Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan menyebut makanan dan minuman berpemanis atau MMDK berpotensi dikenai cukai, karena melihat fakta terkait prevalensi diabetes melitus di Indonesia.

Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai DJBC Kemenkeu Nirwala Dwi Heryanto mengatakan prevalensi diabetes melitus di Indonesia meningkat 30 persen dalam kurun waktu 2013-2018 dan pertumbuhan obesitas di peringkat ketiga tertinggi negara ASEAN pada rentan waktu 2010-2014, yakni 33 persen.

"Melihat data tersebut, MMDK berpotensi dikenakan cukai," kata Nirwala, dalam diskusi media “Ekstensifikasi Cukai untuk Pemulihan Ekonomi Nasional yang diselenggarakan Forum Diskusi Ekonomi dan Politik” secara virtual, Jumat.

Nirwala mengatakan DPR sebelumnya telah menyetujui cukai kantong plastik, berikut dengan cukai kemasan dan wadah plastik, cukai diapers, serta cukai alat makan dan minuman sekali pakai.

"Sedangkan penambahan cukai untuk makanan dan minuman berpemanis (MMDK) belum disetujui,” ujarnya.

Ia mengatakan kenaikan cukai yang kian tinggi saat ini juga sejalan dengan wacana pemerintah menetapkan perluasan objek cukai tahun 2022 dengan menambahkan plastik sebagai barang kena cukai.

Sejak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang cukai diberlakukan hingga tahun 2021 ini, objek barang kena cukai baru terbatas pada tiga jenis barang yaitu etil alkohol, minuman mengandung etil alkohol, dan produk hasil tembakau.

Selama kurun waktu tersebut, pendapatan cukai hasil tembakau mendominasi pendapatan cukai hingga lebih dari 90 persen setiap tahunnya.

Anggota Komisi XI DPR-RI Eriko Sotarduga mengatakan pemerintah perlu mengkaji lebih jauh terhadap barang-barang yang berpotensi dikenakan cukai.

Perluasan objek cukai perlu segera dibahas pemerintah dan DPR, serta hal ini terkait dengan barang-barang yang diharapkan dapat dikurangi konsumsinya, seperti makanan minuman yang tinggi kandungan gula, garam dan lemak (GGL), salah satu contohnya minuman berkarbonasi.

"Konsumsi GGL yang terus bertambah mengakibatkan meningkatnya risiko kesehatan, (pengenaan) cukai akan membantu membuat masyarakat lebih menyadari menjaga kesehatan diri, tanpa harus memberatkan,” kata Eriko.

Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Esa Suryaningrum mengatakan kebijakan ekstensifikasi cukai dilakukan pemerintah sudah tepat. Sebab, selama puluhan tahun hanya ada tiga obyek cukai di Indonesia dan pemerintah menjadikan industri hasil tembakau (IHT) sebagai kontributor utama cukai.

"IHT layaknya angsa bertelur emas, yang terus diandalkan untuk mampu memenuhi target penerimaan cukai, meski dengan tarif cukai yang kian meningkat yang dibebankan,” katanya.

Esa menjelaskan jika tarif cukai IHT terus dinaikan, hal ini tidak akan optimal dan malah akan memberikan dampak lain seperti perdagangan rokok ilegal.

“Saat ini pun meski memenuhi target cukai, namun angka produksi hasil tembakau kian menurun,” tambahnya.

Untuk itu, Esa turut mendorong adanya peta jalan perluasan cukai.

Sementara itu, Indonesia merupakan salah satu negara dengan obyek cukai paling minim. Negara tetangga seperti Thailand, saat ini telah mengenakan cukai pada 16 objek, Kamboja sebanyak 11 objek, Laos sebanyak 10 objek, Myanmar 9 objek, Vietnam 8 objek, India 28 objek, dan Jepang 24 objek.

Beberapa objek barang kena cukai di negara tersebut antara lain kendaraan bermotor, bahan bakar minyak, minuman berkarbonasi, baterai, karaoke, batu bara, serta AC.

Pewarta: A Malik Ibrahim

Editor : Didik Kusbiantoro


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2021