Apa hubungan Hari Pers Nasional (HPN) dan G20? Rasanya, tidak ada. Namun, ada satu dari tiga agenda G20 yang memiliki kaitan dengan media yakni digitalisasi, yang saat ini menyasar segala bidang/aspek kehidupan menjadi serba digital.
Selain digitalisasi, G20 mengagendakan ekonomi hijau dan kesehatan global. Soal kesehatan global, agendanya terkait dengan bank dunia kesehatan, sumber daya kesehatan (semacam pasukan kesehatan internasional), pengawasan kesehatan bersama (riset, produksi vaksin), dan standar kesehatan global (misalnya, aplikasi kesehatan yang berlaku global). Soal Ekonomi hijau terkait teknologi ramah lingkungan dan pendanaan global Energi Terbarukan.
Soal digitalisasi memang saat ini merupakan eranya, mulai dari bekerja secara digital, birokrasi dengan layanan berbasis digital, ekonomi digital, sekolah digital, kesehatan digital, hingga digitalisasi industri. Apalagi, kehadiran virus COVID-19 sejak Maret 2020 pun memaksa percepatan digitalisasi di segala sektor itu.
Terkait dengan HPN, digitalisasi dalam konteks media massa sebenarnya bukan hanya digitalisasi media atau industri media digital karena media digital atau media online (siber) itu bak jamur pada musim hujan. Jumlahnya bisa 5—10 kali lipat media konvensional di suatu daerah meski mayoritas belum terverifikasi Dewan Pers. Adapula perusahaan berbasis digital, seperti Google, Apple, Microsoft, dan penyedia konten lainnya.
Namun, digitalisasi dalam konteks media massa yang termasuk menjadi topik penting dalam HPN 2022 di Kendari adalah literasi digital! Bahkan, literasi digital itu jauh lebih strategis daripada digitalisasi itu sendiri, mengingat saat ini ada media sosial yang "mencuri" massa dari media konvensional maupun media siber, menjadi "jahat" di dunia maya (Facebook, Twitter, YouTube, Tik Tok, dan 'transmedia'/perpaduan teks, suara, gambar, konten lain).
Nah, massa yang "dicuri" medsos dan akhirnya menjadi "jahat" di dunia maya itulah yang kini menjadi masalah sangat serius. Buktinya, Studi Microsoft yang terbaru tentang Digital Civility Index (DCI) yang mengukur tingkat kesopanan digital pengguna internet saat berkomunikasi di dunia maya menyebut Indonesia berposisi paling buruk dalam keadaban/kesopanan di dunia maya.
Laman news.microsoft.com (11/2/2021) menunjukkan hasil studi tahunan Civility, Safety, and Interactions Online - 2020 bahwa Digital Civility Index (DCI) 2020 (indeks keadaban online tahun 2020) di kawasan Asia-Pasifik (APAC) membaik dengan skor 66, sedangkan skor pada tahun 2019 sebesar 68.
Indeks DCI global juga meningkat menjadi 67 dari skor kurang baik pada tahun 2019. Artinya, kini lebih banyak orang melakukan interaksi online yang positif meski secara global tetap ada peningkatan hoaks, penipuan dan scam, ujaran kebencian, serta diskriminasi. Responden global melaporkan peningkatan pengalaman hoaks, penipuan dan scam (naik 3 persen), ujaran kebencian (naik 4 persen), dan diskriminasi (naik 5 persen).
Yang menarik lagi, indeks itu menunjukkan kesopanan dalam "berselancar" di dunia maya di kalangan remaja itu lebih sopan daripada orang dewasa sehingga peningkatan online civility (keadaban online) secara global itu disokong kaum milenial (usia 13—16) yang disebut sebagai pendorong positif untuk kinerja DCI. Skor DCI remaja di 63, sedang skor orang dewasa di 72.
Bagaimana Indonesia? Dari survei DCI yang melibatkan sekitar 16.000 responden di 32 wilayah dalam kurun April—Mei 2020, yang mencakup sembilan wilayah APAC (Australia, India, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Taiwan, Thailand, dan Vietnam) itu menempatkan Indonesia berada di peringkat 29 dari 32 wilayah, atau terburuk ketiga dari bawah (dalam kesopanan digital).
Secara global, negara dengan tingkat kesopanan digital tertinggi adalah Belanda dengan 51 poin. Untuk wilayah Asia Pasifik, Singapura, dan Taiwan berada di posisi lima besar dunia dengan skor DCI paling tinggi, yakni posisi keempat dan kelima. Di Asia Tenggara, Singapura yang terbaik (59 poin). Namun, responden di India melaporkan kejadian ujaran kebencian meningkat dua kali lipat sejak 2016 (menjadi 26 persen dari 13 persen), sedangkan jumlah responden di Thailand melaporkan mengalami mikroagresi sejumlah 18 persen atau di atas rata-rata global.
"Studi Microsoft itu penting. Masyarakat kita mengandalkan dan merangkul teknologi digital lebih dari sebelumnya di tengah COVID-19, dan internet yang lebih positif akan meningkatkan pengalaman dan membentuk kesejahteraan komunitas kita," kata Regional Digital Safety Lead, Asia-Pasifik, Microsoft, Liz Thomas (news.microsoft.com, 11/2/2021).
Fakta Indonesia yang "buruk" (jahat) di dunia maya itu mengagetkan seorang warganet dari negara lain. Ia mengaku telah mem-posting video tentang pengalamannya yang bagus di Yogyakarta ke media sosial karena ditolong warga lokal saat di bandara, ternyata video itu diunduh hingga 3 juta kali dan ada 6.000 komentar. Namun, komentar yang banyak menyebut Indonesia itu "baik dalam kehidupan nyata, tapi mengerikan di dunia maya (medsos)".
"Saya kaget, lalu saya cari tahu, ternyata Indonesia memang peringkat 29 dari 32 negara dalam hal kesopanan di dunia maya, atau peringkat ketiga dari bawah yang berarti sangat buruk, karena adanya bully online, pertengkaran, dan bahkan rasisme. Orang Indonesia yang sangat baik, rendah hati, dan sopan kepada saya itu, ternyata iblis jahat di dunia maya.Itu bukan dari remaja-nya, tapi orang dewasa-nya, karena mentalitas kolot," katanya dalam Tik Tok-nya.
Mentalitas Kolot
Ya, masyarakat Indonesia yang memiliki "wajah ganda" antara dunia nyata dan di dunia maya (paling tidak sopan) adalah pengguna dunia maya berusia dewasa dengan persentase 68 persen. Sementara usia remaja disebut tidak berkontribusi dalam mundurnya tingkat kesopanan digital di Indonesia pada tahun 2020.
Hasil riset Microsoft itu menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia itu menjadi "jahat" di dunia maya karena mentalitas kolot atau karakter tidak terbuka dari orang dewasa. Artinya, milenial Indonesia itu tidak mudah percaya pada fakta-fakta di dunia maya, sebaliknya orang dewasa di Indonesia justru sangat mudah percaya begitu saja.
Karakter terbuka yang tidak mudah percaya begitu saja terhadap fakta-fakta di dunia maya itu penting. Oleh karena itulah literasi digital menjadi lebih strategis pada era digitalisasi karena era digital itu datang ke republik ini pada saat masyarakat negeri ini justru tidak berkarakter digital. Dengan demikian, literasi digital akan menciptakan orang dewasa yang berkarakter terbuka dan dunia maya menjadi "sehat" dari gosip-gosip SARA/hatespeech, akun-akun radikal, atau sampah-sampah digital/hoaks.
Meski tidak terkait langsung dengan digitalisasi (digitalisasi teknis di segala bidang) yang menjadi isu G20, literasi digital justru menjadi sangat strategis agar digitalisasi tidak menyisakan "sampah digital" yang justru diproduksi oleh 68 persen pengguna dunia maya berusia dewasa dengan "jahat" dan "mengerikan" kayak iblis. Rugi 'kan?
Gosip-gosip SARA/hatespeech atau "sampah-sampah digital"/hoaks yang dipercaya begitu saja oleh orang dewasa bermentalitas kolot itu antara lain sejumlah foto atau video yang dianggap benar hanya karena berbentuk gambar, padahal gambar (foto/video) bisa merupakan manipulasi digital dengan narasi atau suara yang tidak ada kaitan sama sekali.
Contohnya saat terjadi Gempa Banten pada bulan Desember 2021, ada teman kirim video tentang tanah terbelah pascagempa, ternyata tanah terbelah dalam video itu benar-benar terjadi. Akan tetapi, bukan di Banten, melainkan di Pandeglang dan terjadi pada tahun 2019. Tentu masyarakat Banten atau keluarga di luar provinsi ini sempat resah akibat video itu.
Begitu pula, saat Gunung Agung mengalami erupsi/meletus di akhir tahun 2017. Beberapa hari sebelum erupsi itu terjadi, ada teman dari Jakarta yang mengirim foto kebakaran di lereng gunung itu pada malam hari. Akan tetapi, foto kebakaran itu diberi narasi: Gunung Agung meletus. Akhirnya, banyak masyarakat yang menyangka Gunung Agung benar-benar sudah erupsi, padahal hanya foto dan narasi/teks yang berbeda.
Ada lagi, Foto Imlek 2022 dengan narasi bernuansa SARA. yakni Jokowi dan Tionghoa hadiri Imlek tanpa masker pada masa COVID-19, lalu narasi lain berbunyi Imlek bebas dirayakan, tetapi Idulfitri dan mudik dilarang. Ternyata, foto itu merupakan foto Imlek pada tanggal 1 Februari 2020, padahal COVID-19 baru masuk Indonesia pada tanggal 20 Maret 2020, jadi masih bebas, dan narasi yang membenturkan Imlek dengan Idulfitri adalah hoaks SARA.
Selain foto dan video, ada juga narasi yang seakan-akan logis tetapi hoaks. Misalnya, narasi dari kelompok HTI yang membenturkan Islam dengan Pancasila melalui narasi "Lebih baik mana antara Islam dengan Pancasila". Tentu, jawaban yang sudah pasti adalah Islam lebih baik. Padahal, narasi "bermain" logika itu tidak benar/imbang karena Islam adalah agama, sedangkan Pancasila adalah ideologi sehingga tidak imbang untuk diperbandingkan, kecuali agama dengan agama atau ideologi dengan ideologi.
Umumnya, narasi hoaks di Indonesia bernuansa SARA karena SARA merupakan hoaks yang paling mudah untuk mengaduk emosi bangsa Indonesia. Soal suku (etnis), agama, ras (pribumi dan nonpribumi), dan antargolongan (strata/kaya dan miskin) adalah hoaks yang renyah dalam gaya kerumunan/medsos mirip gosip yang juga gaya kerumunan. Khas.
Saking renyahnya, diulang-ulang atau diputar terus di kerumunan/medsos agar menimbulkan kepanikan dan kegaduhan sehingga viral. Bagi masyarakat bermental kolot, mereka terpaku pada gosip SARA itu, sedangkan kalangan remaja justru melihatnya unggahan medsos yang renyah dan akhirnya viral itu justru mirip "manajemen viral" yang menguntungkan "sang manajer" itu secara bisnis, meski dengan cara "jahat".
Untuk "membersihkan" dunia maya dari unggahan yang "jahat" secara sosial dan (pemanfaatan) secara ekonomis itulah Microsoft menyebut empat prinsip Digital Civility Challenge yang penting bagi pengguna online agar memiliki "karakter terbuka" di dunia maya, yaitu: empati/kasih sayang dan memperlakukan semua orang di dunia maya dengan bermartabat dan hormat (golden rule), menghormati perbedaan, berpikir sebelum membalas posting, dan membela orang lain dengan dukungan respons atau melaporkan aktivitas yang mengancam keselamatan orang lain.
Tentu "karakter terbuka" di dunia maya itu bukan karakter yang mudah dimiliki. Oleh karena itulah, literasi digital menjadi penting, mengingat mentalitas kolot telah terbukti menimbulkan penyesalan. Karena hoaks/tipu/jebakan, terbukti membuat Nabi Adam turun ke Bumi dan kesombongan (merasa paling baik dan paling benar) terbukti membuat iblis menjadi terkutuk selamanya.
Ya, G20 memang tidak ada hubungan langsung dengan HPN. Namun, isu digitalisasi yang menjadi salah satu agenda G20 itu juga memiliki kaitan dengan kalangan media untuk menciptakan dunia maya yang beradab (sopan), tidak "jahat" dan indah.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2022
Selain digitalisasi, G20 mengagendakan ekonomi hijau dan kesehatan global. Soal kesehatan global, agendanya terkait dengan bank dunia kesehatan, sumber daya kesehatan (semacam pasukan kesehatan internasional), pengawasan kesehatan bersama (riset, produksi vaksin), dan standar kesehatan global (misalnya, aplikasi kesehatan yang berlaku global). Soal Ekonomi hijau terkait teknologi ramah lingkungan dan pendanaan global Energi Terbarukan.
Soal digitalisasi memang saat ini merupakan eranya, mulai dari bekerja secara digital, birokrasi dengan layanan berbasis digital, ekonomi digital, sekolah digital, kesehatan digital, hingga digitalisasi industri. Apalagi, kehadiran virus COVID-19 sejak Maret 2020 pun memaksa percepatan digitalisasi di segala sektor itu.
Terkait dengan HPN, digitalisasi dalam konteks media massa sebenarnya bukan hanya digitalisasi media atau industri media digital karena media digital atau media online (siber) itu bak jamur pada musim hujan. Jumlahnya bisa 5—10 kali lipat media konvensional di suatu daerah meski mayoritas belum terverifikasi Dewan Pers. Adapula perusahaan berbasis digital, seperti Google, Apple, Microsoft, dan penyedia konten lainnya.
Namun, digitalisasi dalam konteks media massa yang termasuk menjadi topik penting dalam HPN 2022 di Kendari adalah literasi digital! Bahkan, literasi digital itu jauh lebih strategis daripada digitalisasi itu sendiri, mengingat saat ini ada media sosial yang "mencuri" massa dari media konvensional maupun media siber, menjadi "jahat" di dunia maya (Facebook, Twitter, YouTube, Tik Tok, dan 'transmedia'/perpaduan teks, suara, gambar, konten lain).
Nah, massa yang "dicuri" medsos dan akhirnya menjadi "jahat" di dunia maya itulah yang kini menjadi masalah sangat serius. Buktinya, Studi Microsoft yang terbaru tentang Digital Civility Index (DCI) yang mengukur tingkat kesopanan digital pengguna internet saat berkomunikasi di dunia maya menyebut Indonesia berposisi paling buruk dalam keadaban/kesopanan di dunia maya.
Laman news.microsoft.com (11/2/2021) menunjukkan hasil studi tahunan Civility, Safety, and Interactions Online - 2020 bahwa Digital Civility Index (DCI) 2020 (indeks keadaban online tahun 2020) di kawasan Asia-Pasifik (APAC) membaik dengan skor 66, sedangkan skor pada tahun 2019 sebesar 68.
Indeks DCI global juga meningkat menjadi 67 dari skor kurang baik pada tahun 2019. Artinya, kini lebih banyak orang melakukan interaksi online yang positif meski secara global tetap ada peningkatan hoaks, penipuan dan scam, ujaran kebencian, serta diskriminasi. Responden global melaporkan peningkatan pengalaman hoaks, penipuan dan scam (naik 3 persen), ujaran kebencian (naik 4 persen), dan diskriminasi (naik 5 persen).
Yang menarik lagi, indeks itu menunjukkan kesopanan dalam "berselancar" di dunia maya di kalangan remaja itu lebih sopan daripada orang dewasa sehingga peningkatan online civility (keadaban online) secara global itu disokong kaum milenial (usia 13—16) yang disebut sebagai pendorong positif untuk kinerja DCI. Skor DCI remaja di 63, sedang skor orang dewasa di 72.
Bagaimana Indonesia? Dari survei DCI yang melibatkan sekitar 16.000 responden di 32 wilayah dalam kurun April—Mei 2020, yang mencakup sembilan wilayah APAC (Australia, India, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Taiwan, Thailand, dan Vietnam) itu menempatkan Indonesia berada di peringkat 29 dari 32 wilayah, atau terburuk ketiga dari bawah (dalam kesopanan digital).
Secara global, negara dengan tingkat kesopanan digital tertinggi adalah Belanda dengan 51 poin. Untuk wilayah Asia Pasifik, Singapura, dan Taiwan berada di posisi lima besar dunia dengan skor DCI paling tinggi, yakni posisi keempat dan kelima. Di Asia Tenggara, Singapura yang terbaik (59 poin). Namun, responden di India melaporkan kejadian ujaran kebencian meningkat dua kali lipat sejak 2016 (menjadi 26 persen dari 13 persen), sedangkan jumlah responden di Thailand melaporkan mengalami mikroagresi sejumlah 18 persen atau di atas rata-rata global.
"Studi Microsoft itu penting. Masyarakat kita mengandalkan dan merangkul teknologi digital lebih dari sebelumnya di tengah COVID-19, dan internet yang lebih positif akan meningkatkan pengalaman dan membentuk kesejahteraan komunitas kita," kata Regional Digital Safety Lead, Asia-Pasifik, Microsoft, Liz Thomas (news.microsoft.com, 11/2/2021).
Fakta Indonesia yang "buruk" (jahat) di dunia maya itu mengagetkan seorang warganet dari negara lain. Ia mengaku telah mem-posting video tentang pengalamannya yang bagus di Yogyakarta ke media sosial karena ditolong warga lokal saat di bandara, ternyata video itu diunduh hingga 3 juta kali dan ada 6.000 komentar. Namun, komentar yang banyak menyebut Indonesia itu "baik dalam kehidupan nyata, tapi mengerikan di dunia maya (medsos)".
"Saya kaget, lalu saya cari tahu, ternyata Indonesia memang peringkat 29 dari 32 negara dalam hal kesopanan di dunia maya, atau peringkat ketiga dari bawah yang berarti sangat buruk, karena adanya bully online, pertengkaran, dan bahkan rasisme. Orang Indonesia yang sangat baik, rendah hati, dan sopan kepada saya itu, ternyata iblis jahat di dunia maya.Itu bukan dari remaja-nya, tapi orang dewasa-nya, karena mentalitas kolot," katanya dalam Tik Tok-nya.
Mentalitas Kolot
Ya, masyarakat Indonesia yang memiliki "wajah ganda" antara dunia nyata dan di dunia maya (paling tidak sopan) adalah pengguna dunia maya berusia dewasa dengan persentase 68 persen. Sementara usia remaja disebut tidak berkontribusi dalam mundurnya tingkat kesopanan digital di Indonesia pada tahun 2020.
Hasil riset Microsoft itu menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia itu menjadi "jahat" di dunia maya karena mentalitas kolot atau karakter tidak terbuka dari orang dewasa. Artinya, milenial Indonesia itu tidak mudah percaya pada fakta-fakta di dunia maya, sebaliknya orang dewasa di Indonesia justru sangat mudah percaya begitu saja.
Karakter terbuka yang tidak mudah percaya begitu saja terhadap fakta-fakta di dunia maya itu penting. Oleh karena itulah literasi digital menjadi lebih strategis pada era digitalisasi karena era digital itu datang ke republik ini pada saat masyarakat negeri ini justru tidak berkarakter digital. Dengan demikian, literasi digital akan menciptakan orang dewasa yang berkarakter terbuka dan dunia maya menjadi "sehat" dari gosip-gosip SARA/hatespeech, akun-akun radikal, atau sampah-sampah digital/hoaks.
Meski tidak terkait langsung dengan digitalisasi (digitalisasi teknis di segala bidang) yang menjadi isu G20, literasi digital justru menjadi sangat strategis agar digitalisasi tidak menyisakan "sampah digital" yang justru diproduksi oleh 68 persen pengguna dunia maya berusia dewasa dengan "jahat" dan "mengerikan" kayak iblis. Rugi 'kan?
Gosip-gosip SARA/hatespeech atau "sampah-sampah digital"/hoaks yang dipercaya begitu saja oleh orang dewasa bermentalitas kolot itu antara lain sejumlah foto atau video yang dianggap benar hanya karena berbentuk gambar, padahal gambar (foto/video) bisa merupakan manipulasi digital dengan narasi atau suara yang tidak ada kaitan sama sekali.
Contohnya saat terjadi Gempa Banten pada bulan Desember 2021, ada teman kirim video tentang tanah terbelah pascagempa, ternyata tanah terbelah dalam video itu benar-benar terjadi. Akan tetapi, bukan di Banten, melainkan di Pandeglang dan terjadi pada tahun 2019. Tentu masyarakat Banten atau keluarga di luar provinsi ini sempat resah akibat video itu.
Begitu pula, saat Gunung Agung mengalami erupsi/meletus di akhir tahun 2017. Beberapa hari sebelum erupsi itu terjadi, ada teman dari Jakarta yang mengirim foto kebakaran di lereng gunung itu pada malam hari. Akan tetapi, foto kebakaran itu diberi narasi: Gunung Agung meletus. Akhirnya, banyak masyarakat yang menyangka Gunung Agung benar-benar sudah erupsi, padahal hanya foto dan narasi/teks yang berbeda.
Ada lagi, Foto Imlek 2022 dengan narasi bernuansa SARA. yakni Jokowi dan Tionghoa hadiri Imlek tanpa masker pada masa COVID-19, lalu narasi lain berbunyi Imlek bebas dirayakan, tetapi Idulfitri dan mudik dilarang. Ternyata, foto itu merupakan foto Imlek pada tanggal 1 Februari 2020, padahal COVID-19 baru masuk Indonesia pada tanggal 20 Maret 2020, jadi masih bebas, dan narasi yang membenturkan Imlek dengan Idulfitri adalah hoaks SARA.
Selain foto dan video, ada juga narasi yang seakan-akan logis tetapi hoaks. Misalnya, narasi dari kelompok HTI yang membenturkan Islam dengan Pancasila melalui narasi "Lebih baik mana antara Islam dengan Pancasila". Tentu, jawaban yang sudah pasti adalah Islam lebih baik. Padahal, narasi "bermain" logika itu tidak benar/imbang karena Islam adalah agama, sedangkan Pancasila adalah ideologi sehingga tidak imbang untuk diperbandingkan, kecuali agama dengan agama atau ideologi dengan ideologi.
Umumnya, narasi hoaks di Indonesia bernuansa SARA karena SARA merupakan hoaks yang paling mudah untuk mengaduk emosi bangsa Indonesia. Soal suku (etnis), agama, ras (pribumi dan nonpribumi), dan antargolongan (strata/kaya dan miskin) adalah hoaks yang renyah dalam gaya kerumunan/medsos mirip gosip yang juga gaya kerumunan. Khas.
Saking renyahnya, diulang-ulang atau diputar terus di kerumunan/medsos agar menimbulkan kepanikan dan kegaduhan sehingga viral. Bagi masyarakat bermental kolot, mereka terpaku pada gosip SARA itu, sedangkan kalangan remaja justru melihatnya unggahan medsos yang renyah dan akhirnya viral itu justru mirip "manajemen viral" yang menguntungkan "sang manajer" itu secara bisnis, meski dengan cara "jahat".
Untuk "membersihkan" dunia maya dari unggahan yang "jahat" secara sosial dan (pemanfaatan) secara ekonomis itulah Microsoft menyebut empat prinsip Digital Civility Challenge yang penting bagi pengguna online agar memiliki "karakter terbuka" di dunia maya, yaitu: empati/kasih sayang dan memperlakukan semua orang di dunia maya dengan bermartabat dan hormat (golden rule), menghormati perbedaan, berpikir sebelum membalas posting, dan membela orang lain dengan dukungan respons atau melaporkan aktivitas yang mengancam keselamatan orang lain.
Tentu "karakter terbuka" di dunia maya itu bukan karakter yang mudah dimiliki. Oleh karena itulah, literasi digital menjadi penting, mengingat mentalitas kolot telah terbukti menimbulkan penyesalan. Karena hoaks/tipu/jebakan, terbukti membuat Nabi Adam turun ke Bumi dan kesombongan (merasa paling baik dan paling benar) terbukti membuat iblis menjadi terkutuk selamanya.
Ya, G20 memang tidak ada hubungan langsung dengan HPN. Namun, isu digitalisasi yang menjadi salah satu agenda G20 itu juga memiliki kaitan dengan kalangan media untuk menciptakan dunia maya yang beradab (sopan), tidak "jahat" dan indah.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2022