Musik mandarin sengaja kuputar guna menemaniku menunggu pelanggan di pangkas rambut milikku yang terletak di sudut Kota Tua Surabaya, tepatnya di Jalan Kembang Jepun Nomor 38. Tempat yang kini kukelola merupakan peninggalan dari ayahku, Tan Sin Co  yang mencari peruntungan di sebuah kota kecil di timur Pulau Jawa.

Ayahku yang kala itu masih berumur 15 tahun, memilih berlayar menaklukkan laut yang tak berujung guna mengadu nasib. Di sini, di sebuah kota yang dulunya sempat ditinggali penjajah, ayah merintis sebuah usaha penyedia jasa pangkas rambut.

Kira-kira tahun 1911 tempat ini telah berdiri, aku juga tidak tahu pastinya pada bulan apa, karena memang aku belum lahir. Ayah memberi nama usaha ini Pangkas Rambut Shin Hua.

Memasuki usia yang kini telah lebih dari satu abad, Pangkas Rambut Shin Hua memang sudah tak muda lagi, ayah bahkan mengklaim pangkas rambutnya ini merupakan yang pertama ada di Surabaya.

Ayah sempat bercerita, pelanggannya dulu merupakan orang-orang yang berpengaruh pada masa itu. Misalnya saja beberapa petinggi seperti jenderal hingga tentara yang berasal dari negeri kincir angin, Belanda, yang kala itu masih nyaman menjajah Bumi Nusantara. 

Tak hanya itu, ayah tak pernah pilih-pilih pelanggan, ia juga dengan telaten melayani rakyat pribumi yang ingin merapikan rambutnya.

Aku banyak belajar dari ayah, mulai dari memotong hingga cara melayani pelanggan dengan baik. Maka dari itu, sepeninggal ayahku, aku pun mantap menggantikan posisinya dalam mengelola tempat ini.

Bagiku, Shin Hua juga merupakan saksi bisu sejarah, karena memang telah melewati beberapa masa. Misalnya penjajahan Belanda, datangnya tentara Jepang, hingga bebasnya Indonesia dari belenggu penjajah dan kini telah memasuki kemerdekannya yang ke 72 tahun.

Untuk itu, aku tetap konsisten menjaga tempat ini, tak ada yang berubah secuilpun, termasuk desain juga interior yang tersedia. Aku jadi ingat ucapan salah satu pengunjung setiaku, "dekorasinya membawa saya pada tata ruangan khas film Tionghoa jaman dulu," katanya.

Aku beranggapan, jika dekorasi Shin Hua dirubah maka ciri khas tersebut menjadi hilang. Karena ciri khas inilah yang menjadi daya tarik tersendiri bagi penggunjung dan pelanggan setia Shin Hua.

Karena itu, sampai sekarang, aku pun masih menggunakan sisir peninggalan ayah yang terbuat dari tulang ikan. Beberapa benda lain seperti kursi yang digunakan pelanggan, juga masih sama seperti dulu, aku hanya melakukan perawatan sederhana jika ada yang rusak.

Sama seperti ayah, aku cukup bangga karena jasaku ini dipercaya oleh beberapa petinggi di daerah. Salah satu yang paling kuingat adalah sosok Wali Kota Surabaya pada masa itu, Purnomo Kasidi. Ketika memangkas rambut, dia juga mengajak beberapa kerabat hingga rekan di pemerintahan kota.

Namun itu dulu, kini, Shin Hua telah memasuki usianya yang semakin senja, menyusul banyak pelanggan kami yang telah berpulang ke sisi Tuhan. Hal ini juga turut mempengaruhi eksistensi kami. Aku pun berani jamin, mungkin sudah jarang orang yang mengenal jasa potong rambut ini.

Pernah beberapa kali, sejak fajar menyongsong hingga senja menjelang, tak ada seorang pengunjung pun yang datang menyambangi pangkas rambutku.

Terlebih, aku merasa, orang juga akan semakin kesusahan dalam menemukan tempatku mengais nafkah, karena tak ada papan reklame atau juga banner berukuran besar yang menjadi petunjuk. Dulu, jaman ayahku, memang ada reklame, namun karena pajaknya semakin membengkak, aku memutuskan untuk melepasnya saja.

Kini, aku mengelola tempat ini seorang diri, semua juga kukerjakan sendiri tanpa ada tambahan pekerja yang membantu. Dulu, saking ramainya, ayah mempekerjakan 10 orang sebagai asisten, namun, seiring dengan sepinya tempat ini, aku terpaksa memulangkan mereka satu per satu.

Aku membuat analogi seperti orang ketika naik kendaraan, misalnya taksi, tentu orang akan memilih taksi yang masih bagus dan baru, karena mempercayakan kepada pelayanan yang prima. Seperti itulah aku menganggap diriku sendiri yang kini sudah memasuki usia senja.

Aku juga menilai, anak-anak muda kini akan menganggap orang tua tidak mengerti perkembangan jaman dan tatanan rambut masa kini, atau bahasanya kurang modis. Aku tau, mereka lebih memilih pergi ke salon yang mengikuti tren ketimbang mempercayakan rambutnya kepadaku.

Entahlah, aku tak tahu berapa lama lagi usaha ini akan tetap berdiri. Sementara aku masih bingung akan mewariskan Shin Hua kepada siapa. Kesembilan anakku tak ada yang memiliki bakat memotong rambut, kesemuanya juga telah memiliki usaha di bidang lain.

Namun, ditengah kondisi seperti ini, aku masih bersyukur tak pernah merasa kekurangan barang sedikitpun. Untuk kepentingan finansial, anak-anakku juga sering menyambangi sembari memberi sedikit rupiah.

Aku juga senang memiliki banyak sahabat yang merupakan pelanggan setiaku sejak mereka remaja. Kala memangkas rambutnya, tak jarang kami saling bercerita hingga bersenda gurau di usia kami yang sudah tak muda lagi. Yang lebih kusyukuri, Shin Hua masih tetap hidup di umur 105 tahun, meskipun dengan nafas yang terengah-engah.
     Oh iya, perkenalkan, aku Tan Ting Kok, kini usiaku sudah 70 tahun. (*)

Pewarta: Hilda Meilisa

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017