Sejumlah jurnalis dari berbagai media di Blitar, Jawa Timur, melakukan demo terkait keberatan mereka terhadap sejumlah pasal yang ada dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP).
"Kami menyuarakan aspirasi, menolak adanya Rancangan UU KUHP. Memang pemerintah sudah menyatakan ditunda, tapi bukan berarti tidak dibahas kembali, sehingga aksi ini untuk menolak Rancangan UU itu," kata koordinator aksi Irfan Anshori saat dikonfirmasi di Blitar, Rabu.
Ia mengatakan, dalam Rancangan UU KUHP tersebut terdapat sejumlah pasal yang dinilai berpotensi untuk mengebiri pekerjaan jurnalis, sehingga membuat orang atau pihak yang tidak menyukai pemberitaan itu bisa menyeret jurnalis bersangkutan ke penjara.
"Ada beberapa pasal yang berpotensi untuk mengebiri pekerjaan jurnalis, sehingga gampang menyeret kami ke penjara ketika ada beberapa pihak yang tidak berkenan," ucap dia.
Pihaknya juga meminta Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian untuk mengusut tuntas dan memroses sesuai dengan aturan hukum yang berlaku terhadap oknum yang melakukan pemukulan pada jurnalis saat meliput kegiatan unjuk rasa di sejumlah daerah di Indonesia.
"Kami meminta Kapolri untuk mengusut tuntas dan memroses sesuai dengan aturan hukum pemukulan rekan jurnalis. Kami juga meminta Kapolri minta maaf atas tindakan tidak terpuji dari anak buah dan tidak diulang kembali. Ini sudah sering terjadi," ujar dia.
Dalam aksi itu, para jurnalis juga membawa berbagai macam poster yang isinya tuntutan menolak Rancangan UU KUHP tersebut. Beberapa isi tulisan itu seperti "tolak RUU KUHP", "pers dibungkam pilar demokrasi mati", "pejabat sahkan RUU KUHP= penjahat", dan sejumlah tulisan lainnya.
Massa yang aksi di depan halaman gedung DPRD Kota Blitar tersebut juga melakukan tabur bunga sebagai bentuk solidaritas atas kebijakan RUU KUHP tersebut, serta sebagai rasa prihatin terhadap kekerasan yang terjadi pada sesama jurnalis saat meliput unjuk rasa mahasiswa pada Selasa (24/9).
Setelah orasi untuk menyuarakan aspirasnya, massa yang juga dikawal oleh Petugas Satpol PP Kota Blitar serta polisi membubarkan diri. Arus lalu lintas di jalan yang sering disebut perempatan "lovi Kota Blitar" itu sempat tersendat, tapi setelah aksi selesai arus lalu lintas kembali lancar.
Pasal yang dinilai berpotensi mengebiri kinerja jurnalis, misalnya, Pasal RUU KUHP tentang Penghinaan Presiden. Pasal 218 mengancam pelaku dengan penjara maksimal 3,5 tahun. Di Pasal 219, pelaku penyiaran hinaan itu diancam 4,5 tahun bui. Di pasal 220 RUU KUHP dijelaskan bahwa perbuatan ini menjadi delik apabila diadukan oleh Presiden atau Wakil Presiden.
Selain itu, Pasal 353-354 mengatur hukuman bagi pelaku penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara. Pelakunya terancam 1,5 tahun bui. Bila penghinaan itu memicu kerusuhan, pelakunya bisa dihukum tiga tahun penjara. Dan jika hal itu disiarkan, pelaku terancam dua tahun bui.
Pasal lainnya, misalnya, tentang Tindak Pidana Pembukaan Rahasia. Di Pasal 450 dalam RUU KUHP, di mana pasal ini mengatur mengenai pejabat pemerintah yang menyebarkan informasi rahasia diancam dengan hukuman satu tahun penjara. Sementara pasal 451 mengatur mengenai ancaman hukuman dua tahun penjara bagi orang yang memberitahukan rahasia perusahaan.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2019
"Kami menyuarakan aspirasi, menolak adanya Rancangan UU KUHP. Memang pemerintah sudah menyatakan ditunda, tapi bukan berarti tidak dibahas kembali, sehingga aksi ini untuk menolak Rancangan UU itu," kata koordinator aksi Irfan Anshori saat dikonfirmasi di Blitar, Rabu.
Ia mengatakan, dalam Rancangan UU KUHP tersebut terdapat sejumlah pasal yang dinilai berpotensi untuk mengebiri pekerjaan jurnalis, sehingga membuat orang atau pihak yang tidak menyukai pemberitaan itu bisa menyeret jurnalis bersangkutan ke penjara.
"Ada beberapa pasal yang berpotensi untuk mengebiri pekerjaan jurnalis, sehingga gampang menyeret kami ke penjara ketika ada beberapa pihak yang tidak berkenan," ucap dia.
Pihaknya juga meminta Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian untuk mengusut tuntas dan memroses sesuai dengan aturan hukum yang berlaku terhadap oknum yang melakukan pemukulan pada jurnalis saat meliput kegiatan unjuk rasa di sejumlah daerah di Indonesia.
"Kami meminta Kapolri untuk mengusut tuntas dan memroses sesuai dengan aturan hukum pemukulan rekan jurnalis. Kami juga meminta Kapolri minta maaf atas tindakan tidak terpuji dari anak buah dan tidak diulang kembali. Ini sudah sering terjadi," ujar dia.
Dalam aksi itu, para jurnalis juga membawa berbagai macam poster yang isinya tuntutan menolak Rancangan UU KUHP tersebut. Beberapa isi tulisan itu seperti "tolak RUU KUHP", "pers dibungkam pilar demokrasi mati", "pejabat sahkan RUU KUHP= penjahat", dan sejumlah tulisan lainnya.
Massa yang aksi di depan halaman gedung DPRD Kota Blitar tersebut juga melakukan tabur bunga sebagai bentuk solidaritas atas kebijakan RUU KUHP tersebut, serta sebagai rasa prihatin terhadap kekerasan yang terjadi pada sesama jurnalis saat meliput unjuk rasa mahasiswa pada Selasa (24/9).
Setelah orasi untuk menyuarakan aspirasnya, massa yang juga dikawal oleh Petugas Satpol PP Kota Blitar serta polisi membubarkan diri. Arus lalu lintas di jalan yang sering disebut perempatan "lovi Kota Blitar" itu sempat tersendat, tapi setelah aksi selesai arus lalu lintas kembali lancar.
Pasal yang dinilai berpotensi mengebiri kinerja jurnalis, misalnya, Pasal RUU KUHP tentang Penghinaan Presiden. Pasal 218 mengancam pelaku dengan penjara maksimal 3,5 tahun. Di Pasal 219, pelaku penyiaran hinaan itu diancam 4,5 tahun bui. Di pasal 220 RUU KUHP dijelaskan bahwa perbuatan ini menjadi delik apabila diadukan oleh Presiden atau Wakil Presiden.
Selain itu, Pasal 353-354 mengatur hukuman bagi pelaku penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara. Pelakunya terancam 1,5 tahun bui. Bila penghinaan itu memicu kerusuhan, pelakunya bisa dihukum tiga tahun penjara. Dan jika hal itu disiarkan, pelaku terancam dua tahun bui.
Pasal lainnya, misalnya, tentang Tindak Pidana Pembukaan Rahasia. Di Pasal 450 dalam RUU KUHP, di mana pasal ini mengatur mengenai pejabat pemerintah yang menyebarkan informasi rahasia diancam dengan hukuman satu tahun penjara. Sementara pasal 451 mengatur mengenai ancaman hukuman dua tahun penjara bagi orang yang memberitahukan rahasia perusahaan.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2019