Universitas Jember (Unej) melalui Center for Development of Advanced Science and Technology (CDAST) mempertemukan sejumlah pakar atau akademisi, pemerintah selaku regulator, dan pihak praktisi beserta kalangan bisnis untuk memberikan solusi dalam menghadapi kekurangan pangan melalui bioteknologi.
Pertemuan itu untuk membahas hasil-hasil penelitian dan perkembangan terbaru bidang bioteknologi beserta permasalahannya yang melingkupinya melalui seminar internasional bertajuk "Agricultural Biotechnology and Biosafety" selama 2 hari di kampus Tegalboto Unej, mulai Rabu hingga Kamis (11-7-2019).
"Seminar itu terselenggara berkat kerja sama antara Universitas Jember dan Kedutaan Besar Amerika di Indonesia, dan CropLife Indonesia, asosiasi nirlaba yang mewakili kepentingan petani dan industri pertanian," kata Ketua Panitia Prof. Bambang Sugiharto di Unej.
Menurut dia, masih ada kekhawatiran di kalangan masyarakat akan bahaya yang mungkin ditimbulkan bagi kesehatan manusia dan keamanan lingkungan dari produk rekayasa genetika (PRG) untuk tujuan pemenuhan kebutuhan pangan maupun sebagai bahan tanam pada usaha budi daya pertanian.
"Keraguan akan keamanan tanaman PRG akan tetap ada selama jaminan keamanan masih belum bisa diberikan. Oleh karena itu, hasil seminar kali ini sekaligus menjadi bahan untuk memberikan literasi bioteknologi dan PRG bagi masyarakat umum," katanya.
Ia mengatakan bahwa Indonesia dan juga dunia tengah menghadapi permasalahan kekurangan pangan akibat perubahan cuaca, alih guna lahan pertanian, hingga makin bertambahnya populasi manusia. Jika tidak ada langkah antisipasi yang tepat, bahaya kelaparan akan melanda dunia.
"Salah satu usaha yang tengah dikembangkan oleh pemerintah bersama akademisi dan pihak terkait adalah pemanfaatan bioteknologi untuk pertanian," ucap Guru Besar penemu tebu transgenik itu.
Namun, lanjut dia, pemanfaatan produk pertanian hasil bioteknologi, terutama hasil rekayasa genetika harus tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian yang berlandaskan pada keamanan pangan, keamanan pakan dan keamanan lingkungan sebelum masuk ke tahapan komersialisasi.
Jaminan akan keamanan produk hasil bioteknologi, termasuk PRG, diungkapkan oleh anggota Komisi Keamanan Hayati PRG yang menjadi salah satu pembicara Roy Sparingga.
"Komisi Keamanan Hayati PRG mengawasi semua produk rekayasa genetika yang beredar di Indonesia dengan ketat, baik dari keamanan pangan, pakan, maupun lingkungan, sehingga meminimalkan efek negatif yang mungkin ada," tuturnya.
Menurut dia, produk rekayasa genetika sudah masuk ke Indonesia sudah lebih dari 20 tahun. Misalnya, kedelai yang berasal dari Amerika Serikat yang digunakan sebagai bahan tempe dan tahu karena selama ini aman dikonsumsi.
Bioteknologi sebagai salah satu antisipasi akan kekurangan pangan disampaikan Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Indonesia Winarno Tohir. Menurut dia, lahan pertanian di Indonesia makin menyusut. Namun, di sisi lain, ada lahan potensial yang menunggu digarap.
"Kami punya 30 juta hektare lahan rawa, seluas 10 juta hektare di antaranya bisa segera dimanfaatkan. Begitu pula, dengan lahan gambut. Tentu saja pemanfaatan lahan rawa dan gambut memerlukan teknologi agar bisa diolah dengan baik, dan bioteknologi jadi salah satu jawabannya," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2019
Pertemuan itu untuk membahas hasil-hasil penelitian dan perkembangan terbaru bidang bioteknologi beserta permasalahannya yang melingkupinya melalui seminar internasional bertajuk "Agricultural Biotechnology and Biosafety" selama 2 hari di kampus Tegalboto Unej, mulai Rabu hingga Kamis (11-7-2019).
"Seminar itu terselenggara berkat kerja sama antara Universitas Jember dan Kedutaan Besar Amerika di Indonesia, dan CropLife Indonesia, asosiasi nirlaba yang mewakili kepentingan petani dan industri pertanian," kata Ketua Panitia Prof. Bambang Sugiharto di Unej.
Menurut dia, masih ada kekhawatiran di kalangan masyarakat akan bahaya yang mungkin ditimbulkan bagi kesehatan manusia dan keamanan lingkungan dari produk rekayasa genetika (PRG) untuk tujuan pemenuhan kebutuhan pangan maupun sebagai bahan tanam pada usaha budi daya pertanian.
"Keraguan akan keamanan tanaman PRG akan tetap ada selama jaminan keamanan masih belum bisa diberikan. Oleh karena itu, hasil seminar kali ini sekaligus menjadi bahan untuk memberikan literasi bioteknologi dan PRG bagi masyarakat umum," katanya.
Ia mengatakan bahwa Indonesia dan juga dunia tengah menghadapi permasalahan kekurangan pangan akibat perubahan cuaca, alih guna lahan pertanian, hingga makin bertambahnya populasi manusia. Jika tidak ada langkah antisipasi yang tepat, bahaya kelaparan akan melanda dunia.
"Salah satu usaha yang tengah dikembangkan oleh pemerintah bersama akademisi dan pihak terkait adalah pemanfaatan bioteknologi untuk pertanian," ucap Guru Besar penemu tebu transgenik itu.
Namun, lanjut dia, pemanfaatan produk pertanian hasil bioteknologi, terutama hasil rekayasa genetika harus tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian yang berlandaskan pada keamanan pangan, keamanan pakan dan keamanan lingkungan sebelum masuk ke tahapan komersialisasi.
Jaminan akan keamanan produk hasil bioteknologi, termasuk PRG, diungkapkan oleh anggota Komisi Keamanan Hayati PRG yang menjadi salah satu pembicara Roy Sparingga.
"Komisi Keamanan Hayati PRG mengawasi semua produk rekayasa genetika yang beredar di Indonesia dengan ketat, baik dari keamanan pangan, pakan, maupun lingkungan, sehingga meminimalkan efek negatif yang mungkin ada," tuturnya.
Menurut dia, produk rekayasa genetika sudah masuk ke Indonesia sudah lebih dari 20 tahun. Misalnya, kedelai yang berasal dari Amerika Serikat yang digunakan sebagai bahan tempe dan tahu karena selama ini aman dikonsumsi.
Bioteknologi sebagai salah satu antisipasi akan kekurangan pangan disampaikan Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Indonesia Winarno Tohir. Menurut dia, lahan pertanian di Indonesia makin menyusut. Namun, di sisi lain, ada lahan potensial yang menunggu digarap.
"Kami punya 30 juta hektare lahan rawa, seluas 10 juta hektare di antaranya bisa segera dimanfaatkan. Begitu pula, dengan lahan gambut. Tentu saja pemanfaatan lahan rawa dan gambut memerlukan teknologi agar bisa diolah dengan baik, dan bioteknologi jadi salah satu jawabannya," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2019