Dinamika politik memungkinkan perubahan apa pun bisa terjadi. Seorang politikus yang pada masa kampanye dalam perburuan kursi kekuasaan tampak aspiratif, demokratis, dan antikorupsi bisa berubah berbalik sikap dan
laku setelah kuasa politik tergenggam.
Di situlah demokrasi menawarkan jalan keluar lewat pemilihan umum berkala. Pesannya jelas: rakyat punya kesempatan untuk menghukum politikus yang tidak layak lagi dipilih karena perbuatan politik mereka selama berkuasa atau memegang amanah rakyat.
Pekan-pekan ini, selaras dengan manuver sejumlah politikus di Senayan yang terhimpun dalam Panitia Hak Angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kegeraman publik di media sosial maupun media massa terhadap politikus yang dicurigai hendak melemahkan kewenangan lembaga antirasuah itu bermunculan.
Suara-suara yang bernada kemarahan itu, antara lain, menyerukan pembubaran terhadap DPR. Terhadap suara-suara semacam itu, ada dua tanggapan mendasar yang perlu dikemukakan. Pertama, sistem politik presidensiil tak memungkinkan lembaga eksekutif yang setara dengan legislatif melakukan aksi politik itu. Kedua, mentalitas mendekonstruksi kelembagaan politik bukanlah cara lazim yang dianjurkan demokrasi.
Kesepakatan berdemokrasi mengandaikan penghormatan terhadap konstitusi. Ketika seorang politikus yang terpilih entah mewakili rakyat atau memimpin kekuasaan eksekutif itu mengecewakan pemilihnya, kesabaranlah yang dituntut dari warga.
Seruan yang paling dapat diterima oleh nalar demokrasi ya menghukum politikus itu dengan tidak memilihnya lagi pada pemilu mendatang.
Kebiasaan mengutarakan kekesalan terhadap situasi politik dengan seruan pembubaran agaknya tak terlepas dari kultur politik represif yang pernah menggejala di negeri ini ketika rezim otokratis berkuasa lebih dari tiga dasawarsa.
Lebih tidak masuk akal lagi adalah bahwa pembubaran sebuah institusi legislatif yang diisi oleh 560 politikus itu dipicu oleh manuver belasan legislator yang dinilai mengecewakan. Hal itu sama seperti memburu beberapa tikus dengan membakar lumbung yang menjadi penyelamat hidup banyak warga.
Kedewasaan politik tampaknya juga perlu dituntut dari kalangan politikus yang selama ini cenderung berkiprah kurang mengindahkan reaksi publik. Seperti ketika legislator mengemukakan gertak sambal terhadap Polri dan KPK dengan mengatakan bahwa DPR tidak akan membahas anggaran kedua lembaga penegak hukum itu jika keduanya tidak bisa memenuhi permintaan politik mereka.
Alih-alih mendapat respek dari publik atau pengamat politik, pernyataan gegabah itu justru menjadi bahan ejekan masyarakat. Politikus Senayan yang mengancam tak memberikan alokasi anggaran pada kedua lembaga penegak hukum itu agaknya tidak punya visi jauh ke depan bahwa alangkah mustahilnya negara bisa bertahan dengan menihilkan dana bagi kedua lembaga negara itu.
Publik tentu pantas mencatat bahwa politikus yang semacam itu selayaknya masuk dalam memori untuk tidak dipilih
kembali seandainya yang bersangkutan mencalonkan lagi sebagai wakil rakyat dalam pemilihan umum anggota legislatif mendatang.
Dalam konteks ini, warga yang matang dalam integritas berdemokrasi juga dituntut untuk menegakkan demokrasi itu sendiri. Jangan sampai, politik uang menjadikan para politikus yang semula dinilai mengecewakan dapat terpilih kembali. Itulah dilema yang terjadi dalam sebagian masyarakat di Tanah Air.
Kalangan masyarakat yang kurang terdidik dan memiliki integritas dalam laku demokratis kerap abai dengan topeng
filantropis wakil rakyat yang memainkan kelihaian mereka dalam membeli suara rakyat yang belum tercerahkan secara politik.
Mereka yang suaranya terbeli saat pemilihan umum ini tidak sampai berpikir panjang bahwa recehan yang mereka terima akan terbayar mahal dalam bentuk penyalahgunaan kekuasaan di kemudian hari.
Kini, para politikus yang sedang bermanuver dalam merongrong kewenangan KPK juga pantas mendapat perhatian oleh rakyat pemilih. Namun, yang lebih penting dalam konteks ini adalah penilaian terhadap para pemegang kendali partai politik yang membiarkan kader-kader mereka di parlemen terus berjuang melakukan pelemahan lembaga antirasuah lewat pembentukan Panitia Hak Angket terhadap KPK.
Seolah mengandung sebuah enigma politik bahwa penguasa karismatik Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri tak berkutik membiarkan kader-kadernya di parlemen menjadi inisiator paling gigih dalam pembentukan Panitia Hak Angket terhadap KPK itu.
Beberapa pertanyaan spekulatif politik bisa diajukan: apakah dengan langkah demikian publik akan menyimpulkan
bahwa dalam PDIP, ketua umumnya memberikan kemerdekaan politik kepada kadernya di Senayan? Ataukah manuver itu bagian dari gertak sambal PDIP terhadap KPK yang saat ini tengah mengusut perkara megakorupsi yang dugaannya, antara lain, melibatkan sejumlah politikus PDIP?,
Jika spekulasi itu mengandung kebenaran entah sebagian atau seluruhnya, tentu kurang eloklah bagi seorang negarawan untuk melakukan pilihan politik semacam itu. Sedikitnya pilihan politik itu telah menguras banyak energi sebab berbagai kekuatan sipil, antara lain, ratusan rektor universitas seluruh Indonesia harus melakukan aksi pembelaan terhadap KPK.
Lebih merugikan lagi adalah laju KPK dalam menuntaskan perkara korupsi yang merugikan negara lebih dari Rp2 triliun itu bisa terhambat. Andaikan partai besar, seperti PDIP, yang kadernya juga sedang duduk di kursi kepresidenan, tidak masuk sebagai pemrakarsa hak angket, layulah gerakan yang mengancam kedigdayaan KPK dalam memberantas korupsi.
Prestasi KPK yang dalam sebulan terakhir berhasil membanggakan hati publik di Tanah Air dengan lima operasi tangkap tangan (OTT) tampaknya bukannya diapresiasi oleh politikus PDIP, melainkan justru seolah dipersepsikan sebagai ancaman yang harus dilenyapkan.
Semoga publik tak mengidap amnesia politik pada musim pencoblosan mendatang, pada saat mereka punya kesempatan untuk menghukum wakil-wakil mereka di parlemen. (*)
-----------
*) Penulis adalah Ombudsman LKBN Antara.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017
laku setelah kuasa politik tergenggam.
Di situlah demokrasi menawarkan jalan keluar lewat pemilihan umum berkala. Pesannya jelas: rakyat punya kesempatan untuk menghukum politikus yang tidak layak lagi dipilih karena perbuatan politik mereka selama berkuasa atau memegang amanah rakyat.
Pekan-pekan ini, selaras dengan manuver sejumlah politikus di Senayan yang terhimpun dalam Panitia Hak Angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kegeraman publik di media sosial maupun media massa terhadap politikus yang dicurigai hendak melemahkan kewenangan lembaga antirasuah itu bermunculan.
Suara-suara yang bernada kemarahan itu, antara lain, menyerukan pembubaran terhadap DPR. Terhadap suara-suara semacam itu, ada dua tanggapan mendasar yang perlu dikemukakan. Pertama, sistem politik presidensiil tak memungkinkan lembaga eksekutif yang setara dengan legislatif melakukan aksi politik itu. Kedua, mentalitas mendekonstruksi kelembagaan politik bukanlah cara lazim yang dianjurkan demokrasi.
Kesepakatan berdemokrasi mengandaikan penghormatan terhadap konstitusi. Ketika seorang politikus yang terpilih entah mewakili rakyat atau memimpin kekuasaan eksekutif itu mengecewakan pemilihnya, kesabaranlah yang dituntut dari warga.
Seruan yang paling dapat diterima oleh nalar demokrasi ya menghukum politikus itu dengan tidak memilihnya lagi pada pemilu mendatang.
Kebiasaan mengutarakan kekesalan terhadap situasi politik dengan seruan pembubaran agaknya tak terlepas dari kultur politik represif yang pernah menggejala di negeri ini ketika rezim otokratis berkuasa lebih dari tiga dasawarsa.
Lebih tidak masuk akal lagi adalah bahwa pembubaran sebuah institusi legislatif yang diisi oleh 560 politikus itu dipicu oleh manuver belasan legislator yang dinilai mengecewakan. Hal itu sama seperti memburu beberapa tikus dengan membakar lumbung yang menjadi penyelamat hidup banyak warga.
Kedewasaan politik tampaknya juga perlu dituntut dari kalangan politikus yang selama ini cenderung berkiprah kurang mengindahkan reaksi publik. Seperti ketika legislator mengemukakan gertak sambal terhadap Polri dan KPK dengan mengatakan bahwa DPR tidak akan membahas anggaran kedua lembaga penegak hukum itu jika keduanya tidak bisa memenuhi permintaan politik mereka.
Alih-alih mendapat respek dari publik atau pengamat politik, pernyataan gegabah itu justru menjadi bahan ejekan masyarakat. Politikus Senayan yang mengancam tak memberikan alokasi anggaran pada kedua lembaga penegak hukum itu agaknya tidak punya visi jauh ke depan bahwa alangkah mustahilnya negara bisa bertahan dengan menihilkan dana bagi kedua lembaga negara itu.
Publik tentu pantas mencatat bahwa politikus yang semacam itu selayaknya masuk dalam memori untuk tidak dipilih
kembali seandainya yang bersangkutan mencalonkan lagi sebagai wakil rakyat dalam pemilihan umum anggota legislatif mendatang.
Dalam konteks ini, warga yang matang dalam integritas berdemokrasi juga dituntut untuk menegakkan demokrasi itu sendiri. Jangan sampai, politik uang menjadikan para politikus yang semula dinilai mengecewakan dapat terpilih kembali. Itulah dilema yang terjadi dalam sebagian masyarakat di Tanah Air.
Kalangan masyarakat yang kurang terdidik dan memiliki integritas dalam laku demokratis kerap abai dengan topeng
filantropis wakil rakyat yang memainkan kelihaian mereka dalam membeli suara rakyat yang belum tercerahkan secara politik.
Mereka yang suaranya terbeli saat pemilihan umum ini tidak sampai berpikir panjang bahwa recehan yang mereka terima akan terbayar mahal dalam bentuk penyalahgunaan kekuasaan di kemudian hari.
Kini, para politikus yang sedang bermanuver dalam merongrong kewenangan KPK juga pantas mendapat perhatian oleh rakyat pemilih. Namun, yang lebih penting dalam konteks ini adalah penilaian terhadap para pemegang kendali partai politik yang membiarkan kader-kader mereka di parlemen terus berjuang melakukan pelemahan lembaga antirasuah lewat pembentukan Panitia Hak Angket terhadap KPK.
Seolah mengandung sebuah enigma politik bahwa penguasa karismatik Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri tak berkutik membiarkan kader-kadernya di parlemen menjadi inisiator paling gigih dalam pembentukan Panitia Hak Angket terhadap KPK itu.
Beberapa pertanyaan spekulatif politik bisa diajukan: apakah dengan langkah demikian publik akan menyimpulkan
bahwa dalam PDIP, ketua umumnya memberikan kemerdekaan politik kepada kadernya di Senayan? Ataukah manuver itu bagian dari gertak sambal PDIP terhadap KPK yang saat ini tengah mengusut perkara megakorupsi yang dugaannya, antara lain, melibatkan sejumlah politikus PDIP?,
Jika spekulasi itu mengandung kebenaran entah sebagian atau seluruhnya, tentu kurang eloklah bagi seorang negarawan untuk melakukan pilihan politik semacam itu. Sedikitnya pilihan politik itu telah menguras banyak energi sebab berbagai kekuatan sipil, antara lain, ratusan rektor universitas seluruh Indonesia harus melakukan aksi pembelaan terhadap KPK.
Lebih merugikan lagi adalah laju KPK dalam menuntaskan perkara korupsi yang merugikan negara lebih dari Rp2 triliun itu bisa terhambat. Andaikan partai besar, seperti PDIP, yang kadernya juga sedang duduk di kursi kepresidenan, tidak masuk sebagai pemrakarsa hak angket, layulah gerakan yang mengancam kedigdayaan KPK dalam memberantas korupsi.
Prestasi KPK yang dalam sebulan terakhir berhasil membanggakan hati publik di Tanah Air dengan lima operasi tangkap tangan (OTT) tampaknya bukannya diapresiasi oleh politikus PDIP, melainkan justru seolah dipersepsikan sebagai ancaman yang harus dilenyapkan.
Semoga publik tak mengidap amnesia politik pada musim pencoblosan mendatang, pada saat mereka punya kesempatan untuk menghukum wakil-wakil mereka di parlemen. (*)
-----------
*) Penulis adalah Ombudsman LKBN Antara.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017