Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito meminta pihak Universitas Airlangga dapat menjelaskan kaji etik dan uji klinis terkait pernyataan penemuan obat COVID-19.
"Tentunya Universitas Airlangga dibantu dengan BIN (Badan Intelijen Negara) dan TNI AD pasti tidak keberatan untuk menjelaskan bagaimana kaji etik berlangsung dan uji klinis yang sedang dijalankan," kata Wiku dalam konferensi pers di Kantor Presiden Jakarta, Selasa.
Baca juga: Unair segera serahkan hasil uji klinis fase ketiga kombinasi obat penawar COVID-19
Baca juga: Kombinasi obat penawar COVID-19 temuan Unair tunggu izin produksi dari BPOM
Sebelumnya tim gabungan antara Universitas Airlangga, Badan Intelijen Negara (BIN), dan TNI AD mengklaim sudah menemukan obat COVID-19 pertama di dunia.
Rektor Universitas Airlangga Mohammad Nasih menjelaskan bahwa obat tersebut merupakan kombinasi dari berbagai macam obat, yakni Lopinavir/Ritonavir-Azithromycin; Lopinavir/Ritonavir-Doxycycline; serta Hydrochloroquine-Azithromycin.
Kombinasi-kombinasi dari obat yang sudah beredar di pasaran itu diklaim telah teruji memberi hasil efikasi menyembuhkan pasien COVID-19 non pengguna ventilator hingga 98 persen.
"Tentu uji klinis harus dijalankan dengan protokol yang benar sesuai standar internasional agar obatnya aman dan efektif untuk menyembuhkan," kata Wiku.
Baca juga: Hasil uji klinis lima kombinasi obat penawar COVID-19 segera dievaluasi
Wiku mengatakan upaya untuk menemukan obat yang tepat telah dilakukan berbagai pihak di dunia termasuk di Indonesia, dan tidak hanya obat tunggal tapi juga berbentuk regimen (kombinasi).
"Unair dalam menjalankan testing atau uji klinis dari obat yang dikembangkan berupa redimen tersebut sudah melalui kaji etik di universitasnya dan transparansi publik sangat diperlukan," ungkap Wiku.
Baca juga: Kemenkes bantah klaim obat tradisional dapat sembuhkan COVID-19
Sampai saat ini menurut Wiku belum ada izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan untuk obat yang dikembangkan Unair tersebut.
"Karena masih dalam proses uji klinis dan setelah disampaikan Unair kepada pemerintah dalam hal ini BPOM bisa jadi bahan review dan bisa untuk uji edar dan prinsipnya adalah aman dan efektif. WHO sampai sekarang belum menentukan obat standar paling efektif untuk menyembuhkan COVID-19," ujar Wiku.
Baca juga: Dukung penelitian obat COVID-19, Menko PMK tawarkan bantuan kepada Unair
Dalam melaksanakan uji klinis obat kombinasi tersebut, tim Unair mengatakan tidak hanya melakukan pada satu pihak dan satu tempat saja melainkan melakukan uji klinis pada 13 titik di Indonesia dan masing-masing titik dikoordinasikan oleh salah seorang dokter profesional.
Rektor Unair Moh Nasih pun berharap kepada pihak BPOM untuk memperlancar izin produksinya sehingga obat tersebut dapat diproduksi secara massal untuk kepentingan masyarakat Indonesia.
Namun, ahli epidemiologi dari Universitas Indonesia Pandu Riono diberitakan mengancam menggugat apabila BPOM memberi izin untuk produksi massal tersebut. Pandu mempermasalahkan prosedur penelitian obat tersebut yang disebutnya mengambil jalan pintas.
Gugatan akan diajukannya kepada akademisi Universitas Airlangga sebagai lembaga yang disebutnya bertanggung jawab terhadap integritas ilmu pengetahuan.
Kritik senada juga bisa ditemukan di media sosial, termasuk tentang cara tim peneliti Unair menyajikan hasil uji yang atas obat-obatan tersebut yang diklaim dari uji klinis tahap tiga.*
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2020
"Tentunya Universitas Airlangga dibantu dengan BIN (Badan Intelijen Negara) dan TNI AD pasti tidak keberatan untuk menjelaskan bagaimana kaji etik berlangsung dan uji klinis yang sedang dijalankan," kata Wiku dalam konferensi pers di Kantor Presiden Jakarta, Selasa.
Baca juga: Unair segera serahkan hasil uji klinis fase ketiga kombinasi obat penawar COVID-19
Baca juga: Kombinasi obat penawar COVID-19 temuan Unair tunggu izin produksi dari BPOM
Sebelumnya tim gabungan antara Universitas Airlangga, Badan Intelijen Negara (BIN), dan TNI AD mengklaim sudah menemukan obat COVID-19 pertama di dunia.
Rektor Universitas Airlangga Mohammad Nasih menjelaskan bahwa obat tersebut merupakan kombinasi dari berbagai macam obat, yakni Lopinavir/Ritonavir-Azithromycin; Lopinavir/Ritonavir-Doxycycline; serta Hydrochloroquine-Azithromycin.
Kombinasi-kombinasi dari obat yang sudah beredar di pasaran itu diklaim telah teruji memberi hasil efikasi menyembuhkan pasien COVID-19 non pengguna ventilator hingga 98 persen.
"Tentu uji klinis harus dijalankan dengan protokol yang benar sesuai standar internasional agar obatnya aman dan efektif untuk menyembuhkan," kata Wiku.
Baca juga: Hasil uji klinis lima kombinasi obat penawar COVID-19 segera dievaluasi
Wiku mengatakan upaya untuk menemukan obat yang tepat telah dilakukan berbagai pihak di dunia termasuk di Indonesia, dan tidak hanya obat tunggal tapi juga berbentuk regimen (kombinasi).
"Unair dalam menjalankan testing atau uji klinis dari obat yang dikembangkan berupa redimen tersebut sudah melalui kaji etik di universitasnya dan transparansi publik sangat diperlukan," ungkap Wiku.
Baca juga: Kemenkes bantah klaim obat tradisional dapat sembuhkan COVID-19
Sampai saat ini menurut Wiku belum ada izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan untuk obat yang dikembangkan Unair tersebut.
"Karena masih dalam proses uji klinis dan setelah disampaikan Unair kepada pemerintah dalam hal ini BPOM bisa jadi bahan review dan bisa untuk uji edar dan prinsipnya adalah aman dan efektif. WHO sampai sekarang belum menentukan obat standar paling efektif untuk menyembuhkan COVID-19," ujar Wiku.
Baca juga: Dukung penelitian obat COVID-19, Menko PMK tawarkan bantuan kepada Unair
Dalam melaksanakan uji klinis obat kombinasi tersebut, tim Unair mengatakan tidak hanya melakukan pada satu pihak dan satu tempat saja melainkan melakukan uji klinis pada 13 titik di Indonesia dan masing-masing titik dikoordinasikan oleh salah seorang dokter profesional.
Rektor Unair Moh Nasih pun berharap kepada pihak BPOM untuk memperlancar izin produksinya sehingga obat tersebut dapat diproduksi secara massal untuk kepentingan masyarakat Indonesia.
Namun, ahli epidemiologi dari Universitas Indonesia Pandu Riono diberitakan mengancam menggugat apabila BPOM memberi izin untuk produksi massal tersebut. Pandu mempermasalahkan prosedur penelitian obat tersebut yang disebutnya mengambil jalan pintas.
Gugatan akan diajukannya kepada akademisi Universitas Airlangga sebagai lembaga yang disebutnya bertanggung jawab terhadap integritas ilmu pengetahuan.
Kritik senada juga bisa ditemukan di media sosial, termasuk tentang cara tim peneliti Unair menyajikan hasil uji yang atas obat-obatan tersebut yang diklaim dari uji klinis tahap tiga.*
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2020