Bojonegoro (Antara Jatim) - Ribuan warga memadati sejumlah ruas jalan protokol di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, Minggu, yang dilalui peserta pawai budaya atau karnaval yang pesertanya tidak hanya menampilkan kesenian dan tradisi khas setempat, tapi juga kesenian.
"Pawai budaya kali ini diikuti 16 peserta SLTA, 26 peserta umum dan tujuh undangan, di antaranya, peserta dari Disbudpar Nganjuk, dan klub gladiator," kata Kasi Budaya dan Kesenian Disbudpar Bojonegoro Yanto Munyuk, di Bojonegoro.
Menurut dia, pawai budaya kali ini mengambil tema "menjunjung tinggi nilai budaya sejarah adat dan tradisi kearifan lokal dalam membangun karakter bangsa menuju terwujudnya Bojonegoro bersatu melangkah maju.
Sesuai jadwal pawai budaya untuk merayakan HUT ke-340 kabupaten diberangkatkan dari depan halaman pemerintah kabupaten (pemkab) pukul 11.00 WIB.
Meski demikian, sebelumnya ribuan penonton sudah memadati jalan protokol, bahkan ada juga yang menggelar tikar di di atas trotoar dan tepi jalan. Rute yang dilalui yaitu Jalan Mastumapel, Jalan Imam Bonjol, Jalan Mastrip, Jalan MH. Thamrin, Jalan Panglima Soedirman, Jalan Teuku Umar, Jalan WR. Supratman, Jalan Rajawali, Jalan Imam Bonjol dan finish di Jl. AKBPM Soeroko.
Seorang warga Gresik Suharyono yang menonton di Jalan Teuku Umar memuji penampilan peserta SMKN 2 yang mengusung tema pertanian.
Puluhan siswa putri dengan membawa bakul yang diisi produk pertanian sayur-sayuran menari dengan dinamis, sedangkan dibelakangnya siswa putra dengan membawa cangkul mainan mengikuti irama musik tradisional dipadu dengan drumer.
"SMKN 2 dalam kegiatan pawai budaya selalu tampil bagus," kata seorang pengawas Dinas Pendidikan Bojonegoro Teguh, yang menyaksikan karnaval berama Suharyono.
Teguh juga sejumlah penonton mengapreasiasi penampilan peserta pawai budaya dari SMKN 2 yang ketika itu berdemontrasi di Jalan Teukur Umar.
"Tema yang diusung ada maksudnya, mulai awal puluhan siswa putri menari mengambarkan perjuangan petani yang kemudian harus melawan berbagai hambatan seperti hama hingga akhirnya menghasilan panen tanaman padi yang melimpah," kata Suharyono menegaskan.
Ia juga memuji penampilan para peserta lainnya yang tanpa beban berjoget dan menari sepanjang perjalanan yang di kanan kirinya dipenuhi penonton.
"Kalau di Gresik pawai budaya pesertanya tidak ada yang berani berjoget, ya kurang menarik," ujarnya.
Seorang guru SMKN 2 Bojonegoro Agus Sigro menjelaskan tema pawai budaya yang diusung sekolahnya yaitu uapacara adat "Wiwit" yaitu upacara yang dilaksanakan saat akan memanen padi.
"Jumlah personel 84 siswa putra dan putri. Untuk bisa tampil teatrikal dibutuhkan waktu latihan selama dua pekan," kata dia menegaskan.
Ia menambahkan pesan yang ingin disampaikan dalam upacara adat "Wiwit" yaitu sebagai manusia wajib memperlakukan bumi secara bijak, karena dalam kepercayaan masyarakat Jawa bawah tanah/bumi adalah "sedulur sikep" (saudara) yang harus dihormati.
"Dalam upacara adat "Wiwit" hasil panen tidak lagsung dijual semuanya. tetapi harus disimpan dalam "gedong kencono" (lumbung)," ucapnya.
Dengan demikian, lanjut dia, upacara adat itu mengajarkan bahwa kekayaan yang kita miliki tidak boleh dihamburkan atau lansung dihabiskan. Sebab jika musim paceklik tiba, hasil panen yang disimpan dalam lumbung bisa menolong masyarakat dari krisis pangan. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017
"Pawai budaya kali ini diikuti 16 peserta SLTA, 26 peserta umum dan tujuh undangan, di antaranya, peserta dari Disbudpar Nganjuk, dan klub gladiator," kata Kasi Budaya dan Kesenian Disbudpar Bojonegoro Yanto Munyuk, di Bojonegoro.
Menurut dia, pawai budaya kali ini mengambil tema "menjunjung tinggi nilai budaya sejarah adat dan tradisi kearifan lokal dalam membangun karakter bangsa menuju terwujudnya Bojonegoro bersatu melangkah maju.
Sesuai jadwal pawai budaya untuk merayakan HUT ke-340 kabupaten diberangkatkan dari depan halaman pemerintah kabupaten (pemkab) pukul 11.00 WIB.
Meski demikian, sebelumnya ribuan penonton sudah memadati jalan protokol, bahkan ada juga yang menggelar tikar di di atas trotoar dan tepi jalan. Rute yang dilalui yaitu Jalan Mastumapel, Jalan Imam Bonjol, Jalan Mastrip, Jalan MH. Thamrin, Jalan Panglima Soedirman, Jalan Teuku Umar, Jalan WR. Supratman, Jalan Rajawali, Jalan Imam Bonjol dan finish di Jl. AKBPM Soeroko.
Seorang warga Gresik Suharyono yang menonton di Jalan Teuku Umar memuji penampilan peserta SMKN 2 yang mengusung tema pertanian.
Puluhan siswa putri dengan membawa bakul yang diisi produk pertanian sayur-sayuran menari dengan dinamis, sedangkan dibelakangnya siswa putra dengan membawa cangkul mainan mengikuti irama musik tradisional dipadu dengan drumer.
"SMKN 2 dalam kegiatan pawai budaya selalu tampil bagus," kata seorang pengawas Dinas Pendidikan Bojonegoro Teguh, yang menyaksikan karnaval berama Suharyono.
Teguh juga sejumlah penonton mengapreasiasi penampilan peserta pawai budaya dari SMKN 2 yang ketika itu berdemontrasi di Jalan Teukur Umar.
"Tema yang diusung ada maksudnya, mulai awal puluhan siswa putri menari mengambarkan perjuangan petani yang kemudian harus melawan berbagai hambatan seperti hama hingga akhirnya menghasilan panen tanaman padi yang melimpah," kata Suharyono menegaskan.
Ia juga memuji penampilan para peserta lainnya yang tanpa beban berjoget dan menari sepanjang perjalanan yang di kanan kirinya dipenuhi penonton.
"Kalau di Gresik pawai budaya pesertanya tidak ada yang berani berjoget, ya kurang menarik," ujarnya.
Seorang guru SMKN 2 Bojonegoro Agus Sigro menjelaskan tema pawai budaya yang diusung sekolahnya yaitu uapacara adat "Wiwit" yaitu upacara yang dilaksanakan saat akan memanen padi.
"Jumlah personel 84 siswa putra dan putri. Untuk bisa tampil teatrikal dibutuhkan waktu latihan selama dua pekan," kata dia menegaskan.
Ia menambahkan pesan yang ingin disampaikan dalam upacara adat "Wiwit" yaitu sebagai manusia wajib memperlakukan bumi secara bijak, karena dalam kepercayaan masyarakat Jawa bawah tanah/bumi adalah "sedulur sikep" (saudara) yang harus dihormati.
"Dalam upacara adat "Wiwit" hasil panen tidak lagsung dijual semuanya. tetapi harus disimpan dalam "gedong kencono" (lumbung)," ucapnya.
Dengan demikian, lanjut dia, upacara adat itu mengajarkan bahwa kekayaan yang kita miliki tidak boleh dihamburkan atau lansung dihabiskan. Sebab jika musim paceklik tiba, hasil panen yang disimpan dalam lumbung bisa menolong masyarakat dari krisis pangan. (*)
Video oleh Slamet Agus Sudarmojo
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017