Perum Jasa Tirta berencana melakukan survei atau pendataan ulang jumlah penambang pasir mekanik yang beroperasi secara ilegal di sepanjang aliran Sungai Brantas, perbatasan Tulungagung-Blitar.
Kepala Sub Divisi Jasa ASA I-3 Perum Jasa Tirta, Hadi Witoyo, Rabu, mengatakan pendataan ulang diperlukan untuk memantau perkembangan jumlah penambang pasir mekanis maupun yang menggunakan alat berat.
"Kami ingin tahu berapa yang masih beroperasi. Apakah bertambah atau berkurang," kata Hadi Witoyo saat dikonfirmasi wartawan, di Tulungagung, Rabu.
Baca juga: Penambang pasir ilegal di Sungai Brantas gunakan alat berat, tak ada penindakan
Tak hanya mendata, menurutnya, pemantauan juga dilakukan untuk menentukan titik-titik area penambangan serta dampak lingkungan yang ditimbulkan.
Pada survei lapangan serta kajian ekologi yang pernah dilakukan PJT sebelumnya (sekitar Juni-Juli 2019), penambangan pasir mekanis yang masif di sepanjang aliran Sungai Brantas mulai dari wilayah Rejotangan, Ngunut hingga Ngantru disimpulkan telah memicu degradasi dasar sungai antara 4-7 meter.
Beberapa titik penyedotan bahkan disebut lebih dalam lagi, sehingga membentuk palung sungai. Banyak tebing dan plengseng di sepanjang Sungai Brantas yang ambrol.
Baca juga: Aktivis lingkungan Tulungagung surati Kapolri terkait penambangan ilegal Sungai Brantas
Kontur bergeser, sehingga mengancam permukiman penduduk sekitar maupun infrastruktur jalan/jembatan. Kondisi itu mengancam ekosistem sungai serta sediaan air baku bawah tanah di lingkungan sekitarnya.
"Setelah sekian bulan, dengan aktivitas penambangan mekanis masih terus berjalan, kemungkinan kondisinya sekarang semakin parah," ujarnya.
Pantauan di lapangan, aktivitas penambangan memang kian masif dilakukan masyarakat yang diduga dibekingi pengusaha lokal dan oknum pejabat/perangkat.
Sejak pagi hingga siang para penambang pasir beroperasi tanpa khawatir ditindak petugas.
Baca juga: Akibat penambangan pasir, kerusakan Sungai Brantas makin mengkhawatirkan
Tak hanya menggunakan puluhan mesin diesel dongfeng untuk menyedot pasir dan digelontorkan langsung ke bak-bak dump truk yang terus mengantre untuk mengisi (loading), namun juga melibatkan sejumlah alat berat.
Data sebelumnya yang dirilis PJT, total ada 47 mesin diesel dongfeng yang dioperasikan di sepanjang aliran Sungai Brantas yang membelah dua wilayah Kabupaten Tulungagung dan Blitar.
Sementara jumlah alat berat terpantau ada lima unit yang tersebar di beberapa titik. Operasi penambangan pasir ilegal itu juga melibatkan antara 60-100-an unit dump truk, dengan masing-masing unit bisa mengangkut rata-rata antara 10-15 kali muatan pasir hasil penambangan per harinya.
Dengan harga pasir dari lokasi penambangan yang saat ini dibanderol sekitar Rp650 ribu ler rit isi sekitar 5 kubik, estimasi perputaran uang dari proyek galian ilegal ini ditaksir mencapai (minimal) Rp650 juta setiap harinya.
Itu asumsi operasional 100 unit DT dengan frekuensi pengangkutan mininal 10 kali dalam sehari.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2019
Kepala Sub Divisi Jasa ASA I-3 Perum Jasa Tirta, Hadi Witoyo, Rabu, mengatakan pendataan ulang diperlukan untuk memantau perkembangan jumlah penambang pasir mekanis maupun yang menggunakan alat berat.
"Kami ingin tahu berapa yang masih beroperasi. Apakah bertambah atau berkurang," kata Hadi Witoyo saat dikonfirmasi wartawan, di Tulungagung, Rabu.
Baca juga: Penambang pasir ilegal di Sungai Brantas gunakan alat berat, tak ada penindakan
Tak hanya mendata, menurutnya, pemantauan juga dilakukan untuk menentukan titik-titik area penambangan serta dampak lingkungan yang ditimbulkan.
Pada survei lapangan serta kajian ekologi yang pernah dilakukan PJT sebelumnya (sekitar Juni-Juli 2019), penambangan pasir mekanis yang masif di sepanjang aliran Sungai Brantas mulai dari wilayah Rejotangan, Ngunut hingga Ngantru disimpulkan telah memicu degradasi dasar sungai antara 4-7 meter.
Beberapa titik penyedotan bahkan disebut lebih dalam lagi, sehingga membentuk palung sungai. Banyak tebing dan plengseng di sepanjang Sungai Brantas yang ambrol.
Baca juga: Aktivis lingkungan Tulungagung surati Kapolri terkait penambangan ilegal Sungai Brantas
Kontur bergeser, sehingga mengancam permukiman penduduk sekitar maupun infrastruktur jalan/jembatan. Kondisi itu mengancam ekosistem sungai serta sediaan air baku bawah tanah di lingkungan sekitarnya.
"Setelah sekian bulan, dengan aktivitas penambangan mekanis masih terus berjalan, kemungkinan kondisinya sekarang semakin parah," ujarnya.
Pantauan di lapangan, aktivitas penambangan memang kian masif dilakukan masyarakat yang diduga dibekingi pengusaha lokal dan oknum pejabat/perangkat.
Sejak pagi hingga siang para penambang pasir beroperasi tanpa khawatir ditindak petugas.
Baca juga: Akibat penambangan pasir, kerusakan Sungai Brantas makin mengkhawatirkan
Tak hanya menggunakan puluhan mesin diesel dongfeng untuk menyedot pasir dan digelontorkan langsung ke bak-bak dump truk yang terus mengantre untuk mengisi (loading), namun juga melibatkan sejumlah alat berat.
Data sebelumnya yang dirilis PJT, total ada 47 mesin diesel dongfeng yang dioperasikan di sepanjang aliran Sungai Brantas yang membelah dua wilayah Kabupaten Tulungagung dan Blitar.
Sementara jumlah alat berat terpantau ada lima unit yang tersebar di beberapa titik. Operasi penambangan pasir ilegal itu juga melibatkan antara 60-100-an unit dump truk, dengan masing-masing unit bisa mengangkut rata-rata antara 10-15 kali muatan pasir hasil penambangan per harinya.
Dengan harga pasir dari lokasi penambangan yang saat ini dibanderol sekitar Rp650 ribu ler rit isi sekitar 5 kubik, estimasi perputaran uang dari proyek galian ilegal ini ditaksir mencapai (minimal) Rp650 juta setiap harinya.
Itu asumsi operasional 100 unit DT dengan frekuensi pengangkutan mininal 10 kali dalam sehari.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2019