Surabaya (Antara Jatim) - DPRD Kota Surabaya meminta Pemerintah Provinsi Jatim memikirkan siswa tidak mampu atau miskin menyusul Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan warga Surabaya terkait pengelolaan SMA/SMK oleh  pemprov.
     
Wakil Ketua Komisi A Bidang Hukum dan Pemerintahan DPRD kota Surabaya,  Adi Sutarwojono, di Surabaya, Kamis, mengatakan pihaknya sudah menduga bahwa MK akan menolak uji materi UU 23/2014 dalam sub item kewenangan pengelolaan SMA / SMK yang diajukan empat warga Kota Surabaya.

"Apalagi sebelumnya MK juga menolak uji materi yang diajukan Wali Kota Blitar dan Muara Jambi," katanya.

Putusan Mahkamah Konstitusi bernomor 31/PUU- XIV/2016 itu dibacakan oleh Ketua MK Arief Hidayat di Gedung MK Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Rabu (26/7).  

Alasan para pemohon dalam hal ini empat warga Surabaya yakni Bambang Soenarko, Enny Ambarsari, Radian Jadid dan Widji Lestari agar pengelolaan SMA/SMK menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota. 

Sementara dalam pasal yang digugat yakni Pasal 15 Ayat 1 dan Ayat 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah menyiratkan bahwa kewenangan tersebut ada pada pemerintah provinsi. Hanya saja, MK menolak permohonan tersebut.

Dengan keputusan ini, lanjut Adi, Pemprov Jatim harus bertanggung jawab untuk mengatasi siswa tidak mampu dan remaja putus sekolah agar dapat mengenyam pendidikan di tingkat SMA/SMK.

"Yang harus dipikirkan adalah bagaimana mengatasi siswa tidak mampu di level SMA/SMK, terutama sekolah negeri. Juga menanggulangi para remaja putus sekolah di level SMA / SMK. Itu yang harus dipikirkan oleh Pemprov Jatim," ujarnya.

Ia menyarankan Pemprov Jatim agar menganggarkan biaya pendidikan sesuai amanah undang-undang (UU) yaitu 20 persen dari total kekuatan APBD Jatim, guna mengatasi problem siswa kurang mampu dan putus sekolah.  

"Kan APBD Jawa Timur lumayan besar. Tahun ini media mencatat sebesar Rp27 triliun. Kalau 20 persen saja untuk anggaran pendidikan, berarti setidaknya dialokasikan Rp5,4 triliun. Angka yang sangat besar," katanya.

Jika sekarang anggaran pendidikan di Jatim relatif kecil dan masih belum mampu menyediakan pendidikan murah khususnya di Surabaya, maka Pemkot tidak bisa mengintervensinya. Mengingat keputusan bisa atau tidaknya Pemkot membantu siswa kurang mampu untuk SMA/SMK, kini bergantung pada kebijakan Pemprov Jatim.

"Bisa saja Pemkot membantu melalui APBD. Tinggal Gubernur Jatim membicarakan masalah itu dengan Wali Kota Surabaya. Kebijaksanaan ada di tangan Gubernur Jatim," katanya.

Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini sebelumnya menyerahkan data anak putus sekolah yang berjumlah sekitar 107 anak ke Mahkamah Konstitusi. Data itu diserahkan saat bersamaan dengan adanya putusan MK yang menolak gugatan pengelolaan SMA SMK oleh Pemerintah Kota Blitar. Hanya saja, data tersebut dinilai belum kuat sehingga MK memutuskan pengelolaan SMA/SMK tetap di pemerintah provinsi. (*)

Pewarta: Abdul Hakim

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017