Dr. Komaidi Notonegoro menyarankan agar PT Pertamina membuat pengumuman bahwa konsumen yang bisa membeli Pertalite hanya pemakai kendaraan roda dua, sedangkan pengendara mobil bisa membeli BBM nonsubsidi.
Saran itu lebih baik daripada melakukan skema pembatasan melalui aplikasi MyPertamina terkait isu pembatasan bahan bakar minyak (BBM) subsidi oleh Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas).l, katanya dalam keterangan pers, Minggu.
Komaidi meragukan cara pembatasan melalui aplikasi karena akan sulit dilakukan di lapangan dan pegawai stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) akan berhadapan dengan pengendara mobil yang merasa punya hak membeli BBM pertalite maupun solar bersubsidi.
"Justru yang ada terjadi banyak pertikaian dengan pegawai SPBU, belum lagi tidak semua konsumen punya akses jaringan internet seperti di pelosok," beber Komaidi.
Menurut Komaidi, secara logika orang yang membeli mobil tidak mungkin tidak bisa beli BBM dengan oktan tinggi. "Jika memang mereka hanya mampu beli Pertalite yang harganya 7 ribuan, pasti kemampuannya hanya membeli kendaraan roda dua," tegas Direktur Eksekutif ReforMiner Institute itu.
Komaidi menyebutkan jika subsidi BBM yang ada saat ini sudah sangat membebani negara dan jika dibiarkan terus dinikmati oleh orang yang mampu beli mobil tetapi tidak bisa beli BBM nonsubsidi maka subsidi untuk pendidikan dan pupuk pun akan tergenjet kebutuhan subsidi BBM.
"Subsidi ditujukan untuk masyarakat kurang mampu. Nah, kalau sudah mampu beli mobil, masa tidak mampu beli BBM nonsubsidi," kritik alumnus Fakultas Ekonomi Unair itu.
Hal yang sama juga disampaikan Abdul Ghoni Mukhlas Nia'm, anggota Komisi C DPRD Surabaya, yang miris melihat nasib para nelayan di Kenjeran Surabaya yang tak bisa melaut karena tak punya solar.
"Solar ada, dijual di Pertamini yang harganya jauh lebih mahal dibandingkan SPBU legal. Solar yang harganya Rp5.150 per liter, dijual seharga Rp10 ribuan," kata Ghoni.
DPRD Surabaya sepakat akan mengawal subsidi solar ini benar-benar bisa dinikmati oleh nelayan sebab jika Solar bersubsidi tak bisa diakses nelayan maka ekonomi nelayan di Kenjeran akan semakin terpuruk.
"Nelayan di Kenjeran itu sudah banyak masalah mulai dari kelangkaan solar bersubsidi hingga kasus stunting atau gizi buruk yang menimpa anak mereka, akibat keterbatasan ekonomi," kata anggota dewan dari PDIP itu.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2022
Saran itu lebih baik daripada melakukan skema pembatasan melalui aplikasi MyPertamina terkait isu pembatasan bahan bakar minyak (BBM) subsidi oleh Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas).l, katanya dalam keterangan pers, Minggu.
Komaidi meragukan cara pembatasan melalui aplikasi karena akan sulit dilakukan di lapangan dan pegawai stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) akan berhadapan dengan pengendara mobil yang merasa punya hak membeli BBM pertalite maupun solar bersubsidi.
"Justru yang ada terjadi banyak pertikaian dengan pegawai SPBU, belum lagi tidak semua konsumen punya akses jaringan internet seperti di pelosok," beber Komaidi.
Menurut Komaidi, secara logika orang yang membeli mobil tidak mungkin tidak bisa beli BBM dengan oktan tinggi. "Jika memang mereka hanya mampu beli Pertalite yang harganya 7 ribuan, pasti kemampuannya hanya membeli kendaraan roda dua," tegas Direktur Eksekutif ReforMiner Institute itu.
Komaidi menyebutkan jika subsidi BBM yang ada saat ini sudah sangat membebani negara dan jika dibiarkan terus dinikmati oleh orang yang mampu beli mobil tetapi tidak bisa beli BBM nonsubsidi maka subsidi untuk pendidikan dan pupuk pun akan tergenjet kebutuhan subsidi BBM.
"Subsidi ditujukan untuk masyarakat kurang mampu. Nah, kalau sudah mampu beli mobil, masa tidak mampu beli BBM nonsubsidi," kritik alumnus Fakultas Ekonomi Unair itu.
Hal yang sama juga disampaikan Abdul Ghoni Mukhlas Nia'm, anggota Komisi C DPRD Surabaya, yang miris melihat nasib para nelayan di Kenjeran Surabaya yang tak bisa melaut karena tak punya solar.
"Solar ada, dijual di Pertamini yang harganya jauh lebih mahal dibandingkan SPBU legal. Solar yang harganya Rp5.150 per liter, dijual seharga Rp10 ribuan," kata Ghoni.
DPRD Surabaya sepakat akan mengawal subsidi solar ini benar-benar bisa dinikmati oleh nelayan sebab jika Solar bersubsidi tak bisa diakses nelayan maka ekonomi nelayan di Kenjeran akan semakin terpuruk.
"Nelayan di Kenjeran itu sudah banyak masalah mulai dari kelangkaan solar bersubsidi hingga kasus stunting atau gizi buruk yang menimpa anak mereka, akibat keterbatasan ekonomi," kata anggota dewan dari PDIP itu.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2022