Ratusan warga yang tinggal di kaki Gunung Kelud (1.731 meter di atas permukaan laut), tepatnya Desa Asmorobangun, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, melakukan demonstrasi ke Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Kediri, memprotes soal dugaan mafia dengan praktik menyewakan lahan hutan.
"Kami desak agar Perhutani menghentikan pungutan liar yang nominalnya bisa hingga miliaran," kata koordinator aksi Triyanto saat ditemui di sela-sela aksi, depan Perum Perhutani KPH Kediri, Rabu.
Menurut dia, modus operandi para mafia hutan tersebut sudah bisa dikategorikan terindikasi tindak pidana korupsi. Oknum tersebut melakukan pungutan liar dan praktik sewa menyewa lahan hutan. Bahkan, hal itu sudah berjalan puluhan tahun dengan jumlah uang yang diperkirakan sangat fantastis.
Diduga, praktik itu terjadi di kawasan hutan lereng Gunung Kelud seperti di Desa Manggis, Wonorejo, Satak dan Asmorobangun, Kecamatan Puncu, Kabupaten Kediri. Ada sekitar 2.500 hektare lahan.
Pihaknya juga menduga, lahan hutan tersebut telah disewakan oleh oknum Perum Perhutani dengan kisaran sewa Rp3 juta hingga Rp15 juta per hektare per dua tahun (di bawah tegakan tanaman) dan Rp25 juta hingga Rp35 juta per hektare per dua tahun (lahan setelah tebang).
Pihaknya juga mempertanyakan larinya uang pungutan tersebut yang dari petani. Diduga nominalnya hingga miliaran rupiah setiap tahun. Padahal, tanah tersebut merupakan tanah negara yang seharusnya tidak boleh disewa-sewakan secara sepihak.
Ia menduga, ada indikasi penyalahgunaan wewenang dan jabatan. Diindikasikan adanya penyelewengan karena telah melanggar UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Korupsi.
Munculnya penyimpangan dalam pengelolaan hutan itu diduga telah melibatkan gerombolan mafia hutan yang juga telah menyusup di jajaran Perum Perhutani KPH Kediri.
Pihaknya mendesak agar KPK dan aparat penegak hukum lainnya segera melakukan penyelidikan kepada oknum-oknum yang diduga menjadi bagian dari mafia hutan, karena telah merugikan negara.
Ia juga meminta agar perhutani memecat oknum tersebut, karena menghambat program perhutani sosial dan meminta tata kelola pemerintahan yang bersih, demokratis dan berwatak kerakyatan.
"Kami yakin dengan langkah tegas dari KPK dan aparat penegak hukum lainnya, secara otomatis pelaksanaan program perhutanan sosial di Kediri raya khususnya dan di seluruh Pulau Jawa umumnya akan mampu berjalan sesuai dengan semangat Nawa Cita Presiden Joko Widodo dan setumpuk aturan yang berlaku lainnya," kata Triyanto.
Sementara itu, Administratur Perum Perhutani KPH Kediri Mustopo mengatakan terkait dengan dugaan mafia hutan yang menyewakan lahan, ia menyerahkan sepenuhnya kepada aparat penegak hukum.
"Itu urusan penegak hukum. Kan harus ada korban yang lapor jika merasa dirugikan," kata Mustopo.
Massa mengendarai sepeda motor serta ada yang menumpang truk. Mereka membawa berbagai macam atribut dan langsung menuju kantor Perhutani Kediri. Saat aksi, sempat terjadi debat dan dorong mendorong antara warga dengan petugas. Namun, akhirnya hal itu bisa diselesaikan.
Perwakilan massa sempat ditemui oleh Administratur Perhutani Kediri. Mereka dialog namun belum ada solusi yang lebih jelas terkait dengan tuntutan warga.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2020
"Kami desak agar Perhutani menghentikan pungutan liar yang nominalnya bisa hingga miliaran," kata koordinator aksi Triyanto saat ditemui di sela-sela aksi, depan Perum Perhutani KPH Kediri, Rabu.
Menurut dia, modus operandi para mafia hutan tersebut sudah bisa dikategorikan terindikasi tindak pidana korupsi. Oknum tersebut melakukan pungutan liar dan praktik sewa menyewa lahan hutan. Bahkan, hal itu sudah berjalan puluhan tahun dengan jumlah uang yang diperkirakan sangat fantastis.
Diduga, praktik itu terjadi di kawasan hutan lereng Gunung Kelud seperti di Desa Manggis, Wonorejo, Satak dan Asmorobangun, Kecamatan Puncu, Kabupaten Kediri. Ada sekitar 2.500 hektare lahan.
Pihaknya juga menduga, lahan hutan tersebut telah disewakan oleh oknum Perum Perhutani dengan kisaran sewa Rp3 juta hingga Rp15 juta per hektare per dua tahun (di bawah tegakan tanaman) dan Rp25 juta hingga Rp35 juta per hektare per dua tahun (lahan setelah tebang).
Pihaknya juga mempertanyakan larinya uang pungutan tersebut yang dari petani. Diduga nominalnya hingga miliaran rupiah setiap tahun. Padahal, tanah tersebut merupakan tanah negara yang seharusnya tidak boleh disewa-sewakan secara sepihak.
Ia menduga, ada indikasi penyalahgunaan wewenang dan jabatan. Diindikasikan adanya penyelewengan karena telah melanggar UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Korupsi.
Munculnya penyimpangan dalam pengelolaan hutan itu diduga telah melibatkan gerombolan mafia hutan yang juga telah menyusup di jajaran Perum Perhutani KPH Kediri.
Pihaknya mendesak agar KPK dan aparat penegak hukum lainnya segera melakukan penyelidikan kepada oknum-oknum yang diduga menjadi bagian dari mafia hutan, karena telah merugikan negara.
Ia juga meminta agar perhutani memecat oknum tersebut, karena menghambat program perhutani sosial dan meminta tata kelola pemerintahan yang bersih, demokratis dan berwatak kerakyatan.
"Kami yakin dengan langkah tegas dari KPK dan aparat penegak hukum lainnya, secara otomatis pelaksanaan program perhutanan sosial di Kediri raya khususnya dan di seluruh Pulau Jawa umumnya akan mampu berjalan sesuai dengan semangat Nawa Cita Presiden Joko Widodo dan setumpuk aturan yang berlaku lainnya," kata Triyanto.
Sementara itu, Administratur Perum Perhutani KPH Kediri Mustopo mengatakan terkait dengan dugaan mafia hutan yang menyewakan lahan, ia menyerahkan sepenuhnya kepada aparat penegak hukum.
"Itu urusan penegak hukum. Kan harus ada korban yang lapor jika merasa dirugikan," kata Mustopo.
Massa mengendarai sepeda motor serta ada yang menumpang truk. Mereka membawa berbagai macam atribut dan langsung menuju kantor Perhutani Kediri. Saat aksi, sempat terjadi debat dan dorong mendorong antara warga dengan petugas. Namun, akhirnya hal itu bisa diselesaikan.
Perwakilan massa sempat ditemui oleh Administratur Perhutani Kediri. Mereka dialog namun belum ada solusi yang lebih jelas terkait dengan tuntutan warga.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2020