Bencana terjadi di sejumlah daerah di Jawa Timur pada awal tahun ini, baik tanah longsor, angin kencang hingga banjir yang memaksa banyak penduduk mengungsi. Peristiwa itu di antaranya terjadi di Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Jombang, Kabupaten Bojonegoro, Sampang serta beberapa daerah lainnya.

Sudah rutin setiap terjadi bencana maka Pemerintah melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) tingkat provinsi maupun kabupaten/kota menurunkan timnya ke lokasi.

Tak hanya membantu ketika suatu daerah sudah terjadi bencana, tapi sebelum maupun sesudah peristiwa juga dilakukan penanggulangan agar bagaimana masyarakat bisa mengantisipasi jika ada bencana yang datang.

Gubernur Jatim Soekarwo juga telah menyampaikan bahwa salah satu solusi permasalahan banjir di Bojonegoro adalah dengan membuat lima pintu air di Plangwot Sedayu Lawas yang dibuka untuk kemudian dibuang ke laut sehingga bisa mengalirkan air 1.000 meter kubik per detik ke laut.

Sama seperti penanganan agar Mojokerto dan Surabaya tidak banjir maka air Sungai Brantas  dibuang ke Sungai Porong melalui dam Mlirip. Pintu airnya harus dijaga terus karena bendungannya hanya satu di Gajah Mungkur, berbeda dengan Brantas yang memiliki tujuh bendungan.

Nah, di tahun 2018, yanga katanya tahun politik, bencana tetap bisa saja terjadi sewaktu-waktu. Bedanya, jika sebelumnya bentuk perhatian datang dari pemerintah maka saat ini mendapat kepedulian dari para calon orang-orang yang akan duduk di pemerintahan.

Pada 27 Juni 2018, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)Jatim  digelar. Pesertanya dua pasangan, yakni Khofifah Indar Parawansa-Emil Elistianto Dardak di nomor urut satu, kemudian Saifullah Yusuf (Gus Ipul)-Puti Guntur Soekarno di nomor urut dua. Per 15 Februari lalu, masa kampanye resmi dimulai hingga tiga hari menjelang hari H pencoblosan.

Lantas, apa hubungannya bencana dengan Pilkada? Tidak langsung memang, tapi tentu saja momentum bencana bisa "dimanfaatkan" oleh pasangan calon untuk meraih simpati masyarakat.

Politisasi bencana? Bisa saja disebut begitu. Tapi politisasi yang tidak dibuat-buat untuk mendapat suara semata, melainkan politisasi berupa komitmen dan janji terhadap penanganan bencana serta jaminan terhadap penduduk yang wilayahnya rawan dilanda bencana.

Politisasi tak selalu dikonotasikan tentang hal negatif, tapi terkang positif, asalkan demi kemaslahatan rakyat serta dilakukan dengan cara benar dan tak melanggar hukum apapun, apalagi hukum agama.

Tak harus bantuan seketika yang dibutuhkan, tapi lebih dari itu. Kedua pasangan calon harus mampu menunjukkan bahwa keduanya layak menjadi pemimpin dengan cara bagaimana perhatiannya terhadap bencana alam di Jatim.

Khofifah dan Gus Ipul haruslah memiliki program kerja yang nantinya diaplikasikan ketika duduk di kursi orang nomor satu di Pemprov Jatim. Tentu saja banyak cara yang akan dilakukan. Apalagi melihat rekam jejak keduanya terhadap kebencanaan.

Khofifah, meski tak sampai satu periode sebagai Menteri Sosial RI, selalu turun ke lapangan untuk mengecek dan meninjau langsung kondisi daerah pascabencana. Begitu juga dengan Gus Ipul yang selalu berada di lokasi bencana selama hampir dua periode menjadi Wakil Gubernur Jatim.

Tak jarang keduanya berada di satu lokasi yang sama, khususnya bencana yang terjadi di Jatim dan tak datang bersamaan. Ini yang membuat kita optismistis terhadap program penanganan bencana dari keduanya.

Biarkan keduanya saling beradu program, yang terpenting adalah masyarakat Jatim merasa aman dan ada jaminan bahwa bencana bisa ditanggulangi, termasuk cara menghadapinya.

Khofifah dan Gus Ipul tentu sudah memiliki rencana. Seperti pernah disampaikan Gus Ipul ketika mengunjungi korban banjir di Jombang, yang berkomitmen untuk menyelesaikan persoalannya jika terpilih dan dipercaya masyarakat Jatim menggantikan posisi Soekarwo yang habis masa jabatannya pada Februari 2019.

Bencana tak bisa dihalangi, tapi bisa diantisipasi. Bukan berpikir bagaimana menghentikan bencana, tapi berusaha bagaimana kita menghadapinya agar tak timbul banyak korban jiwa. Mulai langkah pra (sebelum), saat bencana, hingga pasca (setelah).

Kini, kita memang masih butuh janji, belum bukti. Namun, jika sudah terpilih dan duduk sebagai penguasa, baik Khofifah ataupun Gus Ipul, kita butuh bukti, tak lagi janji. (*)

Pewarta: Fiqih Arfani

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018