Pemerintah Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, mengakui telah gagal merelokasi 19 keluarga yang menjadi korban tanah gerak (likuifaksi) di Desa Tanen, sehingga menyebabkan sedikitnya 10 rumah rusak berat dan lima lainnya rusak ringan.
"Bukan tidak ada solusi. Kami sudah menawarkan relokasi melalui program transmigrasi dari Dinsosnaker, tapi mereka memang tidak mau," kata Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Tulungagung Suroto di Tulungagung, Kamis.
Menurut ia, paket solusi transmigrasi merupakan hasil rembugan antara Pemkab Tulungagung, dalam hal ini BPBD dan Dinsosnaker dengan kepala Desa Tanen dan camat Rejotangan.
Tak hanya diberangkatkan ke tanah transmigrasi secara gratis, warga Tanen yang terdampak tanah gerak dan bersedia direlokasi juga akan diberi rumah layak huni, tanah garapan seluas dua hektare, dan biaya hidup selama 1-2 tahun. Namun, tawaran itu ditolak mentah-mentah.
Sebaliknya, mereka yang rumahnya mengalami kerusakan parah, saat itu memilih mengungsi ke rumah saudaranya di kampung yang sama.
"Jadi, bukan tidak ada solusi. Mereka sendiri yang memang memilih untuk mengungsi ke rumah keluarganya," kata Suroto.
Ia membantah tudingan kalau pemerintah daerah dinilai abai. Kendati pergerakan tanah kembali terjadi dan menyebabkan lima rumah rusak berat dan tidak bisa dihuni lagi, lima lainnya rusak berat namun masih dihuni, dan lima lainnya terdampak ringan, namun berisiko semakin parah seiring pergerakan tanah yang masih akan terus terjadi.
"Kalaupun sampai rumah yang terdampak ini rusak berat dan tidak bisa ditempati, tenda pengungsian untuk penampungan sementara sudah kami siapkan. Bahkan pekarangan dan rumah pak kades yang kosong boleh digunakan sementara. Tapi, merekanya yang tidak mau. Sama anak-anak dan keluarganya tidak boleh, memilih tinggal di rumah sanak saudaranya yang aman (tidak terdampak)," katanya.
Kasus tanah gerak di Desa Tanen itu sudah terjadi sejak 2011 dan terus terjadi saat turun hujan deras.
Hasil penelitian tim geologi dari Dinas ESDM Jawa Timur menyebutkan, struktur lapisan tanah di bawah permukiman yang mengalami kerusakan parah di Dusun Purwodadi Kidul, Desa Tanen, merupakan jenis tanah kaolin.
Dalam ilmu geologi, kaolin merupakan jenis bahan tambang berupa tanah liat yang biasa digunakan untuk bahan baku genteng, bata merah dan sejenisnya.
"Tanah jenis ini cirinya kalau kena air (curah air hujan) dengan intensitas tinggi akan bergerak dan bisa memicu longsor," papar Suroto.
Saat awal terjadi kasus tanah gerak pada 2011, kata Suroto, warga yang menghuni di atasnya sudah pindah. Bekas bangunan yang tinggal rangka juga masih ada jejaknya.
Namun seiring waktu, warga kembali menempati area tersebut hingga berdiri belasan bangunan.
Pada 2015, pergerakan tanah kembali terjadi dan menyebabkan beberapa rumah retak. Tim geologi Dinas ESDM kemudian turun ke lokasi untuk melakukan penelitian. Hasilnya, area tersebut tidak direkomendasikan untuk ditinggali.
Namun, warga tetap enggan untuk pindah atau direlokasi. Sampai akhirnya pada 2018, kasus pergerakan tanah kembali terjadi dan memperparah dampak kerusakan di lokasi yang sama.
Terakhir, kondisi tanah gerak memburuk sepekan lalu seiring hujan dengan curah tinggi selama beberapa jam, sehingga tanah di area yang sama bergerak lagi dan menyebabkan beberapa rumah ambruk. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2019
"Bukan tidak ada solusi. Kami sudah menawarkan relokasi melalui program transmigrasi dari Dinsosnaker, tapi mereka memang tidak mau," kata Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Tulungagung Suroto di Tulungagung, Kamis.
Menurut ia, paket solusi transmigrasi merupakan hasil rembugan antara Pemkab Tulungagung, dalam hal ini BPBD dan Dinsosnaker dengan kepala Desa Tanen dan camat Rejotangan.
Tak hanya diberangkatkan ke tanah transmigrasi secara gratis, warga Tanen yang terdampak tanah gerak dan bersedia direlokasi juga akan diberi rumah layak huni, tanah garapan seluas dua hektare, dan biaya hidup selama 1-2 tahun. Namun, tawaran itu ditolak mentah-mentah.
Sebaliknya, mereka yang rumahnya mengalami kerusakan parah, saat itu memilih mengungsi ke rumah saudaranya di kampung yang sama.
"Jadi, bukan tidak ada solusi. Mereka sendiri yang memang memilih untuk mengungsi ke rumah keluarganya," kata Suroto.
Ia membantah tudingan kalau pemerintah daerah dinilai abai. Kendati pergerakan tanah kembali terjadi dan menyebabkan lima rumah rusak berat dan tidak bisa dihuni lagi, lima lainnya rusak berat namun masih dihuni, dan lima lainnya terdampak ringan, namun berisiko semakin parah seiring pergerakan tanah yang masih akan terus terjadi.
"Kalaupun sampai rumah yang terdampak ini rusak berat dan tidak bisa ditempati, tenda pengungsian untuk penampungan sementara sudah kami siapkan. Bahkan pekarangan dan rumah pak kades yang kosong boleh digunakan sementara. Tapi, merekanya yang tidak mau. Sama anak-anak dan keluarganya tidak boleh, memilih tinggal di rumah sanak saudaranya yang aman (tidak terdampak)," katanya.
Kasus tanah gerak di Desa Tanen itu sudah terjadi sejak 2011 dan terus terjadi saat turun hujan deras.
Hasil penelitian tim geologi dari Dinas ESDM Jawa Timur menyebutkan, struktur lapisan tanah di bawah permukiman yang mengalami kerusakan parah di Dusun Purwodadi Kidul, Desa Tanen, merupakan jenis tanah kaolin.
Dalam ilmu geologi, kaolin merupakan jenis bahan tambang berupa tanah liat yang biasa digunakan untuk bahan baku genteng, bata merah dan sejenisnya.
"Tanah jenis ini cirinya kalau kena air (curah air hujan) dengan intensitas tinggi akan bergerak dan bisa memicu longsor," papar Suroto.
Saat awal terjadi kasus tanah gerak pada 2011, kata Suroto, warga yang menghuni di atasnya sudah pindah. Bekas bangunan yang tinggal rangka juga masih ada jejaknya.
Namun seiring waktu, warga kembali menempati area tersebut hingga berdiri belasan bangunan.
Pada 2015, pergerakan tanah kembali terjadi dan menyebabkan beberapa rumah retak. Tim geologi Dinas ESDM kemudian turun ke lokasi untuk melakukan penelitian. Hasilnya, area tersebut tidak direkomendasikan untuk ditinggali.
Namun, warga tetap enggan untuk pindah atau direlokasi. Sampai akhirnya pada 2018, kasus pergerakan tanah kembali terjadi dan memperparah dampak kerusakan di lokasi yang sama.
Terakhir, kondisi tanah gerak memburuk sepekan lalu seiring hujan dengan curah tinggi selama beberapa jam, sehingga tanah di area yang sama bergerak lagi dan menyebabkan beberapa rumah ambruk. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2019