Regulasi teranyar dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yaitu Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 59 Tahun 2020 membolehkan kembali pengoperasian kapal cantrang asalkan memenuhi sejumlah persyaratan yang ditetapkan KKP.

"Pengaturan alat penangkapan ikan yang sebelumnya dilarang, sekarang kami berikan relaksasi dengan pembatasan," kata Plt Dirjen Perikanan Tangkap KKP Muhammad Zaini dalam diskusi sosialisasi daring di Jakarta, Jumat.

Menurut dia, penggunaan kembali alat cantrang dengan sejumlah persyaratan agar ketentuan tentang panjang jaring, kantong, dan tali selambar sesuai dengan SNI.



Ia memaparkan sejumlah ketentuan persyaratan lainnya dalam operasionalisasi kembali cantrang adalah penggunaan square mesh window agar ikan berukuran kecil yang terjaring dapat lolos.

Persyaratannya antara lain memiliki desain Alat Penangkapan Ikan (API) berbentuk kerucut, menggunakan tali selambar yang panjang sebagai penarik jaring (biasanya terbuat dari lilitan kain pada tali), selambar dilingkarkan pada perairan dan untuk memperoleh daerah sapuan yang luas digunakan tali selambar yang panjang, serta penarikan jaring menggunakan gardan atau mesin penggulung tali selambar.

Kemudian, penarikan dan pengangkatan cantrang dilakukan dari kapal dengan posisi kapal berhenti. Kapal berbobot 10-30 GT hanya boleh beroperasi di jarak 4-12 mil laut, sedangkan kapal di atas 30 GT hanya boleh beroperasi dalam jarak lebih dari 12 mil laut guna menghindari konflik horizontal antarnelayan.

Kapal cantrang tersebut juga harus menerapkan mekanisme pengawasan melalui VMS dan logbook, serta bersedia ditempatkan observer on board dengan metode sampling.



KKP juga bakal memberlakukan tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang lebih besar untuk kapal yang menggunakan alat tangkap kurang ramah lingkungan.

Berdasarkan data KKP, saat ini terdapat sekitar 6.800 kapal yang menggunakan cantrang, sehingga diperkirakan ada ratusan ribu nelayan yang bergantung dengan menggunakan alat tangkap tersebut.

"Ada sebanyak 115.000 orang yang tercatat bergantung kepada hasil tangkapan (dengan menggunakan kapal cantrang)," katanya dan menambahkan, nelayan kecil kerap menanggung biaya operasional untuk melaut bila mereka menyewa kapal cantrang kepada pemilik kapal.

Sebelumnya, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan menyoroti inkonsistensi dan ketidakpastian dari aturan alat tangkap perikanan terkait regulasi yang membolehkan penggunaan alat tangkap trawl.

Moh Abdi Suhufan menyatakan sebelum ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo sempat mengeluarkan aturan penting yaitu Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 59/2020 tentang Jalur Penangkapan Ikan Dan Alat Penangkapan Ikan Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia Dan Laut Lepas.

Aturan ini membolehkan penggunaan alat tangkap yang sebelumnya dilarang oleh PERMEN KP No. 71/2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan Dan Alat Penangkapan Ikan Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia Dan Laut Lepas. PERMEN KP No. 59/2020 sekaligus menganulir PERMEN KP No. 2/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkap Ikan Pukat Hela (trawl) dan Pukat Tarik (seine nets).

"Menteri Edhy lupa, 40 tahun lalu Presiden telah mengeluarkan Keputusan Presiden No.39/1980 tentang Penghapusan Jaring Trawl. Dalam PERMEN KP No. 59/2020, alat tangkap yang kembali diizinkan beroperasi adalah cantrang, dogol, pukat ikan dan pukat hela dasar udang," paparnya.

Peneliti DFW Indonesia, Muh Arifuddin menyatakan transisi dan perubahan ini berpotensi menimbulkan ruang transaksi di tengah laut sehingga berdampak kepada ekonomi biaya tinggi masih terjadi dan nelayan serta pelaku usaha yang akan menanggung akibatnya. (*)

Pewarta: M Razi Rahman

Editor : Abdullah Rifai


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2021