Surabaya (Antara Jatim) - Komisi D Bidang Pendidikan DPRD Surabaya menyatakan hasil konsultasi ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) seputar pro kontra pemberian bantuan pendidikan untuk siswa SMA/SMK masuk dalam APBD belum jelas. 
     
Ketua Komisi D DPRD Surabaya Agustin Poliana, di Surabaya, Rabu, mengatakan konsultasi tim legislatif dan eksekutif Surabaya ke Kemendagri soal bantuan sosial kepada siswa SMA/SMK tidak mampu masih mendapati jalan buntu.

"Secara prinsip bantuan kepada siswa SMA/SMK tidak mampu itu boleh, sejauh urusan wajibnya pemkot di laksanakan. Karena bantuan itu sifatnya sunah, jadi memang tidak wajib," katanya.

Hanya saja, lanjut dia, pihaknya menyesalkan sikap wakil dari Pemkot Surabaya yang masih terus mempersoalkan acuan hukumnya, meski Komisi D sudah beberapa kali memberikan penjelasan.

Selain itu, pihak Kemendagri beranggapan bahwa pemberian bantuan pendidikan itu menyalahi aturan setelah adanya Permendagri yang mengatur pengelolaan SMA/SMK sudah beralih dari pemerintah kabupaten/kota ke pemerintah provinsi. 

Atas hal ini, lanjut dia, pihaknya mengambil kesimpulan sementara jika hasil konsultasi yang melibatkan beberapa pihak ini masih masih mengambang karena pemkot tetap memilih untuk bersikap hati-hati. 

"Kalau begini tidak ada 'good will' dalam masalah bantuan ini, karena seharusnya bisa jika pemkot terbuka untuk mencarikan solusinya," ujarnya.  

Namun, lanjut dia, pihaknya menggarisbawahi ucapan dari pihak Kemendagri bahwa secara aturan menganggarkan boleh, sedangkan untuk pelaksanaan dipersilahkan koordinasi dengan provinsi.

Ketua Komisi D DPRD Surabaya ini menyampaikan jika Kemendagri hanya khawatir terjadi double anggaran dengan provinsi. "Kemendagri bilang bansos dan hibah itu bukan urusan wajib, dan boleh dianggarkan jika urusan wajib sudah terpenuhi," katanya.

Untuk itu, lanjut dia, pihaknya tetap akan berjuang meloloskan anggaran bantuan sosial pendidikan untuk siswa SMA/SMK tidak mampu karena menurutnya adalah amanah UUD 45 yang memuat soal anak terlantar dan warga miskin menjadi tanggung jawab Negara.

"Dengan dengan kondisi sekarang ini, banyak anak siswa yang putus sekolah dan tidak mampu membayar SPP, lantas dimana peran Negara terutama pemerintah yang dalam hal ini adalah Pemkot," katanya.

Ia mengatakan masih dimungkinkan adanya ruang untuk membantu mereka para siswa SMA/SMK tidak mampu sehingga akan mengurangi beban wali murid dan mengurangi anak putus sekolah.

Dengan hitungan untuk siswa SMA senilai Rp150 ribu, untuk siswa SMK senilai Rp175-215 ribu, maka total anggaran yang dibutuhkan sekira Rp28 miliar dengan rincian Rp200 Ribu x 11.862 atau x 12rb x12 bulan.

Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini sebelumnya pihaknya sudah meminta pertimbangan dari ahli hukum, kejaksaan dan kepolisian terkait permohonan untuk memberikan bantuan kepada siswa/siswi SMA/SMK kurang mampu yang terdampak pengalihan pengelolaan pendidikan menengah dari pemerintah kota ke pemerintah provinsi. 

Dari hasil konsultasi tersebut, wali kota menegaskan bahwa pemkot tidak bisa mengeluarkan uang untuk membantu siswa/siswa tersebut. Walaupun, keinginan untuk membantu SMA/SMK tetap ada, tetapi pemkot ingin masalah hukum clear sehingga kelak tidak bermasalah.

"Kenapa saya tidak berani? karena saya sudah minta pertimbangan dari ahli hukum, kejaksaan, kepolisian. Kemudian diruntut semua aturan, kita tidak bisa mengeluarkan uang itu," ujarnya. (*)

Pewarta: Abdul Hakim

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017