Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jember bersama jurnalis dan aktivis pers mahasiswa menggelar demonstrasi memperingati hari kebebasan pers internasional di bundaran DPRD Kabupaten Jember, Jawa Timur, Jumat.

"Pada peringatan World Press Freedom Day 2019, kami menyoroti banyaknya aksi pengekangan kebebasan pers yang masih terjadi di Indonesia," kata koordinator aksi Mahrus Sholih di Jember.

Menurutnya banyak yang terjadi seperti kasus kriminalisasi jurnalis menggunakan UU ITE, kasus kekerasan yang menimpa jurnalis, tidak adilnya penerapan hukum pada pelaku kekerasan pada jurnalis hingga pemutusan hubungan kerja sepihak yang dilakukan perusahaan media.

"Kasus yang menimpa Ghinan Salman, misalnya, yakni proses peradilan kasus dugaan penganiayan dan penghalang-halangan kerja yang dialami mantan jurnalis Jawa Pos Radar Madura itu berakhir mengecewakan," ucapnya.

Dalam sidang dengan agenda putusan, lanjut dia, majelis hakim Pengadilan Negeri Bangkalan yang diketuai Sri Hananta membebaskan terdakwa tunggal, Jumali dari seluruh dakwaan.

Ia menjelaskan kekerasan pada jurnalis juga terus terjadi dan kasus terbaru adalah penganiayaan yang dialami dua jurnalis foto, Iqbal Kusumadireza dan Prima Mulia yang mendapat kekerasan dari aparat kepolisian yang bertugas menjaga aksi saat "May Day" berlangsung pada 1 Mei 2019.

"Kasus pembungkaman juga banyak ditemukan pada pers kampus atau pers mahasiswa. Ada kasus Pers Balairung yang sempat diperiksa polisi karena tulisan tentang kasus pelecehan yang menimpa salah satu mahasiswa di kampus, serta tidak ketinggalan aksi bredel di Lembaga Pers Mahasiswa Suara USU, Sumatera Utara," ujarnya.

Berbagai rentetan kasus itu, lanjut dia, membuktikan masih banyak yang tidak paham tentang kebebasan pers yang tertuang dalam pasal 8 Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menyatakan dalam menjalankan profesinya jurnalis mendapat perlindungan hukum.

"Kerja-kerja jurnalistik itu meliputi mencari bahan berita, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, hingga menyampaikan kepada publik. Mereka yang menghalang-halangi tugas jurnalis juga bisa dijerat pasal pidana yang merujuk pada KUHP, serta pasal 18 UU Pers, dengan ancaman dua tahun penjara atau denda Rp500 juta," tuturnya.

Dalam catatan AJI Jember, lanjut dia, sejumlah kasus kekerasan dan kebebasan pers tidak pernah tuntas baik secara hukum pers maupun sesuai dengan UU keterbukaan informasi publik (KIP) yang menggunakan UU Pers banyak kasus yang menguap begitu saja.

"Kekerasan terhadap jurnalis merupakan pembungkaman berkespresi dan secara aturan melanggar UU Pers 1999 dan semua pihak harus memberikan ruang seluas-luasnya kepada jurnalis khususnya bagi seluruh pemangku kebijakan sesuai publik sesuai yang diatur dalam UU KIP," katanya.

AJI Jember, lanjut dia, mendesak penuntasan kasus pelarangan peliputan hingga kekerasan terhadap jurnalis yang dilakukan oleh aparat dan pejabat publik, serta mewajibkan kepolisian patuh terhadap "MoU" Kapolri dan Dewan Pers untuk menggunakan UU Pers No.40 Tahun 1999 sebagai "lex specialis derogat legi generalis".

Pewarta: Zumrotun Solichah

Editor : Didik Kusbiantoro


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2019