Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak menemukan barang bukti ketika menggeledah kediaman dua anggota DPRD Tulungagung, Jawa Timur, Selasa.
"Iya benar, penyidik KPK juga melakukan kegiatan tersebut sesuai rencana yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Namun, penyidik tidak menemukan barang bukti yang berkaitan dengan perkara," kata Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri, di Gedung KPK, Jakarta, Selasa.
Baca juga: Tim KPK kembali geledah rumah dua anggota DPRD Tulungagung
Penggeledahan itu dilakukan dalam proses penyidikan kasus suap pengadaan barang dan jasa di Pemerintah Kabupaten Tulungagung Tahun Anggaran 2018, dengan tersangka mantan Ketua DPRD Tulungagung Supriyono (SPR).
"Adalah hal biasa ketika proses penggeledahan tidak ditemukan barang bukti yang diperlukan terkait perkara, sehingga kemudian penggeledahan dapat dilakukan pada tempat-tempat lain," kata Ali.
Baca juga: Penyidik KPK sita tiga dus dokumen dari penggeledahan kantor DPRD Tulungagung
Sebelumnya, KPK juga telah mengamankan beberapa dokumen dalam penggeledahan yang dilakukan di kantor DPRD Tulungagung, Senin (17/2).
Diketahui, ada dua rumah anggota dewan periode 2014-2019 dan 2019-2024 yang disasar KPK pada Selasa, yakni rumah Imam Khambali dari Partai Hanura yang berlokasi di Perumahan Sobontoro Indah, masuk Desa Sobontoro, Kecamatan Boyolangu, dan rumah Suharminto alias Bedut dari Fraksi PDIP, di Desa Mojoagung, Kecamatan Ngantru, Kabupaten Tulungagung.
Nama yang disebut terakhir merupakan adik kandung dari tersangka mantan Ketua DPRD Tulungagung periode 2009-2014 dan periode 2014-2014, Supriyono.
Baca juga: Mantan Ketua DPRD Tulungagung Supriyono ditahan KPK
KPK pada 13 Mei 2019 telah mengumumkan Supriyono sebagai tersangka terkait pembahasan, pengesahan, dan pelaksanaan APBD atau APBD-P Kabupaten Tulungagung Tahun Anggaran 2015-2018.
Dalam konstruksi perkara kasus tersebut, Supriyono diduga menerima Rp4,88 miliar terkait proses pembahasan, pengesahan, dan pelaksanaan APBD dan/atau APBD Perubahan Kabupaten Tulungagung Tahun Anggaran 2015-2018.
Uang tersebut diduga berasal dari Bupati Tulungagung 2013-2018 Syahri Mulyo dan kawan-kawan sebagai syarat pengesahan APBD dan/atau APBD Perubahan. Dalam perkara sebelumnya, Syahri Mulyo terbukti menerima suap dari sejumlah pengusaha di Tulungagung.
Dalam persidangan Syahri Mulyo, terungkap adanya uang yang diberikan kepada Ketua DPRD untuk biaya unduh anggaran bantuan provinsi dan praktik uang mahar untuk mendapatkan anggaran baik Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) maupun bantuan provinsi yang dikumpulkan dari uang "fee" para kontraktor untuk diberikan kepada Ketua DPRD Kabupaten Tulungagung.
Dalam persidangan Syahri Mulyo terungkap bahwa Supriyono menerima Rp3,75 miliar, dengan rincian penerimaan "fee" proyek APBD murni dan APBD perubahan selama empat tahun berturut pada 2014-2017 sebesar Rp500 juta setiap tahunnya atau total sekitar Rp2 miliar.
Selanjutnya, penerimaan yang diduga untuk memperlancar proses pembahasan APBD, mempermudah pencairan DAK, dan bantuan keuangan provinsi sebesar Rp750 juta sejak 2014-2018.
Kemudian, "fee" proyek di Kabupaten Tulungagung selama tahun 2017 sebesar Rp1 miliar.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2020
"Iya benar, penyidik KPK juga melakukan kegiatan tersebut sesuai rencana yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Namun, penyidik tidak menemukan barang bukti yang berkaitan dengan perkara," kata Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri, di Gedung KPK, Jakarta, Selasa.
Baca juga: Tim KPK kembali geledah rumah dua anggota DPRD Tulungagung
Penggeledahan itu dilakukan dalam proses penyidikan kasus suap pengadaan barang dan jasa di Pemerintah Kabupaten Tulungagung Tahun Anggaran 2018, dengan tersangka mantan Ketua DPRD Tulungagung Supriyono (SPR).
"Adalah hal biasa ketika proses penggeledahan tidak ditemukan barang bukti yang diperlukan terkait perkara, sehingga kemudian penggeledahan dapat dilakukan pada tempat-tempat lain," kata Ali.
Baca juga: Penyidik KPK sita tiga dus dokumen dari penggeledahan kantor DPRD Tulungagung
Sebelumnya, KPK juga telah mengamankan beberapa dokumen dalam penggeledahan yang dilakukan di kantor DPRD Tulungagung, Senin (17/2).
Diketahui, ada dua rumah anggota dewan periode 2014-2019 dan 2019-2024 yang disasar KPK pada Selasa, yakni rumah Imam Khambali dari Partai Hanura yang berlokasi di Perumahan Sobontoro Indah, masuk Desa Sobontoro, Kecamatan Boyolangu, dan rumah Suharminto alias Bedut dari Fraksi PDIP, di Desa Mojoagung, Kecamatan Ngantru, Kabupaten Tulungagung.
Nama yang disebut terakhir merupakan adik kandung dari tersangka mantan Ketua DPRD Tulungagung periode 2009-2014 dan periode 2014-2014, Supriyono.
Baca juga: Mantan Ketua DPRD Tulungagung Supriyono ditahan KPK
KPK pada 13 Mei 2019 telah mengumumkan Supriyono sebagai tersangka terkait pembahasan, pengesahan, dan pelaksanaan APBD atau APBD-P Kabupaten Tulungagung Tahun Anggaran 2015-2018.
Dalam konstruksi perkara kasus tersebut, Supriyono diduga menerima Rp4,88 miliar terkait proses pembahasan, pengesahan, dan pelaksanaan APBD dan/atau APBD Perubahan Kabupaten Tulungagung Tahun Anggaran 2015-2018.
Uang tersebut diduga berasal dari Bupati Tulungagung 2013-2018 Syahri Mulyo dan kawan-kawan sebagai syarat pengesahan APBD dan/atau APBD Perubahan. Dalam perkara sebelumnya, Syahri Mulyo terbukti menerima suap dari sejumlah pengusaha di Tulungagung.
Dalam persidangan Syahri Mulyo, terungkap adanya uang yang diberikan kepada Ketua DPRD untuk biaya unduh anggaran bantuan provinsi dan praktik uang mahar untuk mendapatkan anggaran baik Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) maupun bantuan provinsi yang dikumpulkan dari uang "fee" para kontraktor untuk diberikan kepada Ketua DPRD Kabupaten Tulungagung.
Dalam persidangan Syahri Mulyo terungkap bahwa Supriyono menerima Rp3,75 miliar, dengan rincian penerimaan "fee" proyek APBD murni dan APBD perubahan selama empat tahun berturut pada 2014-2017 sebesar Rp500 juta setiap tahunnya atau total sekitar Rp2 miliar.
Selanjutnya, penerimaan yang diduga untuk memperlancar proses pembahasan APBD, mempermudah pencairan DAK, dan bantuan keuangan provinsi sebesar Rp750 juta sejak 2014-2018.
Kemudian, "fee" proyek di Kabupaten Tulungagung selama tahun 2017 sebesar Rp1 miliar.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2020