Surabaya (Antaranews Jatim) - Pendaftaran bakal Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden (Capres-Cawapres) RI pada Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2019 tinggal sebentar lagi yakni pada 4-10 Agustus 2018.
     
Namun demikian, semua pihak kini masih menanti aturan mengenai ambang batas pencalonan presiden oleh partai politik atau "presidential threshold"  yang digugat aktivis prodemokrasi dan perseorangan warga negara yang mengajukan uji materi terhadap Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK). 
     
Ini merupakan yang kedua kalinya gugatan terkait ambang batas pencalonan presiden diajukan ke MK.  Pada gugatan sebelumnya diajukan oleh Partai Idaman yang memandang Pasal 22 UU Pemilu dianggap kedaluwarsa karena menggunakan hasil Pileg 2014 sebagai ambang batas Pilpres 2019. 
     
Selain itu, pasal terebut juga dipandang tidak relevan karena Pileg dan Pilpres 2019 digelar bersamaan. Bahkan pasal tersebut juga dinilai diskriminatif karena menghalangi partai politik baru untuk mengajukan calon presiden.
     
Gugatan tersebut ditolak oleh MK yang menilai pasal tersebut tidaklah kedaluwarsa karena undang-undangnya baru saja disahkan oleh DPR tahun lalu sehingga dinilai masih relevan untuk memperkuat sistem presidensial,  serta  dianggap tidak diskriminatif karena tidak ada kaitannya dengan masalah suku, ras, agama, dan antar golongan (SARA).
     
Setelah MK menolak gugatan Partai Idaman, baru-baru ini muncul gugatan baru dari kalangan aktivis prodemokrasi dan perseorangan warga negara menggugat ketentuan mengenai ambang batas pencalonan presiden yang diatur dalam Pasal 222 UU/7 2017 ke MK pada 21 Juni 2018. 
     
Para pemohon untuk perkara ini adalah mantan ketua KPK Busyro Muqoddas, mantan menteri keuangan M. Chatib Basri, mantan pimpinan KPU Hadar Nafis Gumay, mantan pimpinan KPK Bambang Widjojanto, Direktur Pusako Universitas Andalas Feri Amsari, sutradara film Angga Dwimas Sasongko, Ketua Umum Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak, Direktur Perludem Titi Anggraini, Hasan Yahya, dan tiga orang akademisi. Tiga orang akademisi tersebut adalah Faisal Basri, Rocky Gerung, dan Robertus Robert.
     
Mereka memandang Pasal 222 dalam UU Pemilu, di mana dalam pasal tersebut adalah pengaturan tentang syarat pencalonan, jadi, bukan hanya mengatur tata cara yang sebetulnya diperintahkan oleh konstitusi. Ambang batas 25 persen berdasarkan Pasal 222 UU Pemilu telah menambahkan batasan baru yang tidak diatur dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
     
Tentunya hal ini bertentangan dengan norma Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang hanya mengatur parpol atau gabungan parpol peserta Pemilu sesuai perumusan norma tersebut. Berdasarkan Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945, tidak ada pembatasan ambang batas pencalonan presiden, apalagi berdasarkan jumlah kursi dan suara sah nasional pemilu DPR berdasarkan hasil pemilu lima tahun sebelumnya.
     
Selain itu, para pemohon berpendapat Pasal 222 UU Pemilu mendasarkan penghitungan ambang batas pencalonan presiden berdasarkan hasil pemilu DPR yang lima tahun sebelumnya, sehingga menghilangkan hak rakyat untuk memperbarui mandat lima tahunan.
     
Hingga saat ini, baru ada dua nama bakal capres yang secara resmi diusung oleh partai politik yakni Joko Widodo yang diusung Partai Golkar, Partai Nasdem, PPP, Partai Hanura, PDIP, PSI, serta Perindo dan Prabowo Subianto yang resmi dicalonkan oleh Partai Gerindra pada pertengahan April lalu.
     
Dari dua nama itu, baru Joko Widodo yang hampir bisa dipastikan memiliki tiket untuk didaftarkan sebagai calon presiden. Hal itu terkait dengan Pasal 222 Undang-undang nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang mensyaratkan dukungan 20 persen kursi DPR sebagai ambang batas pencalonan presiden.
     
Adapun Parpol peserta Pemilu 2014 yang mendeklarasikan Joko Widodo sebagai Capres saat ini mempunyai 52,21 persen kursi di DPR. Sedangkan Partai Gerindra, satu-satu Parpol yang sejauh ini mencalonkan Prabowo Subianto, hanya mempunyai 11,81 persen kursi di DPR.
     
Namun situasi dan kondisi seperti ini tentu masih bisa berubah karena ambang batas pencalonan presiden dalam UU Pemilu itu sekarang sedang dalam proses gugatan uji materi di MK. 
     
Tentu semua pihak berharap agar putusan atas uji materi tersebut bisa dihasilkan dengan segera mengingat masa pendaftaran bakal presiden dan wakil presiden tinggal beberapa hari saja. Putusan MK atas uji materi tersebut akan sangat memengaruhi kalkulasi partai politik dalam mengusung capres dan cawapres dalam Pilpres nanti.
     
Terlebih jika ambang batas pencalonan presiden itu diputuskan nol persen, peta politik Pilpres 2019 bisa saja berubah dari kondisi sekarang. Terbuka kemungkinan jumlah capres akan bertambah cukup signifikan. 
     
Jika ambang batas pencalonan presiden itu ditiadakan, seluruh partai politik peserta Pemilu 2019 yang berjumlah 16 parpol itu bisa mengajukan capresnya masing-masing.
     
Hingga saat ini di luar nama Joko Widodo Dan Prabowo Subianto, sejumlah Parpol sudah mengangkat wacana untuk mengusung calonnya masing-masing baik berasal dari kadernya sendiri maupun perseorangan di luar partainya seperti halnya Agus Harimurti Yudhoyono, Amien Rais, Gatot Nurmantyo, Anies Baswedan, Ahmad Heryawan, Zulkifli Hasan.
     
Meski begitu, penghapusan ambang batas pencalonan presiden memang tidak serta akan membuat jumlah capres menjadi sangat banyak. Ada sejumlah faktor yang bisa membuat tidak semua semua Parpol mau mengajukan capresnya masing-masing. 
     
Pencalonan presiden tidak sekadar adanya calon dan dukungan politik, tapi juga logistik alias biaya yang tidak kecil. Untuk urusan logistik ini, belum tentu semua parpol sanggup.
     
Sementara itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menyatakan siap melaksanakan apa pun putusan MK terkait gugatan ambang batas pencalonan Presiden-Wakil Presiden.
     
Meski demikian, KPU tidak mau berandai-andai, apakah apakah uji materi terkait ambang batas pemilihan presiden itu ditolak atau tidak oleh MK. Menurut Komisioner KPU RI Hasyim Asyari, selama UU belum berubah atau belum dibatalkan, maka UU tersebut sah dan berkekuatan hukum tetap sehingga menjadi pegangan KPU.
     
Ia mencontohkan kalau gigatan itu dikabulkan, maka situasional. Artinya apakah dalam putusan itu ada perintah dilaksanakan kapan yang bisa menjadi pertimbangan KPU dalam pendaftaran calon.
     
Kalau dalam amar putusan MK meminta KPU melaksanakannya dengan situasi apa pun, maka mau tidak mau harus disesuaikan. Begitu sebaliknya kalau putusan itu tidak untuk Pemilu 2019, melainkan untuk Pemilu 2024, maka situasinya berbeda sehingga saat ini KPU menunggu keluarnya Putusan MK.
     
Meski demikian apapun putusan MK atas uji materi ambang batas pencalonan presiden nanti, tantangannya ada di tangan partai politik. 
     
Masyarakat Indonesia yang menjadi pemilih tentu akan berharap Capres dan Cawapres dalam Pilpres nanti bukan semata-mata hadir mewakili Parpol, melainkan pemimpin yang siap menghadapi tantangan dan memiliki visi dan misi besar untuk membangun bangsa dan negara ini lebih baik.(*)

 

Pewarta: Abdul Hakim

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018