Malam itu, 1 Februari 2018, tiba-tiba menyebar kabar secara berantai di berbagai media sosial, seperti facebook, twitter, dan whatshapp yang mengabarkan bahwa seorang guru seni rupa di SMA Negeri 1 Torjun, Kabupaten Sampang, Madura, meninggal dunia.
Ahmadi Budi Cahyanto, demikian nama guru yang meninggal dunia di Rumah Sakit Dr Soetomo di Surabaya, asal Dusun Paleyang, Desa Tanggumong, Kecamatan Kota Sampang. Sang guru meninggal dunia, setelah dianiaya oleh siswanya sendiri berinisial HI saat yang bersangkutan menyampaikan materi pelajaran seni menggambar di depan ruang kelas XII.
Kabar tidak baik ini, menyebar sangat cepat. Maklum, tindakan melawan guru, apalagi memukul, bagi warga Madura, merupakan tindakan sangat tercela, sangat buruk, dan bahkan ada sebagian masyarakat yang menyebut "tidak beradap".
Apalagi posisi guru dalam adat tradisi dan budaya orang Madura, menempati urutan kedua, setelah kedua orang, yakni bapak/ibu. "Bhapa', bhabu' guru, rato/ bapak, ibu, guru dan raja atau pemimpin". Demikian masyarakat Madura menempatkan hirarki penghormatan kepada mereka.
Kedua orang tua, adalah orang pertama yang harus dihormati, dan guru menempati posisi kedua setelah kedua orang tua, baru yang ketiga adalah pemimpim. Dalam konteks ini, pemimpin bisa berupa pemimpin informal, seperti tokoh agama (ulama), tokoh masyarakat, kepala desa, bupati dan seterusnya.
Kasus penganiayaan oleh siswa HI terhadap gurunya sendiri Ahmad Budi Cahyanto hingga menyebabkan yang bersangkutan meninggal dunia, tentu merupakan tindakan di luar batas kewajaran dari sisi adat, dan budaya masyarakat Madura.
Sebab, pada umumnya, para orang tua di Madura, selalu memasrahkan anak-anaknya kepada para guru, apapun yang akan dilakukan. "Orang tua saya dulu, selalu berterima kasih kepada guru saya, apabila guru saya menghukum saya," kata Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Machfud MD saat bertakziah ke rumah almarhum guru Budi di Desa Tangkumong, Sampang.
Sikap pasrah dan kepercayaan masyarakat Madura kepada guru ini, bisa jadi sebagai bentuk pengejawantahan dari ajaran sahabat Nabi Muhammad SAW yakni Ali Bin Abi Tholib yang menyatakan bahwa, siapapun yang mengajari anda satu huruf saja, maka dia adalah gurumu.
Dengan demikian, dogma tentang hirarki ketaatan bagi masyarakat Madura, berupa "bhapa', bhabu', guru, rato" sejatinya juga sebagai bentuk implementasi dari masyarakat Madura yang selama ini dikenal sebagai masyarakat agamis.
Maka, ketika terjadi perlawanan pada guru, apalagi penganiayaan yang telah menyebabkan sang guru meninggal dunia, maka persepsi publik Madura, termasuk masyarakat Indonesia yang terjadi, adalah hal tidak pantas, melanggar norma adat budaya, hingga nilai-nilai agama.
Sang murid HI, sudah melampaui batas kewajaran. Ia tidak hanya menodai tradisi akan tetapi juga mencoreng nilai-nilai ke-Islam-an yang telah tertanam kuat di masyarakat.
Namun demikian, menyalahkan sepenuhnya kepada siswa yang masih mencari jadi diri dan membentuk kepribadian di dunia pendidikan, tentu kurang fair. Kurangnya perhatian, atau pendidikan yang kurang tepat dari pihak keluarga dan lingkungan sekitar bisa saja juga menjadi salah satu penyebabnya, mengingat pendidikan di sekolah hanya sekitar enam hingga delapan jam saja.
Tapi selain itu, pengaruh media, sangat memungkinkan, dalam membentuk anak bermental keras dan pembunuh. "Saya malah curiga, kasus siswa yang membunuh gurunya di Sampang itu, karena pengaruh media," ujar Dosen Media dan Komunikasi FISIP Universitas Airlangga Surabaya Dr Djoko W Tjahjo.
Media, yang dimaksud dosen pengampu mata kuliah "Media Ekonomi dan Manajemen Media Massa" ini bukan hanya media pers, akan tetapi juga telepon seluler dan aplikasi jejaring sosial lainnya, seperti facebook, twitter dan youtobe. Apalagi, kini telepon seluler cerdas banyak menyediakan aplikasi yang menyajikan kekerasan, bahkan ada aplikasi bernama "Hit Teacher" atau memukul guru.
Namun demikian, terlepas dari berbagai pandangan, serta faktor penyebab terjadi kekerasan dalam kasus pembunuhan siswa terhadap gurunya sendiri di SMA Negeri 1 Torjun, Sampang, Madura ini, semua pihak sepakat bahwa kasus ini merupakan persoalan serius yang membutuhkan perhatian semua pihak, agak tidak terulang lagi di kemudian hari. (*)

Pewarta: Abd Aziz

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2018