Langgar atau mushalla Hasan Gipo di Jalan Kalimas Udik I Kota Surabaya, Jatim, atau sekitar kawasan religi Makan Sunan Ampel diusulkan masuk cagar budaya karena menjadi tonggak sejarah pengembangan keagamaan dan ruang diskusi melawan penjajah.
"Langgar ini memiliki nilai sejarah yang tinggi. Maka sudah sepatutnya Pemkot Surabaya menjadikannya sebagai cagar budaya," kata Wakil Ketua DPRD Surabaya Laila Mufidah saat meninjau mushalla Hasan Gipo, Surabaya, Jumat.
Menurut dia, di langgar itu bukan hanya terukir sejarah Nahdlatul Ulama (NU) karena ada jejak KH Hasan Gipo yang merupakan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pertama, tapi juga bagi bangsa Indonesia, karena tokoh-tokoh pahlawan kemerdekaan seperti HOS Tjokro Aminoto dan Soekarno pernah memanfaatkan langgar itu untuk merancang perjuangan kemerdekaan.
Langgar Gipo berdiri di lahan sekitar 100 meter persegi di Jalan Kalimas Udik I. Dahulu, jalan ini bernama Jalan Gipo, namun oleh Pemkot Surabaya saat itu diganti namanya jadi Jalan Kalimas Udik.
Di sekitar langgar tersebut juga ada tiga bungker yang dijadikan tempat persembunyian para pejuang saat melawan penjajah. Selain itu juga ada tempat pemandian, sumur dan di lantai dua ada tempat untuk pertemuan. Namun, kondisi Langgar Gipo saat ini kurang terawat.
Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini mengatakan jejak sejarah bangunan Langgar Hasan Gipo begitu tinggi nilainya mulai sebagai tempat ibadah, ruang diskusi (pengembangan ilmu, sosial, budaya, ekonomi) serta politik (strategi melawan penjajah).
"Bahkan pernah menjadi tempat asrama haji pertama, sebelum diberangkatkan dengan kapal laut melalui Pelabuhan Tanjung Perak," katanya.
Untuk itu, lanjut dia, pihaknya berharap Pemkot Surabaya menfungsikan kembali Langgar Hasan Gipo sebagai tempat ibadah, sekaligus cagar budaya. Dengan begitu dapat menjadi referensi sejarah yang bisa diketahui oleh seluruh masyarakat, sekaligus akan membuka akses perekonomian sekitarnya.
"Saya kira perlu dilakukan revitalisasi Langgar Hasan Gipo agar bisa dipergunakan kembali sebagai tempat ibadah," kata Laila.
Kabid Kebudayaan Dinas Pariwisata (Disparta) Surabaya Dayu Kade Asritami membenarkan ada permintaan dari pemilik Langgar Hasan Gipo kepada Disparta Surabaya untuk dijadikan cagar budaya Surabaya.
"Namun untuk mengesahkan tempat dijadikan cagar budaya harus melalui beberapa bertahap," katanya.
Menurut Dayu, setelah Disbudpar Surabaya menerima data kelengkapan kepemilikan langgar itu, tim ahli cagar budaya melakukan survei di lokasi dan melakukan pengukuran ulang luas lahan pada Agustus lalu.
"Jadi rekomendasi suatu syarat bangunan memenuhi cagar budaya atau tidak ada tim ahlinya," kata Dayu. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2020
"Langgar ini memiliki nilai sejarah yang tinggi. Maka sudah sepatutnya Pemkot Surabaya menjadikannya sebagai cagar budaya," kata Wakil Ketua DPRD Surabaya Laila Mufidah saat meninjau mushalla Hasan Gipo, Surabaya, Jumat.
Menurut dia, di langgar itu bukan hanya terukir sejarah Nahdlatul Ulama (NU) karena ada jejak KH Hasan Gipo yang merupakan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pertama, tapi juga bagi bangsa Indonesia, karena tokoh-tokoh pahlawan kemerdekaan seperti HOS Tjokro Aminoto dan Soekarno pernah memanfaatkan langgar itu untuk merancang perjuangan kemerdekaan.
Langgar Gipo berdiri di lahan sekitar 100 meter persegi di Jalan Kalimas Udik I. Dahulu, jalan ini bernama Jalan Gipo, namun oleh Pemkot Surabaya saat itu diganti namanya jadi Jalan Kalimas Udik.
Di sekitar langgar tersebut juga ada tiga bungker yang dijadikan tempat persembunyian para pejuang saat melawan penjajah. Selain itu juga ada tempat pemandian, sumur dan di lantai dua ada tempat untuk pertemuan. Namun, kondisi Langgar Gipo saat ini kurang terawat.
Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini mengatakan jejak sejarah bangunan Langgar Hasan Gipo begitu tinggi nilainya mulai sebagai tempat ibadah, ruang diskusi (pengembangan ilmu, sosial, budaya, ekonomi) serta politik (strategi melawan penjajah).
"Bahkan pernah menjadi tempat asrama haji pertama, sebelum diberangkatkan dengan kapal laut melalui Pelabuhan Tanjung Perak," katanya.
Untuk itu, lanjut dia, pihaknya berharap Pemkot Surabaya menfungsikan kembali Langgar Hasan Gipo sebagai tempat ibadah, sekaligus cagar budaya. Dengan begitu dapat menjadi referensi sejarah yang bisa diketahui oleh seluruh masyarakat, sekaligus akan membuka akses perekonomian sekitarnya.
"Saya kira perlu dilakukan revitalisasi Langgar Hasan Gipo agar bisa dipergunakan kembali sebagai tempat ibadah," kata Laila.
Kabid Kebudayaan Dinas Pariwisata (Disparta) Surabaya Dayu Kade Asritami membenarkan ada permintaan dari pemilik Langgar Hasan Gipo kepada Disparta Surabaya untuk dijadikan cagar budaya Surabaya.
"Namun untuk mengesahkan tempat dijadikan cagar budaya harus melalui beberapa bertahap," katanya.
Menurut Dayu, setelah Disbudpar Surabaya menerima data kelengkapan kepemilikan langgar itu, tim ahli cagar budaya melakukan survei di lokasi dan melakukan pengukuran ulang luas lahan pada Agustus lalu.
"Jadi rekomendasi suatu syarat bangunan memenuhi cagar budaya atau tidak ada tim ahlinya," kata Dayu. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2020