Surabaya (Antaranews Jatim) - Dewan Pers mendorong para pejabat atau instansi-instansi di pemerintahan agar memberi ruang yang lebih terbuka bagi wartawan demi memudahkan komunikasi, khususnya dalam rangka menangkal maraknya berita bohong atau hoaks di media sosial.
Ketua Dewan Pers Yosep Stanley Adi Prasetyo menilai literasi masyarakat Indonesia masih rendah sehingga mayoritas belum tahu cara menggunakan media sosial dengan semestinya, yang sebenarnya dapat memaslahatkan banyak orang.
"Media sosial oleh masyarakat Indonesia masih digunakan untuk hal-hal yang negatif sehingga banyak orang menjadi korbannya," katanya kepada wartawan usai menjadi pembicara kegiatan dialog bertajuk Santun Bermedia 2019, Menyongsong Pesta Demokrasi dengan Bermartabat di Kampus Universitas Airlangga Surabaya, Selasa.
Stanley bahkan menyesalkan banyak pejabat yang justru terpancing dan ikut mengomentari hoaks yang berkembang di media sosial.
Menurut dia, para pejabat mestinya mengakrabkan diri dengan wartawan agar lebih mudah menjalin komunikasi, khususnya untuk menangkal hoaks yang berkembang di media sosial.
"Biarlah media sosial itu berada di dunianya sendiri yang kita di Indonesia belum punya pengawasnya. Kita cuma punya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang penegak hukumnya adalah Kepolisian Republik Indonesia," ucapnya.
Stanley masih percaya berita-berita bohong yang belakangan kian berkembang pesat di media sosial bisa ditangkal dengan memperkuat jurnalisme.
"Teman-teman wartawan kami dorong untuk memperkuat jurnalisme, yaitu menyampaikan informasi dengan menghadirkan fakta. Santun bermedia itu sebenarnya hanyalah ungkapan semata. Sesungguhnya bahasa jurnalistik boleh keras. Kritik di media massa boleh tidak santun, tapi yang paling esensi adalah harus faktual," tuturnya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2019
Ketua Dewan Pers Yosep Stanley Adi Prasetyo menilai literasi masyarakat Indonesia masih rendah sehingga mayoritas belum tahu cara menggunakan media sosial dengan semestinya, yang sebenarnya dapat memaslahatkan banyak orang.
"Media sosial oleh masyarakat Indonesia masih digunakan untuk hal-hal yang negatif sehingga banyak orang menjadi korbannya," katanya kepada wartawan usai menjadi pembicara kegiatan dialog bertajuk Santun Bermedia 2019, Menyongsong Pesta Demokrasi dengan Bermartabat di Kampus Universitas Airlangga Surabaya, Selasa.
Stanley bahkan menyesalkan banyak pejabat yang justru terpancing dan ikut mengomentari hoaks yang berkembang di media sosial.
Menurut dia, para pejabat mestinya mengakrabkan diri dengan wartawan agar lebih mudah menjalin komunikasi, khususnya untuk menangkal hoaks yang berkembang di media sosial.
"Biarlah media sosial itu berada di dunianya sendiri yang kita di Indonesia belum punya pengawasnya. Kita cuma punya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang penegak hukumnya adalah Kepolisian Republik Indonesia," ucapnya.
Stanley masih percaya berita-berita bohong yang belakangan kian berkembang pesat di media sosial bisa ditangkal dengan memperkuat jurnalisme.
"Teman-teman wartawan kami dorong untuk memperkuat jurnalisme, yaitu menyampaikan informasi dengan menghadirkan fakta. Santun bermedia itu sebenarnya hanyalah ungkapan semata. Sesungguhnya bahasa jurnalistik boleh keras. Kritik di media massa boleh tidak santun, tapi yang paling esensi adalah harus faktual," tuturnya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2019