Trenggalek (Antaranews Jatim) - Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengingatkan komunitas nelayan di kawasan pesisir Pelabuhan Prigi, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur, agar tidak berburu benur (benih lobster), apalagi dengan cara memasang rumpon di sekitar lepas pantai.
"Yang bijaksana kita mengambilnya (menangkap ikannya). Jangan 'agregate' (bersifat agresi). (Ada) yang pakai kompresor, pakai potas, pakai bom. Ada lagi agregate yang tampaknya tidak agregatif, yaitu pakai lampu-lampu itu untuk mengambil benur-benur lobster," ucap Menteri Susi saat berdialog dengan komunitas nelayan di pesisir Pantai Karanggongso, Trenggalek, Senin.
Ia gugah nalar nelayan dengan berasumsi, jika benur atau benih lobster ditangkapi secara masif, maka ke depan tidak akan pernah ada lobster besar.
"Ibu ini percaya, kalau pak Bupati bodoh masalah laut itu karena dia memang tidak pernah ke laut. Tidak dibesarkan di laut. Tetapi jika nelayan lebih bodoh dari orang darat (pedagang), itu sungguh keterlaluan," ujarnya blak-blakan dengan bahasa daerah/lokal.
Tak jarang Menteri Susi menyebut nelayan tradisional terlalu mudah dibodohi.
"Nek bibit dijupuk lah sing gede nendi? (kalau bibit udang diambil terus yang besar dimana?). Apa lobster yang besar itu datangnya dari buih-buih busa-busa ombak itu ta pak. Kan semua berasal dari bayi. Bayi gede, terus diambil besarnya," kata Susi.
Ia lalu bercerita kenangan saat dulu masih aktif kerja (menjadi pengusaha) udang lobster, bisa mendapat suplai dari Trenggalek, Pacitan hingga satu ton sehari. Dan produk lobster yang didapat ukurannya selalu besar-besar, jauh dibanding sekarang.
"Padahal dulu harganya masih murah, kisaran Rp200 ribu per kilogram. Sekarang sudah berlipat empat kali. Mutiara yang delapan ons sudah Rp4 juta. Paling murah Rp2,5 juta. Tapi karena 'sampeyan bodho' (kalian bodoh), dijual Rp100 ribu, Rp30 ribu. 'Lak bodho temenan tho' (kan bodoh sekali kan)," cetusnya disambut riuh para nelayan yang hadir.
Padahal bandar yang beli (pedagang) dapat harga sampai Rp150 ribu per kilogram. "Guobloke pol (bodohnya maksimal)," ujarnya.
Harusnya, kata Susi, nelayan mau lebih bersabar menunggu lobster-lobster dan mutiara yang ada tumbuh menjadi lebih besar. Kendati menunggu waktu agak lama, namun pedapatan yang diperoleh bisa jauh berlipat.
"Kan nelayan hidupnya tidak hanya dari lobster. Ada tangkapan ikan dan lainnya. Biasanya musim lobster kan ada di bulan September-Oktober kan, saat musim hujan. Tapi, ini sudah dipanen di Mei-Juni, ya habis lah. Lain waktu tidak akan ada beranak-pinak lagi," ujarnya.
Menteri Susi menegaskan tidak gentar dibenci dan diprotes sebagian orang yang tidak suka. Dia yakin membikin aturan untuk kebaikan pata nelayan. Tidak hanya ditujukan pada nelayan dan pedagang besar, namun juga berlaku bagi dirinya sendiri.
"Saya buat larangan memang buat saya, tidak. Orang saya sudah tidak kerja. Ini untuk anda semua, anak kalian, cucu kalian, buyut kalian," ujarnya.
Ia menegaskan apa yang dia lakukan hanya ingin amanah. Sudah diberi kuasa, kepercayaan dan kehormatan, maka harus dijalankan dengan benar.
"Ibu buat aturan yang bisa memakmurkan rakyat. Ibu diancam, ibu diapa, karena menenggelamkan kapal. Tidak peduli. Saya ini kerja untuk negara. Lillahita'alla. Masak Tuhan tidak melindungi," ujarnya.
Oleh karena itu, Menteri Susi berulang kali berpesan dan mengajak para nelayan, tidak hanya di pesisir Trenggalek, tetapi juga di kawasan pesisir lain di Jatim dan seluruh Indonesia untuk memiliki kesadaran dalam menjaga keberlanjutan ekosistem laut.
Tak hanya soal penangkapan benur secara besar-besaran menggunakan rumpon yang kini masif dilakukan nelayan di kawasan pesisir selatan Jatim, namun ia juga menegaskan pentingnya penegakan aturan soal larangan penggunakan jaring cantrang yang memiliki serat kecil dan berpotensi menjaring ikan-ikan kecil, seperti baby tuna dan sebagainya.
Ia juga menegaskan bakal melarang penggunaan segala jenis rumpon di sekitar perairan pantai maupun laut lepas, karena berpotensi menangkap ikan-ikan kecil seperti halnya baby tuna dan sejenisnya.
Menteri Susi tak hanya bertemu nelayan, tapi juga melakukan rangkaian kerja di kawasan pesisir Prigi untuk mendorong pengembangan kawasan ekonomi kemaritiman di salah satu pesisir selatan Jatim yang disebutnya potensial tersebut. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2019
"Yang bijaksana kita mengambilnya (menangkap ikannya). Jangan 'agregate' (bersifat agresi). (Ada) yang pakai kompresor, pakai potas, pakai bom. Ada lagi agregate yang tampaknya tidak agregatif, yaitu pakai lampu-lampu itu untuk mengambil benur-benur lobster," ucap Menteri Susi saat berdialog dengan komunitas nelayan di pesisir Pantai Karanggongso, Trenggalek, Senin.
Ia gugah nalar nelayan dengan berasumsi, jika benur atau benih lobster ditangkapi secara masif, maka ke depan tidak akan pernah ada lobster besar.
"Ibu ini percaya, kalau pak Bupati bodoh masalah laut itu karena dia memang tidak pernah ke laut. Tidak dibesarkan di laut. Tetapi jika nelayan lebih bodoh dari orang darat (pedagang), itu sungguh keterlaluan," ujarnya blak-blakan dengan bahasa daerah/lokal.
Tak jarang Menteri Susi menyebut nelayan tradisional terlalu mudah dibodohi.
"Nek bibit dijupuk lah sing gede nendi? (kalau bibit udang diambil terus yang besar dimana?). Apa lobster yang besar itu datangnya dari buih-buih busa-busa ombak itu ta pak. Kan semua berasal dari bayi. Bayi gede, terus diambil besarnya," kata Susi.
Ia lalu bercerita kenangan saat dulu masih aktif kerja (menjadi pengusaha) udang lobster, bisa mendapat suplai dari Trenggalek, Pacitan hingga satu ton sehari. Dan produk lobster yang didapat ukurannya selalu besar-besar, jauh dibanding sekarang.
"Padahal dulu harganya masih murah, kisaran Rp200 ribu per kilogram. Sekarang sudah berlipat empat kali. Mutiara yang delapan ons sudah Rp4 juta. Paling murah Rp2,5 juta. Tapi karena 'sampeyan bodho' (kalian bodoh), dijual Rp100 ribu, Rp30 ribu. 'Lak bodho temenan tho' (kan bodoh sekali kan)," cetusnya disambut riuh para nelayan yang hadir.
Padahal bandar yang beli (pedagang) dapat harga sampai Rp150 ribu per kilogram. "Guobloke pol (bodohnya maksimal)," ujarnya.
Harusnya, kata Susi, nelayan mau lebih bersabar menunggu lobster-lobster dan mutiara yang ada tumbuh menjadi lebih besar. Kendati menunggu waktu agak lama, namun pedapatan yang diperoleh bisa jauh berlipat.
"Kan nelayan hidupnya tidak hanya dari lobster. Ada tangkapan ikan dan lainnya. Biasanya musim lobster kan ada di bulan September-Oktober kan, saat musim hujan. Tapi, ini sudah dipanen di Mei-Juni, ya habis lah. Lain waktu tidak akan ada beranak-pinak lagi," ujarnya.
Menteri Susi menegaskan tidak gentar dibenci dan diprotes sebagian orang yang tidak suka. Dia yakin membikin aturan untuk kebaikan pata nelayan. Tidak hanya ditujukan pada nelayan dan pedagang besar, namun juga berlaku bagi dirinya sendiri.
"Saya buat larangan memang buat saya, tidak. Orang saya sudah tidak kerja. Ini untuk anda semua, anak kalian, cucu kalian, buyut kalian," ujarnya.
Ia menegaskan apa yang dia lakukan hanya ingin amanah. Sudah diberi kuasa, kepercayaan dan kehormatan, maka harus dijalankan dengan benar.
"Ibu buat aturan yang bisa memakmurkan rakyat. Ibu diancam, ibu diapa, karena menenggelamkan kapal. Tidak peduli. Saya ini kerja untuk negara. Lillahita'alla. Masak Tuhan tidak melindungi," ujarnya.
Oleh karena itu, Menteri Susi berulang kali berpesan dan mengajak para nelayan, tidak hanya di pesisir Trenggalek, tetapi juga di kawasan pesisir lain di Jatim dan seluruh Indonesia untuk memiliki kesadaran dalam menjaga keberlanjutan ekosistem laut.
Tak hanya soal penangkapan benur secara besar-besaran menggunakan rumpon yang kini masif dilakukan nelayan di kawasan pesisir selatan Jatim, namun ia juga menegaskan pentingnya penegakan aturan soal larangan penggunakan jaring cantrang yang memiliki serat kecil dan berpotensi menjaring ikan-ikan kecil, seperti baby tuna dan sebagainya.
Ia juga menegaskan bakal melarang penggunaan segala jenis rumpon di sekitar perairan pantai maupun laut lepas, karena berpotensi menangkap ikan-ikan kecil seperti halnya baby tuna dan sejenisnya.
Menteri Susi tak hanya bertemu nelayan, tapi juga melakukan rangkaian kerja di kawasan pesisir Prigi untuk mendorong pengembangan kawasan ekonomi kemaritiman di salah satu pesisir selatan Jatim yang disebutnya potensial tersebut. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2019