Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Henry Najoan meminta Pemprov Jatim tidak mewajibkan rapid test bagi industri padat karya yang memiliki banyak pekerja, karena akan sangat membebani perusahaan.
"Kewajiban rapid test COVID -19 hanya semakin membebani perusahaan," kata Henry kepada wartawan di Surabaya, Jumat.
Industri padat karya, salah satunya hasil tembakau yang saat ini sedang dihadapkan dengan kondisi sangat berat, karena pandemi COVID-19 berdampak negatif terhadap bisnis, mulai dari sisi pasokan bahan baku, produksi, distribusi, hingga penurunan penjualan.
"Tidak lama lagi Lebaran tiba, industri hasil tembakau masih mempunyai kewajiban lain yang harus dipenuhi dalam waktu dekat, yaitu Tunjangan Hari Raya (THR) Idul Fitri untuk pekerja. Karena itu, kewajiban rapid test COVID-19 dapat mengganggu kemampuan perusahaan untuk menunaikan kewajiban membayar THR," ucap Henry.
Sebelumnya, kata dia, industri hasil tembakau juga sudah dibebani kenaikan cukai melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 152/ PMK.010/ 2019 tentang Perubahan Kedua Atas PMK Nomor 146/ PMK.010/ 2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.
Berdasarkan kajian GAPPRI atas PMK 152/2020, kenaikan cukai 23 persen dan Harga Jual Eceran (HJE) 35 persen berpotensi mengalami penurunan penjualan sampai akhir tahun sebesar 15 persen.
"Estmasi kami mulai Maret 2020 sampai akhir tahun terjadi penurunan penjualan antara 30-40 persen," kata dia.
Henry mengatakan, pemerintah hanya perlu menentukan siapa saja yang diprioritaskan untuk dilakukan rapid test, salah satunya orang yang telah kontak dekat pasien positif baik yang dirawat di RS maupun yang mengisolasi diri di rumah, serta tenaga kesehatan, mengingat mereka adalah orang yang sering kontak dekat dengan pasien.
"Merujuk imbauan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), bahwa dengan keterbatasan alat rapid test yang ada, hendaknya penggunaan diprioritaskan pada ODP/PDP maupun pasien dengan indikasi COVID-19. Apabila perusahaan diwajibkan melakukan pada karyawannya, maka akan meningkatkan permintaan alat rapid test secara drastis," katanya.
Henry menegaskan, sejauh ini anggota GAPPRI sudah menjalankan protokol kesehatan dengan ketat, di antaranya dengan pemberian jarak antar pekerja, penyediaan fasilitas dan sarana sanitasi dan kebersihan diri, meliburkan pekerja dengan risiko tinggi dengan honor yang tetap dibayarkan, hingga kesediaan untuk menutup pabrik untuk waktu tertentu apabila ditemukan pekerja yang tertular.
"Hal ini agar dapat menjaga keberlangsungan hidup perusahaan dan para pekerja, menggerakkan roda perekonomian daerah dan nasional, serta mendukung program pemerintah untuk menangani wabah COVID-19," katanya.
Oleh karena itu, GAPPRI berharap seyognya pemerintah kota/kabupaten tidak mewajibkan pengusaha melakukan rapid test terhadap karyawannya dengan tujuan untuk menghindari keresahan karyawan dan pengusaha,
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2020