Jember (Antaranews Jatim) - Kabupaten Jember, Jawa Timur, memiliki 13 motif batik tulis yang semuanya bersumber dari kekayaan hayati Taman Nasional Meru Betiri yang diproduksi ibu-ibu di Desa Wonoasri yang merupakan desa penyangga hutan Taman Nasional Meru Betiri.
"Ada 13 motif batik yang telah kami buat yang idenya bersumber dari kekayaan flora Taman Nasional Meru Betiri seperti motif bunga raflesia, cabe jawa, dan blarak atau daun kelapa," kata Supmini Wardhani yang bertugas menjadi desainer dalam kelompok Kehati Meru Betiri yang merupakan kelompok pembatik yang pembentukannya difasilitasi oleh para peneliti Universitas Jember, Kamis.
Selain itu, lanjut dia, juga ada motif elang Jawa, sisik trenggiling, dan macan tutul mengambil dari fauna yang berada di kawasan Taman Nasional Meru Betiri, bahkan ada juga motif perpaduan antara flora dengan fauna yakni tawon raflesia.
Kelompok Kehati Meru Betiri beranggotakan 46 anggota yang telah mendapatkan pelatihan membatik selama 14 hari dengan bimbingan guru batik Soediono dari sanggar batik Godhong Mbako, Kabupaten Jember.
Motif batik tulis Meru Betiri tersebut lahir dari program pelatihan membatik yang menjadi salah satu sub program dalam program Mitigasi Bencana Berbasis Lahan yang diselenggarakan oleh Universitas Jember, dengan dukungan dana dari Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Bappenas, serta USAID.
"Semua batik diproses dengan pewarnaan alami tanpa bahan kimia. Untuk mendapatkan warna hitam kami menggunakan akar dan batang tanaman mangrove, warna merah dari daun jati, warna krem dari daun tumbuhan Putri Malu, dan pewarna alami lainnya diambil dari bahan alam yang tersedia di lingkungan sekitar kami," kata tutur Aris Rudiarso yang bertugas memberikan warna setelah kain batik selesai di canting.
Untuk mendapatkan pewarnaan yang maksimal, lanjut dia, selembar kain harus melewati proses pewarnaan minimal enam kali pencelupan dan setiap kali proses pewarnaan membutuhkan waktu sekitar 36 jam.
"Itu untuk satu warna saja dan proses makin lama jika dalam selembar kain batik ada dua warna atau bahkan lebih. Penggunaan pewarna alami inilah yang membuat batik produksi kami umumnya bernuansa warna pastel, tidak ada warna yang mencolok," tuturnya.
Sementara Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP2M) Universitas Jember Prof. Achmad Subagio menganjurkan para perajin batik tulis di Desa Wonoasri mulai memperhatikan manajemen rantai pasokan (supply chain management), agar produksi batik dapat berkelanjutan.
"Jangan sampai ketika permintaan batik tulis sudah melonjak justru tidak mampu melayani permintaan karena tentu saja akan mengecewakan konsumen," katanya.
Menurutnya harus ada pembagian tugas dan peran, sehingga tidak hanya fokus pada peran membatik saja, sehingga harus ada yang mengurusi bahan baku dari kain hingga lilin untuk membatik, ada yang bertugas mempersiapkan bahan pewarna alami hingga yang memasarkan produk.
"Termasuk mulai memikirkan diversifikasi produk seperti dompet batik, taplak batik dan sebagainya agar tidak hanya fokus pada batik tulis untuk pakaian saja. Kami di LP2M siap membantu kajian manajemen rantai pasokan, kreasi produk sampai pemasaran untuk produksi batik tulis di Desa Wonoasri, sehingga kami akan sediakan gerai untuk Kehati Meru Betiri saat Festival Tegalboto nanti," ujarnya.
Ketua Program Mitigasi Berbasis Lahan Universitas Jember yang juga Wakil Rektor II Universitas Jember Wachju Subchan menjelaskan pemberian pelatihan membatik kepada ibu-ibu di Desa Wonoasri bertujuan memberikan ketrampilan yang menjadi modal untuk mencari tambahan pemasukan sehingga kesejahteraan masyarakat desa penyangga hutan makin meningkat.
"Program Mitigasi Bencana Berbasis Lahan tidak hanya melakukan rehabilitasi hutan saja, tetapi juga memberikan berbagai keterampilan yang berbasis pada potensi desa seperti pembuatan jamu, budidaya semut rang-rang dan batik tulis itu. Harapannya dengan adanya pemasukan tambahan, maka tidak ada lagi perambahan hutan," tuturnya.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018
"Ada 13 motif batik yang telah kami buat yang idenya bersumber dari kekayaan flora Taman Nasional Meru Betiri seperti motif bunga raflesia, cabe jawa, dan blarak atau daun kelapa," kata Supmini Wardhani yang bertugas menjadi desainer dalam kelompok Kehati Meru Betiri yang merupakan kelompok pembatik yang pembentukannya difasilitasi oleh para peneliti Universitas Jember, Kamis.
Selain itu, lanjut dia, juga ada motif elang Jawa, sisik trenggiling, dan macan tutul mengambil dari fauna yang berada di kawasan Taman Nasional Meru Betiri, bahkan ada juga motif perpaduan antara flora dengan fauna yakni tawon raflesia.
Kelompok Kehati Meru Betiri beranggotakan 46 anggota yang telah mendapatkan pelatihan membatik selama 14 hari dengan bimbingan guru batik Soediono dari sanggar batik Godhong Mbako, Kabupaten Jember.
Motif batik tulis Meru Betiri tersebut lahir dari program pelatihan membatik yang menjadi salah satu sub program dalam program Mitigasi Bencana Berbasis Lahan yang diselenggarakan oleh Universitas Jember, dengan dukungan dana dari Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Bappenas, serta USAID.
"Semua batik diproses dengan pewarnaan alami tanpa bahan kimia. Untuk mendapatkan warna hitam kami menggunakan akar dan batang tanaman mangrove, warna merah dari daun jati, warna krem dari daun tumbuhan Putri Malu, dan pewarna alami lainnya diambil dari bahan alam yang tersedia di lingkungan sekitar kami," kata tutur Aris Rudiarso yang bertugas memberikan warna setelah kain batik selesai di canting.
Untuk mendapatkan pewarnaan yang maksimal, lanjut dia, selembar kain harus melewati proses pewarnaan minimal enam kali pencelupan dan setiap kali proses pewarnaan membutuhkan waktu sekitar 36 jam.
"Itu untuk satu warna saja dan proses makin lama jika dalam selembar kain batik ada dua warna atau bahkan lebih. Penggunaan pewarna alami inilah yang membuat batik produksi kami umumnya bernuansa warna pastel, tidak ada warna yang mencolok," tuturnya.
Sementara Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP2M) Universitas Jember Prof. Achmad Subagio menganjurkan para perajin batik tulis di Desa Wonoasri mulai memperhatikan manajemen rantai pasokan (supply chain management), agar produksi batik dapat berkelanjutan.
"Jangan sampai ketika permintaan batik tulis sudah melonjak justru tidak mampu melayani permintaan karena tentu saja akan mengecewakan konsumen," katanya.
Menurutnya harus ada pembagian tugas dan peran, sehingga tidak hanya fokus pada peran membatik saja, sehingga harus ada yang mengurusi bahan baku dari kain hingga lilin untuk membatik, ada yang bertugas mempersiapkan bahan pewarna alami hingga yang memasarkan produk.
"Termasuk mulai memikirkan diversifikasi produk seperti dompet batik, taplak batik dan sebagainya agar tidak hanya fokus pada batik tulis untuk pakaian saja. Kami di LP2M siap membantu kajian manajemen rantai pasokan, kreasi produk sampai pemasaran untuk produksi batik tulis di Desa Wonoasri, sehingga kami akan sediakan gerai untuk Kehati Meru Betiri saat Festival Tegalboto nanti," ujarnya.
Ketua Program Mitigasi Berbasis Lahan Universitas Jember yang juga Wakil Rektor II Universitas Jember Wachju Subchan menjelaskan pemberian pelatihan membatik kepada ibu-ibu di Desa Wonoasri bertujuan memberikan ketrampilan yang menjadi modal untuk mencari tambahan pemasukan sehingga kesejahteraan masyarakat desa penyangga hutan makin meningkat.
"Program Mitigasi Bencana Berbasis Lahan tidak hanya melakukan rehabilitasi hutan saja, tetapi juga memberikan berbagai keterampilan yang berbasis pada potensi desa seperti pembuatan jamu, budidaya semut rang-rang dan batik tulis itu. Harapannya dengan adanya pemasukan tambahan, maka tidak ada lagi perambahan hutan," tuturnya.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018