Surabaya (Antaranews Jatim) - Lembaga Perlindungan Anak mencatat tingkat kekerasan terhadap anak di Kota Surabaya paling tinggi selama 2018 jika dibandingkan dengan 36 kota/kabupaten di Jawa Timur.
"Memang terjadi penurunan sekitar 10 persen kasus kekerasan terhadap anak di Jatim tahun 2018. Tapi untuk Kota Surabaya masih tinggi," kata Sekretaris Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Timur Isa Ansori melalui pers rilisnya di Surabaya, Rabu.
Menurut dia, ada 10 dari 38 kabupaten/kota di Jatim yang tingkat kekerangan terhadap anak masih tinggi. Adapun 10 kabupaten/kota tersebut meliputi Surabaya sebanyak 132 kasus, Mojokerto 25, Jombang 20, Gresik 20, Malang, 17, Blitar 12, Sidoarjo 12, Pasuruan 11, Bangkalan 8 dan Lamongan 8 kasus.
Adapun lokus kejadiannya tersebar dibeberapa tempat di antaranya rumah 130 kali,
jalanan 58 kali, tidak disebutkan 52 kali, lahan kosong 43 kali dan sekolah sebanyak 27 kali.
Secara umum, lanjut dia, LPA Jatim mencatat terjadi penurunan kekerasan terhadap anak secara keseluruhan di Jawa Timur yakni pada 2017 yang melapor langsung berjumlah 159, namun pada 2018 menurun menjadi 131 atau sekitar 10 persen dari tahun sebelumnya.
"Sedangkan yang dihimpun dari media massa, pada 2017 ada sekitar 390 kejadian, sedangkan 2018 ada sekitar 333, terjadi penurunan sekitar 20 persen," katanya.
Berdasarkan data yang dihimpun oleh LPA Jatim berkaitan dengan terjadinya tindak kekerasan terhadap anak di Jawa Timur, LPA membaginya menjadi dua data masukan, yang pertama yang melapor langsung dan yang kedua yang dihimpun dari media massa di Jatim baik yang cetak maupun daring.
Selain itu, lanjut dia, dari tinjuan pelaku dan korban, pada 2017 yang terkategori pelaku meski mereka juga adalah korban sebanyak 570 anak dan sebagai korban langsung sebanyak 466 anak. Pada 2018 jumlah korban pelaku sebanyak 503 anak dan sebagai korban langsung 471 anak.
Ditinjau dari jenis kekerasan, lanjut dia, pada 2017 kekerasan seksual, yang melapor langsung ke LPA sebanyak 18 pada 2017, 22 pada 2018. Sedang dihimpun dari media massa terdapat sebanyak 151 tahun 2017, pada 2018 terdapat 121.
Kasus anak yang berhadapan dengan hukum (ABH), yang melapor langsung ke LPA Jatim sebanyak 14 kasus pada 2107, dan 5 kasus pada 2018. "Kasus pendidikan yang melapor langsung pada 2017 sebanyak 21 dan 5 pada 2018," katanya.
Begitu juga pada kasus penggunaan psikotrapika terjadi peningkatan sekitar 400 persen, pada 2017 tidak ada laporan, sedangkan pada 2018 ada laporan sekitar 40 anak penyalahgunaan zat psikotrapika.
Dari hasil catatan diatas, LBH Jatim menyimpulkan bahwa memang terjadi penurunan sekitar 10 persen kasus kekerasan terhadap anak di Jatim, tetapi yang perlu diperhatikan angka pengguna zat adiktif psikotrapika meningkat 400 persen.
"Sehingga diperlukan upaya yang lebih ekstra dalam pencegahan penggunaan zat tersebut terhadap anak," katanya.
Disamping itu juga bisa diambil kesimpulan bahwa masih terjadi kekerasan terhadap sebanyak 1 kali setiap 1,5 hari di 2018 ini. Selain itu juga tergambar Surabaya menjadi penyumbang terbanyak kejadian kekerasan terhadap anak di Jawa Timur sekitar 35 persen. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018
"Memang terjadi penurunan sekitar 10 persen kasus kekerasan terhadap anak di Jatim tahun 2018. Tapi untuk Kota Surabaya masih tinggi," kata Sekretaris Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Timur Isa Ansori melalui pers rilisnya di Surabaya, Rabu.
Menurut dia, ada 10 dari 38 kabupaten/kota di Jatim yang tingkat kekerangan terhadap anak masih tinggi. Adapun 10 kabupaten/kota tersebut meliputi Surabaya sebanyak 132 kasus, Mojokerto 25, Jombang 20, Gresik 20, Malang, 17, Blitar 12, Sidoarjo 12, Pasuruan 11, Bangkalan 8 dan Lamongan 8 kasus.
Adapun lokus kejadiannya tersebar dibeberapa tempat di antaranya rumah 130 kali,
jalanan 58 kali, tidak disebutkan 52 kali, lahan kosong 43 kali dan sekolah sebanyak 27 kali.
Secara umum, lanjut dia, LPA Jatim mencatat terjadi penurunan kekerasan terhadap anak secara keseluruhan di Jawa Timur yakni pada 2017 yang melapor langsung berjumlah 159, namun pada 2018 menurun menjadi 131 atau sekitar 10 persen dari tahun sebelumnya.
"Sedangkan yang dihimpun dari media massa, pada 2017 ada sekitar 390 kejadian, sedangkan 2018 ada sekitar 333, terjadi penurunan sekitar 20 persen," katanya.
Berdasarkan data yang dihimpun oleh LPA Jatim berkaitan dengan terjadinya tindak kekerasan terhadap anak di Jawa Timur, LPA membaginya menjadi dua data masukan, yang pertama yang melapor langsung dan yang kedua yang dihimpun dari media massa di Jatim baik yang cetak maupun daring.
Selain itu, lanjut dia, dari tinjuan pelaku dan korban, pada 2017 yang terkategori pelaku meski mereka juga adalah korban sebanyak 570 anak dan sebagai korban langsung sebanyak 466 anak. Pada 2018 jumlah korban pelaku sebanyak 503 anak dan sebagai korban langsung 471 anak.
Ditinjau dari jenis kekerasan, lanjut dia, pada 2017 kekerasan seksual, yang melapor langsung ke LPA sebanyak 18 pada 2017, 22 pada 2018. Sedang dihimpun dari media massa terdapat sebanyak 151 tahun 2017, pada 2018 terdapat 121.
Kasus anak yang berhadapan dengan hukum (ABH), yang melapor langsung ke LPA Jatim sebanyak 14 kasus pada 2107, dan 5 kasus pada 2018. "Kasus pendidikan yang melapor langsung pada 2017 sebanyak 21 dan 5 pada 2018," katanya.
Begitu juga pada kasus penggunaan psikotrapika terjadi peningkatan sekitar 400 persen, pada 2017 tidak ada laporan, sedangkan pada 2018 ada laporan sekitar 40 anak penyalahgunaan zat psikotrapika.
Dari hasil catatan diatas, LBH Jatim menyimpulkan bahwa memang terjadi penurunan sekitar 10 persen kasus kekerasan terhadap anak di Jatim, tetapi yang perlu diperhatikan angka pengguna zat adiktif psikotrapika meningkat 400 persen.
"Sehingga diperlukan upaya yang lebih ekstra dalam pencegahan penggunaan zat tersebut terhadap anak," katanya.
Disamping itu juga bisa diambil kesimpulan bahwa masih terjadi kekerasan terhadap sebanyak 1 kali setiap 1,5 hari di 2018 ini. Selain itu juga tergambar Surabaya menjadi penyumbang terbanyak kejadian kekerasan terhadap anak di Jawa Timur sekitar 35 persen. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018