Jember (Antaranews Jatim) - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur mengecam pemberian izin usaha pertambangan eksplorasi emas di Kecamatan Silo, Kabupaten Jember melalui Keputusan Menteri ESDM No. 1802 K/30/MEM/2018 tentang Wilayah Izin Usaha Pertambangan dan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus Tahun 2018.
 
"Keputusan itu semakin menunjukkan ketiadaan komitmen perlindungan terhadap keselamatan rakyat, khususnya di pesisir selatan Jawa Timur," kata Direktur Eksekutif Walhi Jatim Rere Christanto dalam siaran pers yang diterima ANTARA di Kabupaten Jember, Jumat.

Menurutnya keputusan Menteri ESDM itu semakin memperpanjang daftar izin usaha pertambangan di wilayah pesisir selatan, setelah penetapan izin usaha pertambangan emas di kawasan Tumpang Pitu Banyuwangi dan Trenggalek.

"Rencana pertambangan emas di Kecamatan Silo, Kabupaten Jember telah lama mendapatkan penolakan oleh masyarakat, sehingga surat Kepala Dinas ESDM Provinsi Jawa Timur No. 545/981/119.2/2016 tertanggal 29 Februari 2016 perihal Usulan Penetapan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) Mineral Logam tentu saja menjadi pertanyaan besar," tuturnya.

Ia mengatakan kawasan selatan Jawa Timur telah lama menjadi kawasan budi daya, baik pertanian maupun perikanan tangkap, sehingga aktivitas pertambangan yang eksploitatif, rakus lahan dan rakus air akan menimbulkan gesekan dengan kebutuhan warga yang keberlanjutan dengan fungsi-fungsi alam sebagai syarat budi daya mereka.  

"Sebelumnya, konflik terkait aktivitas pertambangan di wilayah selatan Jawa Timur sudah berulang kali terjadi, mulai dari kawasan Tumpang Pitu di Banyuwangi, tambang emas di Trenggalek, Pantai Jolosutro di Blitar, Pantai Wonogoro di Kabupaten Malang, hingga kasus Salim Kancil di Lumajang," katanya.

Namun, munculnya konflik-konflik yang bahkan sampai menelan korban jiwa sama sekali tidak menjadi pelajaran bagi pemerintah untuk segera melakukan perubahan penataan kawasan, bahkan terus menerus memberikan izin usaha pertambangan di wilayah selatan Jawa Timur.

"Aktivitas pertambangan yang tidak mengindahkan keselamatan lingkungan telah lama menjadi momok mengerikan bagi masyarakat, selain menyebabkan eskalasi konflik lahan, pertambangan juga mengakibatkan peningkatan bencana ekologis, sehingga pemberian perizinan pertambangan terhadap wilayah yang mempunyai nilai penting secara ekologis seperti Kecamatan Silo itu tidak bisa terus dibiarkan," ujarnya.

Menurut catatan Walhi Jatim, lanjut dia, sejak awal 2017 hingga sekarang telah tercatat sedikitnya ada 482 kejadian bencana ekologis di seluruh Jawa Timur dan hal itu menunjukkan peningkatan dari catatan tahun 2016 yang hanya mencatat 386 kejadian bencana ekologis. 

Bencana ekologis adalah akumulasi krisis ekologis yang disebabkan oleh ketidakadilan lingkungan dan gagalnya sistem pengurusan alam. Banjir, tanah longsor, abrasi, dan kekeringan yang diakibatkan kerusakan lingkungan karena aktivitas manusia adalah bentuk-bentuk bencana ekologis yang mengancam kehidupan. 

"Dalam hal itu, bencana ekologis menunjukkan bahwa pemerintah seringkali gagal mematuhi regulasinya sendiri yang menyebabkan rusaknya fungsi-fungsi ekosistem," katanya.

Rere menjelaskan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional dan Jawa Timur juga telah menggarisbawahi bahwa kawasan selatan Jawa, termasuk Jawa Timur adalah kawasan rawan bencana, sehinga dengan mengacu pada kenyataan itu, penataan kawasan di pesisir selatan seharusnya ditujukan untuk meminimalisir dampak kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh bencana.

"Kawasan selatan Jawa selayaknya ditetapkan menjadi kawasan lindung dan konservasi demi mengantisipasi bencana yang mungkin timbul. Pelepasan wilayah-wilayah yang penting secara ekologis menjadi wilayah usaha pertambangan yang berpotensi merusak keseimbangan ekosistem kawasan adalah tindakan yang kontradiktif terhadap usaha menurunkan risiko bencana di Indonesia," ujarnya.

Untuk itu, lanjutnya, dibutuhkan langkah nyata Pemprov Jawa Timur dan segenap jajaran pemerintah daerah untuk menghasilkan kebijakan yang mampu mencegah munculnya konflik-konflik pertambangan di kawasan selatan Jawa Timur. 

"Pencabutan wilayah usaha pertambangan dari kawasan pesisir selatan, kemudian penetapan kawasan lindung dan konservasi menjadi syarat mutlak pemulihan kawasan dan menjadi bagian dari usaha besar penurunan resiko bencana ekologis serta penyelamatan ruang hidup rakyat," katanya.

Data yang dihimpun melalui Koordinasi-Supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi untuk Pertambangan Mineral dan Batubara menunjukkan bahwa per 29 Agustus 2016, jumlah izin usaha pertambangan (IUP) di Jawa Timur mengalami penurunan bila dibandingkan data Kementerian ESDM di tahun 2012 yaitu dari 378 IUP tahun 2012 menjadi 347 IUP di tahun 2016. 

Namun terdapat peningkatan signifikan terhadap luasan lahan pertambangan. Jika di tahun 2012 luas lahan pertambangan di Jawa Timur hanya 86.904 hektare, pada tahun 2016 tercatat luasan lahan pertambangan di Jawa Timur mencapai 551.649 hektare dan mengacu angka dalam dua dokumen itu maka kenaikan jumlah lahan pertambangan di Jawa Timur mencapai 535 persen hanya dalam jangka waktu 4 tahun saja.(*)

Pewarta: Zumrotun Solichah

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018