Ahli Toksikologi dari Universitas Airlangga, Sho’im Hidayat mengatakan, Indonesia perlu regulasi produk tembakau alternatif, hal ini seperti yang diterapkan di sejumlah negara maju di Eropa, tujuannya untuk mengatasi permasalahan penyakit tidak menular yang salah satu faktor risikonya diakibatkan oleh rokok.
"Hasilnya di beberapa negara Eropa cukup positif. Kalau perokok dewasa sudah banyak yang beralih ke produk tembakau alternatif, maka risiko terkena penyakit tidak menular yang salah satunya bisa disebabkan oleh rokok juga dapat menurun. Oleh karena itu, sudah seharusnya Indonesia mencontoh Inggris dan menjadi pelopor di kawasan Asia Tenggara agar tujuan kesehatan masyarakat dapat tercapai," kata Sho'im dalam keterangan persnya kepada wartawan di Surabaya, Senin.
Ia mengatakan, regulasi harus dibuat berdasarkan kajian ilmiah yang komprehensif agar tidak terjadi penyalahgunaan.
"Contoh faktor risiko lainnya yang turut berkontribusi pada penyakit tidak menular adalah pola makan tidak berimbang, kurangnya aktivitas fisik, dan konsumsi alkohol," tuturnya.
Sho'im yang turut menghadiri kegiatan International Conference on Harm Reduction in Non-Communicable Diseases yang diselenggarakan di Paris, Prancis pada 2-3 Februari lalu mengatakan, bahwa sejumlah negara di Eropa, seperti Inggris, Prancis, Polandia, dan Rusia sudah memiliki regulasi khusus bagi produk tembakau alternatif, seperti produk tembakau yang dipanaskan dan rokok elektrik, yang terpisah dari rokok.
"Inggris sudah mengatur secara ketat penggunaan produk tembakau alternatif sejak 2015 lalu," ucapnya.
Sementara itu, Mantan Kepala Onkologi di Guys Kings and St Thomas Hospital, Peter Herper mengakui dengan adanya regulasi, angka penyalahgunaan rokok elektrik pada anak di bawah umur di Inggris juga menjadi rendah.
Harper mengungkapkan penggunaan rokok elektrik secara reguler oleh anak muda, dari rentang usia 11 hingga 18 tahun, tetap rendah sekitar 1,7 persen.
Adapun proporsi penggunaan rokok elektrik terhadap mereka yang belum pernah mengonsumsi rokok sebelumnya juga rendah, yakni 0,2 persen pada usia 11-18 tahun.
Ahli Onkologi dari Prancis Profesor David Khayat juga menyebutkan, semua pihak harus mendorong penggunaan produk tembakau alternatif sebagai bagian dari konsep pengurangan risiko dari tembakau.
"Sebagai ahli kanker, saya mendorong pasien saya yang perokok untuk berhenti merokok. Tapi, jika tidak bisa, saya harus menawarkan mereka alternatif. Kita perlu mendukung pasien yang gagal dengan metode lain,” ujarnya.
Apabila tidak diberikan solusi alternatif, menurut Khayat, para perokok dewasa akan terus mengonsumsi rokok, meskipun mereka sebenarnya tahu bahwa produk tersebut berbahaya bagi kesehatan.
"Teknologi telah memberikan kami alat untuk melakukannya, mengapa kita menolak untuk melakukannya dengan tembakau? Kami ingin memberantas kanker dan pasien tetap hidup. Alternatif hari ini adalah produk tembakau yang dipanaskan dan rokok elektrik," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2020
"Hasilnya di beberapa negara Eropa cukup positif. Kalau perokok dewasa sudah banyak yang beralih ke produk tembakau alternatif, maka risiko terkena penyakit tidak menular yang salah satunya bisa disebabkan oleh rokok juga dapat menurun. Oleh karena itu, sudah seharusnya Indonesia mencontoh Inggris dan menjadi pelopor di kawasan Asia Tenggara agar tujuan kesehatan masyarakat dapat tercapai," kata Sho'im dalam keterangan persnya kepada wartawan di Surabaya, Senin.
Ia mengatakan, regulasi harus dibuat berdasarkan kajian ilmiah yang komprehensif agar tidak terjadi penyalahgunaan.
"Contoh faktor risiko lainnya yang turut berkontribusi pada penyakit tidak menular adalah pola makan tidak berimbang, kurangnya aktivitas fisik, dan konsumsi alkohol," tuturnya.
Sho'im yang turut menghadiri kegiatan International Conference on Harm Reduction in Non-Communicable Diseases yang diselenggarakan di Paris, Prancis pada 2-3 Februari lalu mengatakan, bahwa sejumlah negara di Eropa, seperti Inggris, Prancis, Polandia, dan Rusia sudah memiliki regulasi khusus bagi produk tembakau alternatif, seperti produk tembakau yang dipanaskan dan rokok elektrik, yang terpisah dari rokok.
"Inggris sudah mengatur secara ketat penggunaan produk tembakau alternatif sejak 2015 lalu," ucapnya.
Sementara itu, Mantan Kepala Onkologi di Guys Kings and St Thomas Hospital, Peter Herper mengakui dengan adanya regulasi, angka penyalahgunaan rokok elektrik pada anak di bawah umur di Inggris juga menjadi rendah.
Harper mengungkapkan penggunaan rokok elektrik secara reguler oleh anak muda, dari rentang usia 11 hingga 18 tahun, tetap rendah sekitar 1,7 persen.
Adapun proporsi penggunaan rokok elektrik terhadap mereka yang belum pernah mengonsumsi rokok sebelumnya juga rendah, yakni 0,2 persen pada usia 11-18 tahun.
Ahli Onkologi dari Prancis Profesor David Khayat juga menyebutkan, semua pihak harus mendorong penggunaan produk tembakau alternatif sebagai bagian dari konsep pengurangan risiko dari tembakau.
"Sebagai ahli kanker, saya mendorong pasien saya yang perokok untuk berhenti merokok. Tapi, jika tidak bisa, saya harus menawarkan mereka alternatif. Kita perlu mendukung pasien yang gagal dengan metode lain,” ujarnya.
Apabila tidak diberikan solusi alternatif, menurut Khayat, para perokok dewasa akan terus mengonsumsi rokok, meskipun mereka sebenarnya tahu bahwa produk tersebut berbahaya bagi kesehatan.
"Teknologi telah memberikan kami alat untuk melakukannya, mengapa kita menolak untuk melakukannya dengan tembakau? Kami ingin memberantas kanker dan pasien tetap hidup. Alternatif hari ini adalah produk tembakau yang dipanaskan dan rokok elektrik," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2020