Tulungagung (Antaranews Jatim) - Seorang warga yang mengaku orangtua dari Wildan (12), siswa MTs yang mengalami kelumpuhan kaki total setelah imunisasi measles and rubella, melakukan aksi jalan kaki dari Tulungagung hingga Kediri, Selasa, untuk memprotes dugaan malapraktik yang dialami putranya.

Suyanto (58), nama pria asal Desa Sumberejo Kulon, Kecamatan Ngunut, Tulungagung, Jawa Timur, itu memulai aksinya sendirian dari perempatan rumah sakit lama di Jalan Raya Sudirman, Kota Tulungagung, menuju Kota Kediri.

Sambil membawa dua poster bertuliskan Anakku Korban Rubella dan Menuntut Keadilan Untuk Anakku Wildan yang dikalungkan di badan bagian depan dan belakang, Suyanto terus berjalan menyusuri ruas jalan raya menuju arah Kediri.

Aksi Suyanto menarik perhatian para pengguna jalan yang pagi itu mulai memadati jalan provinsi yang ada di tepian jantung Kota Tulungagung.

"Saya ingin menuntut keadilan untuk anakku yang saat ini mengalami kelumpuhan kaki total pascaimunisasi MR (measles and rubella) oleh petugas Dinkes Kediri di sekolahnya, MTS Lirboyo, Kediri," kata Suyanto dengan mata berkaca-kaca.

Saat memulai cerita tentang anaknya yang kini menjalani rawat inap di RSUD Saiful Anwar Kota Malang, Suyanto masih terlihat tegar.

Namun, begitu dia mengisahkan kondisi putra bungsunya yang lumpuh total dan sempat dikabarkan meninggal dunia dalam perawatan di RSSA Kota Malang, Suyanto mulai menangis sesenggukan.

"Dia sebelumnya memang sempat sakit gejala tipus dan izin tidak masuk pondok pesantren dan sekolah. Dia akhirnya kembali ke Kediri (masuk Ponpes Lirboyo dan mengikuti kegiatan belajar-mengajar di MTS Lirboyo) itu belum pulih betul saat petugas dari puskesmas melakukan kegiatan imunisasi MR massal di sekolah anak saya itu," tutur Suyanto.

Malangnya, hanya selang beberapa jam setelah penyuntikan vaksin MR pada Rabu (24/10), Wildan mengeluhkan kakinya mulai lemas. Kondisi itu semakin memburuk dan Wildan tak bisa jalan lagi.

"Pagi diimunisasi, sore hari kakinya sudah lemas," tuturnya.

Suyanto masih berharap Wildan bisa dipulihkan seperti semula. Ia upayakan pengobatan medis, mulai dari RS di Kediri, ke RSUD dr Iskak Tulungagung, hingga sekarang dirawat di RSUD Saiful Anwar yang memiliki kelengkapan sarana medis dan dokter ahli mumpuni.

"Saya hanya ingin meminta pertanggungjawaban dari dinas kesehatan, karena saat dilakukan vaksin itu tidak ada konfirmasi atau persetujuan dari wali/orangtua siswa," ujarnya.

Beban pikiran yang kini dirasakan Suyanto adalah biaya pengobatan Wildan selama menjalani rawat inap di rumah sakit.

Dokter yang menangani Wildan menjelaskan, santri Ponpes Lirboyo asal Tulungagung ini menderita guillain-barre syndrome (GBS), yakni kondisi gangguan kekebalan tubuh yang menyerang sistem syaraf.

Wildan membutuhkan pengobatan plasmapheresis sebanyak lima kali dengan total biaya yang dibutuhkan mencapai Rp120 juta.

Namun, BPJS Kesehatan menyatakan hanya menanggung biaya pengobatan awal.

"Itu yang saya merasa keberatan. Saya tidak sanggup menanggung biaya sebesar itu," ujarnya.

Namun, jika kondisinya tidak berubah, Suyanto masih memikirkan alternatif menempuh jalur hukum.

Sebelum imunisasi, pada Jumat (19/10), Wildan sempat pulang dari pondok pesantren di Kediri karena sakit tifus. Setelah berobat, Wildan kembali ke pondok pesantren pada Selasa (22/10).

Keesokan harinya pada Rabu (23/10), ada imunisasi massal di sekolah Wildan. Meski baru sembuh dari sakit, Wildan langsung disuntik vaksin rubella tanpa izin orang tua.

Imunisasi yang dilakukan setelah sakit inilah yang dipertanyakan keluarga Wildan. (*)

Pewarta: Destyan H. Sujarwoko

Editor : Didik Kusbiantoro


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018