Pelaku usaha kecil menengah kerajinan aneka peralatan dapur di Ngunut, Tulungagung, Jawa Timur, masih kesulitan mendapatkan modal untuk mengembangkan usahanya, sehingga kalah bersaing dengan perusahaan besar.

"Dampaknya ya terutama saat order (pesan) bahan baku. Pengusaha besar bisa langsung deposit dana sesuai nilai kontrak yang dibutuhkan, sementara kami baru bisa bayar setelah barang datang atau bahkan produk olahan yang kami produksi terjual ke pasar," kata Bambang Dwi, pelaku UKM kerajinan alat rumah tangga di Desa Kaliwungu, Kecamatan Ngunut, Tulungagung, Kamis.

Industri rumahan yang dikelola Bambang sebenarnya cukup berkembang. Dalam sepekan dia bisa memproduksi spatula (aneka peralatan dapur) dengan nilai omzet ratusan juta rupiah. Namun karena industri yang digeluti padat modal, sehingga ia harus luwes dalam mengelola keuangan, termasuk  dalam pembelanjaan bahan baku dan belanja rutin seperti membayar upah buruh agar roda industri yang telah ditekuni sejak 2011 berputar normal.

"Kredit lunak sangat diperlukan agar pelaku UKM seperti kami tidak sampai gulung tikar," ucapnya.

Untuk menyiasati, Bambang dan sejumlah pelaku UKM industri spatula di Ngunut yang berjumlah 20 unit lebih memilih bersinergi dengan perusahaan yang memiliki kapital besar di sektor usaha yang sama dengan menjadi pemasok.

Selain itu, mereka mempertahankan pasar sendiri yang mayoritas di luar Jawa, seperti Lombok, Jawa Tengah dan Surabaya.

"Itupun kami memproduksi barang hanya sesuai pesanan. Jika tidak sesuai produk yang kami kirim bisa dikembalikan dan itu bisa menyebabkan kerugian lebih besar," ujarnya.

Di tempat usahanya,  Bambang Dwi memproduksi alat dapur seperti  sothil, penggorengan, irus boks, jepit kue, parut, dan beberapa jenis produk pesanan lain berbahan plat besi dan stainless steel.

Dia menjual dalam volume besar, biasanya mencapai puluhan hingga ratusan lusin yang dikemas dalam kardus dan diangkut menggunakan truk.

"Di sini, pembeli yang datang sendiri untuk mengambil barang. Kami menjual dengan harga produk dengan asumsi harga diambil di tempat. Bukan diantar atau dikirim sehingga tidak ada biaya gendong (angkut)," paparnya.

Harga produk industri spatula yang dipatok Bambang Dwi dan sejumlah pelaku UKM lain bervariasi, mulai Rp12 ribu per lusin hingga seratus ribu rupiah dengan volume yang sama.

Harga barang bervariasi karena tergantung pada biaya dan volume bahan, serta tingkat kesulitan dalam proses pembuatan.

Namun dia memastikan banderol harga produk industri yang dijual ke pasar rata-rata hampir sama sehingga meminimalkan risiko persaingan antarpelaku UKM sejenis yang jumlahnya ada 20.unit lebih, mulai dari kecil , menengah, hingga besar.

Pewarta: Destyan H. Sujarwoko

Editor : Didik Kusbiantoro


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2019