Pamekasan (Antaranews Jatim) - Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI) Madura, Jawa Timur, meminta jurnalis tidak merekayasa fakta kejadian, terkait kasus dugaan pencabulan yang dilakukan oknum guru agama di salah satu SD di Kelurahan Lawangan Daja, Pamekasan.
"Sebab berdasarkan hasil investigasi yang kami lakukan, ada dua fakta bohong yang tersaji dalam pemberitaan media massa dalam kasus dugaan pencabulan itu," kata Ketua DPC APSI Madura Sulaisi Abdurrazaq kepada Antara di Pamekasan, Selasa.
Pertama, pemberitaan tentang pencabulan disampaikan dalam narasi berita di sebagian media, saat setoran hafalan surat-surat pendek Al Quran di rumah guru agama yang menjadi terduga dalam kasus itu.
"Padahal fakta yang kami temui, tidak seperti itu. Sebab, setiap setoran hafalan ayat-ayat pendek Al Quran itu, selalu dilakukan dengan cara beramai-ramai," ujar Sulaisi.
Kebohongan kedua, menurut dia, tentang pemberitaan yang menyebutkan bahwa murid yang menjadi korban pencabulan terpaksa dilarikan ke rumah sakit dan pingsan.
Dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Madura ini menyatakan, hasil investigasi yang dilakukan dirinya bersama tim dalam beberapa hari terakhir ini, tidak ditemukan ada siswa yang pingsan dan dilarikan ke rumah sakit karena dicabuli oleh oknum guru tersebut.
Mantan Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Pamekasan ini menilai, dua fakta bohong yang tersaji dalam pemberitaan media massa dalam beberapa hari terakhir ini telah mengarahkan pemikiran pembaca bahwa kejadiannya sangat sadis. "Padahal kedua fakta itu tidak ada dan tidak kami temukan," kata Sulaisi.
Dengan demikian, sambung penulis buku "Membaca Ulang Demokrasi Kita" ini, opini publik yang terbangun dari pemberitaan kejadian yang masih dugaan tersebut, melebihi yang sebenarnya terjadi.
"Faktor keberpihakan, rutinitas media, ideologi jurnlis dan perusahaan, serta faktor ektra media, memang ikut menentukan dalam mengarahkan berita. Tapi, saya kira harus tetap mengacu kepada fakta yang sesungguhnya, bukan dengan melakukan merekayasa," katanya, menjelaskan.
Dalam berita disebutkan bahwa ada oknum guru agama di salah SD Negeri di Kelurahan Lawangan Daja, Kecamatan Pademawu, Pamekasan, Madura telah melakukan pencabulan terhadap sembilan orang muridnya.
Pelaku berinisial IK, dan korban masing-masing berisial IR, AM, FR, AZ, AL, NS, RS, AR, dan NF.
Atas pemberitaan di sejumlah media itu, akademisi yang juga pegiat masalah-masalah sosial ini merasa terpanggil untuk melakukan investigasi, karena korbannya merupakan anak di bawah umur. Apalagi yang bersangkutan juga merupakan anggota Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2TP3A) Pemkab Pamekasan.
"Penelitian lapangan ini kami lakukan, atas panggilan nurani, karena selain di APSI, saya juga menjadi mitra di P2TP3A Pamekasan. Predator anak, harus diperangi, jika itu memang terjadi," katanya.
Namun demikian, APSI Madura tetap menyarankan kepada orang tua siswa itu agar kasus itu sebaiknya diproses secara hukum di Mapolres Pamekasan saja, apabila memang memiliki bukti yang cukup. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018
"Sebab berdasarkan hasil investigasi yang kami lakukan, ada dua fakta bohong yang tersaji dalam pemberitaan media massa dalam kasus dugaan pencabulan itu," kata Ketua DPC APSI Madura Sulaisi Abdurrazaq kepada Antara di Pamekasan, Selasa.
Pertama, pemberitaan tentang pencabulan disampaikan dalam narasi berita di sebagian media, saat setoran hafalan surat-surat pendek Al Quran di rumah guru agama yang menjadi terduga dalam kasus itu.
"Padahal fakta yang kami temui, tidak seperti itu. Sebab, setiap setoran hafalan ayat-ayat pendek Al Quran itu, selalu dilakukan dengan cara beramai-ramai," ujar Sulaisi.
Kebohongan kedua, menurut dia, tentang pemberitaan yang menyebutkan bahwa murid yang menjadi korban pencabulan terpaksa dilarikan ke rumah sakit dan pingsan.
Dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Madura ini menyatakan, hasil investigasi yang dilakukan dirinya bersama tim dalam beberapa hari terakhir ini, tidak ditemukan ada siswa yang pingsan dan dilarikan ke rumah sakit karena dicabuli oleh oknum guru tersebut.
Mantan Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Pamekasan ini menilai, dua fakta bohong yang tersaji dalam pemberitaan media massa dalam beberapa hari terakhir ini telah mengarahkan pemikiran pembaca bahwa kejadiannya sangat sadis. "Padahal kedua fakta itu tidak ada dan tidak kami temukan," kata Sulaisi.
Dengan demikian, sambung penulis buku "Membaca Ulang Demokrasi Kita" ini, opini publik yang terbangun dari pemberitaan kejadian yang masih dugaan tersebut, melebihi yang sebenarnya terjadi.
"Faktor keberpihakan, rutinitas media, ideologi jurnlis dan perusahaan, serta faktor ektra media, memang ikut menentukan dalam mengarahkan berita. Tapi, saya kira harus tetap mengacu kepada fakta yang sesungguhnya, bukan dengan melakukan merekayasa," katanya, menjelaskan.
Dalam berita disebutkan bahwa ada oknum guru agama di salah SD Negeri di Kelurahan Lawangan Daja, Kecamatan Pademawu, Pamekasan, Madura telah melakukan pencabulan terhadap sembilan orang muridnya.
Pelaku berinisial IK, dan korban masing-masing berisial IR, AM, FR, AZ, AL, NS, RS, AR, dan NF.
Atas pemberitaan di sejumlah media itu, akademisi yang juga pegiat masalah-masalah sosial ini merasa terpanggil untuk melakukan investigasi, karena korbannya merupakan anak di bawah umur. Apalagi yang bersangkutan juga merupakan anggota Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2TP3A) Pemkab Pamekasan.
"Penelitian lapangan ini kami lakukan, atas panggilan nurani, karena selain di APSI, saya juga menjadi mitra di P2TP3A Pamekasan. Predator anak, harus diperangi, jika itu memang terjadi," katanya.
Namun demikian, APSI Madura tetap menyarankan kepada orang tua siswa itu agar kasus itu sebaiknya diproses secara hukum di Mapolres Pamekasan saja, apabila memang memiliki bukti yang cukup. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018