Jember (Antara Jatim) - Sejumlah pengamat yang tergabung dalam Serikat Pengajar HAM (SEPAHAM), Human Rights Law Studies (HRLS) Unair Surabaya dan Centre for Human Rights, Multiculturalism & Migration (CHRM2) Universitas Jember mengkitisi peran negara dalam melindungi dan memenuhi HAM.

"Sepanjang 2017, telah ditandai dengan sejumlah peristiwa politik dan ekonomi yang berdampak pada meluasnya pelanggaran hak-hak asasi manusia di Indonesia," kata Ketua HRLS Unair Dr Herlambang P. Wiratraman di Gedung CDAST Universitas Jember, Jawa Timur, Minggu.

Menurutnya setidaknya ada empat situasi yang dinilai bertahan dalam politik pelemahan HAM di Indonesia yakni pertama, kebuntuan hukum dan politik dalam upaya penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu.

"Stigmatisasi (komunisme) dan menguatnya eskalasi kekerasan dalam bentuk teror masyarakat sipil yang dibiarkan negara, memperlihatkan reproduksi politik kekerasan sipil atas warga sipil lainnya," ucap aktivis HAM itu.

Sementara di sisi lain, lanjut dia, kebijakan hukum dan politik hukum yang ada dalam konteks tahun ketiga pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda serius mengungkap dan menyelesaikan kasus yang berakibat pada pembiaran dan bahkan tindakan rezim itu menguatkan sirkuit impunitas dalam penyelesaiannya.

Kedua, ekses politik berkembang menjadi tekanan kebebasan warga atas nama NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) ataupun pemaksaan dan kekerasan atas nama agama tertentu dalam mengintervensi penegakan hukum. 

"Kami mencatat keterlibatan sejumlah penyelenggara negara, institusi militer yang menekan kebebasan akademik, kebebasan berpendapat dan berserikat/berkumpul. Kasus maraknya persekusi, pembubaran diskusi di kampus, dan aktifitas ilmiah, memperlihatkan situasi itu," tuturnya.

Ketiga, lanjut dia, bekerjanya kekuatan oligarki yang ditopang dengan kebijakan hukum negara disertai penundukan kaum cendekia kampus yang menjadi pelumasnya melahirkan penghancuran sumberdaya alam oleh korporasi dan penyingkiran komunitas masyarakat adat dan petani secara luas. 

"Misalnya kasus eksploitasi tambang, perampasan tanah dan ekspansi perkebunan kelapa sawit, menunjukkan bekerjanya kekuatan itu. Hukum administrasi dan mekanisme peradilan TUN, melegitimasi secara efektif digunakan untuk menangguk keuntungan bagi kekuatan oligarki tersebut, sementara jajaran pemerintahan Jokowi-JK seakan lumpuh dalam realitas politik tersebut," katanya.

Ia mengatakan kasus Kendeng (melawan industri tambang), kasus Kulon Progo (untuk infrastruktur bandara), kasus Tumpang Pitu (tambang emas Banyuwangi) merupakan sederet kasus contoh ilustrasi tersebut dan ukum pada akhirnya berkhidmat semata pada kekuatan ekonomi politik modal besar, dan secara langsung menyingkirkan keadilan eko-sosial.

Kemudian keempat, tren ancaman terhadap kebebasan ekspresi, berkumpul dan berserikat kembali menguat, apalagi dengan lahirnya Perppu Ormas dan situasi itu diperjelas dengan pembubaran HTI, sementara ormas-ormas radikal dan kerap melakukan kekerasan justru dibiarkan atau cenderung "dirawat" negara. 

"Hipokrit perlakuan negara atas situasi dan pemaknaan 'radikalisme' yang tidak ditindaklajuti dengan kejelasan dan ketegasan hukum dan penegakannya, justru menyuburkan benih diskriminasi dan radikalisme itu sendiri. Kriminalisasi terhadap warga sipil demikian mudah terjadi ketika ekspres media sosial, dengan kritik satir, justru mendapat represi hukum," ujarnya.

Sementara Direktur CHRM2 Unej Al Khanif PHd mengatakan di tengah situasi demikian, ada pula perkembangan positif dalam konteks pemajuan HAM yang perlu untuk terus menjadi pijakan politik HAM masa mendatang. 

"Pertama, terpilihnya komisioner baru dan integritas Komnas HAM menjadi harapan baru untuk perubahan strategi mengembangkan kebijakan dan mengawal politik HAM yang lebih baik. Tentu, kuncinya adalah mengembangkan strategi bersama dan menguatkan peran masyarakat sipil serta keberanian mendorong terobosan hukum dalam melawan impunitas," katanya.

Kedua, adanya upaya akademisi mengembangkan kebebasan akademik, kampus dan komunitas akademiknya yang dalam perjumpaan 5-6 Desember 2017, telah melahirkan Surabaya Principles on Academic Freedom (2017) yang menjadi sejarah hukum dan upaya pergerakan/pemikiran baru dalam mendorong kebebasan akademik.

"Ketiga, perkembangan politik hukum atas pengakuan aliran kepercayaan di Indonesia. Aliran kepercayaan diakui dalam putusan MK yang mengabulkan permohonan uji materi terkait aturan pengosongan kolom agama pada KK dan KTP," ucap Ketua Serikat Pengajar HAM (SEPAHAM) Indonesia itu.

Menurutnya ketiga perkembangan tersebut menjadi penanda baik dalam terus mendorong politik hukum HAM di Indonesia karena pihaknya percaya HAM akan menjadi lebih dijamin bukan atas kedermawanan politik negara, melainkan upaya kecerdasan kolektif yang memberdayakan politik kewargaan untuk perubahan lebih baik.(*)

Pewarta: Zumrotun Solichah

Editor : Tunggul Susilo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017