Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Kependudukan (DP3AK) Provinsi Jawa Timur, Dr Andriyanto, SH, M Kes mengatakan pemenuhan hak-hak anak di masa pandemi COVID-19 saat ini membutuhkan peran media, sebab cukup strategis dalam membangun mental anak.

"Kami berharap, media dapat mengambil peran sentral dalam kampanye menyiapkan mental anak dan melakukan edukasi pada anak di masa pandemi," katanya saat menjadi nara sumber webinar Menangkap Momentum HAN 2020 Sebagai Starting Point Memviralkan Gerakan Perlindungan Anak oleh Para Pihak, di Surabaya, Selasa (21/7) 

Ia mengatakan, saat ini peran media yang membela pemenuhan hak anak-anak di masa pandemi masih sangat minim.

Berdasarkan data hingga tanggal 15 Juli 2020, jumlah anak-anak di Jawa Timur yang terkonfirmasi positif COVID-19 mencapai angka 1.137 anak, dimana 3 di antaranya meninggal dunia, dan tingkat kesembuhan mencapai 40,4 persen.

Jumlah 1.137 anak tersebut, menurut Andriyanto, sama dengan 6,6 persen dari total jumlah kasus terkonfirmasi positif di Jawa Timur. Jumlah itu dibagi menjadi 1,7 persen untuk anak usia 0-5 tahun, serta 4,9 persen untuk anak usia 6-17 tahun.

"Anak-anak sangat rentan terpapar COVID-19, dan di masa pandemi ini angka kekerasan anak dan perempuan perlu mendapat perhatian," katanya.

Ia menyebut, selama pandemi dari data yang dimiliki DP3AK Provinsi Jawa Timur menyebutkan, hingga 16 Juli 2020 tercatat ada 699 laporan kekerasan terjadi pada perempuan dan anak di Jawa Timur.

"Dimana 40,6 persen di antaranya berupa kekerasan seksual, diikuti kekerasan fisik dan psikis. Dengan lokasi terbanyak dilaporkan terjadi di rumah tangga, disusul fasilitas umum, tempat kerja dan sekolah. Ini sungguh mengenaskan," katanya.

Oleh karena itu, kata Andriyanto, hal ini perlu disuarakan oleh semua pihak khususnya media, agar masyarakat dapat diedukasi secara benar.

Direktur Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kabupaten Tulungagung Winny Isnaeni, mengakui, salah satu isu perlindungan anak yang marak terjadi dan seringkali masih diabaikan dampaknya adalah isu kekerasan (termasuk di dalamnya kekerasan berbasis gender), eksploitasi, kesehatan mental anak, dan penelantaran anak.

"Kasus kekerasan berbasis gender masih sering dianggap tabu masyarakat karena pengaruh budaya dan lingkungan masyarakat. Ini yang kemudian menyebabkan kasus yang banyak terjadi tidak terungkap dan tidak ada penanganan maupun respon terhadap korban. Jika tidak dicegah dan ditangani dengan baik, kasus kekerasan dapat berdampak bagi korban," kata Winny yang juga duduk sebagai Fasilitator Nasional Sistem Perlindungan Anak.

Ia mengatakan, keluarga dan masyarakat merupakan sumber daya yang besar dan dekat dengan anak. Oleh karena itu, media yang dipercaya informasinya oleh publik memiliki posisi strategi untuk menguatkan keluarga dan masyarakat agar lebih melindungi anak yang menjadi tanggung jawabnya

"Keberhasilan suatu program pemerintah tidak bisa lepas dari peran media mainstream untuk menyebarluaskan perencanaan, pelaksanaan, dan capaian yang sudah dihasilkan. Dengan penyebarluasan isu yang dilakukan oleh media dapat membentuk persepsi publik dan aksi publik ke depannya," katanya.

Sementara itu Child Protection Specialist UNICEF Kantor Perwakilan wilayah Jawa, Ir Naning Pudjijulianingsih, mengatakan di masa pandemi ini semua pencegahan kekerasan anak bisa dilakukan dari tiap rumah, baik itu kolaborasi yang baik antara keluarga, sekolah, masyarakat serta media.

"Meskipun dalam kondisi sulit menghadapi pandemi, semua anak harus bisa dipastikan pendidikannya serta kontrol keluarga yang baik. Termasuk dalam kesehatan mental anak yang harus dijaga. Nah, media sangat berperan dalam hal ini," demikian Naning Pudjijulianingsih. (*)


 

Pewarta: A Malik Ibrahim

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2020