Godaan terberat umat manusia dalam hidup adalah merasa "lebih" dari manusia yang lain. Lebih unggul, pintar, terhormat, alim, dan lebih benar sendiri merupakan penyakit yang dalam sejarah kemanusiaan hanya menyisakan kesengsaraan dan kehancuran peradaban.
Peristiwa penganiayaan, intimidasi, pencemaran nama baik, gosip (ghibah) sampai pada peperangan dan penajajahan merupakan puncak dari perasaan manusia yang merasa lebih tinggi dari yang lain.
Seakan telah menjadi sikap yang teratribusikan dalam diri setiap manusia, maka Allah melalui sifat kerahmatannya menciptakan intrumen bernama puasa.
Puasa yang secara etimologis berarti menahan (al-imsak), merupakan kawah candradimuka untuk mendidik manusia agar mampu menampilkan ketahanan pribadi, sebuah sikap yang mengantarkan manusia benar-benar menjadi manusia.
Hakikatnya, puasa adalah anugerah Tuhan yang paling agung agar setiap orang menyadari sisi dan nilai-nilai kemanusiaan. Bahwa sesungguhnya, tak ada yang patut dibanggakan dan dipertahankan mati-matian, kecuali kemanusiaan itu sendiri. Bahkan, Tuhan menjadikan agama sebagai bekal untuk memedomani diri bersikap layaknya manusia, bukan bak binatang yang hanya mengenal perkelahian, permusuhan dan persaiangan semata.
Persekusi dan Runtuhnya Nilai Kemanusiaan
Dua bulan terakhir ini, istilah persekusi menjadi ramai diperbincangkan. Hal ini dikarenakan adanya tindakan-tindakan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang merasa "lebih" dibanding dengan yang lain, sehingga intimidasi dan perlakuan-perlakuan yang menimbulkan rasa takut merupakan pilihan yang tak dapat mereka hindarkan.
Persekusi merupakan cerminan tindakan yang tidak manusiawi. Para pelakunya, tentu perlu belajar kembali bagaimana seharusnya menjadi manusia. Sebagaina definisinya yang populer, bahwa persekusi merupakan perilaku menyiksa, menganiaya: tanpa memikirkan lagi keadilan atau kemanusiaan.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan persekusi sebagai pemburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga dan disakiti, dipersusah, atau ditumpas, karena perbedaan agama, ras, atau golongan (kelompok keagamaan, partai atau perbedaan politik).
Karena efek meresahkan dan mempermalukan seseorang inilah, maka persekusi saat ini menjadi atensi pihak kepolisian. Kapolri Tito Karnavian dalam keterangannya di media memerintahkan jajarannya agar memburu dan menindak secara tegas setip pelaku yang terbukti secara valid melakukan tindakan ini.
Dalam konteks perundang-undangan, tindak persekusi dapat dijerat dengan beberapa pasal sekaligus, karena telah masuk dalam kategori tindak pidana. Misalnya, dalam KUHP pasal 368 tentang pengancaman, 351 tentang penganiayaan dan pasal 170 yang menjerat para pelaku pengroyokan.
Kasus persekusi ini menjadi semakin massif karena dampak akses informasi dan teknologi yang semakin mudah. Media sosial, menjadi intrumen yang paling efektif dan potensial untuk melakukan tindakan ini.
Dalam beberapa tahun terakhir, situs jejaring pertemanan ini sedang mengalami mis-orientasi. Tidak sebagaimana yang diharapkan di masa awal, yakni sebagai media interaktif, justru situs ini menjadi semakin tempat sampah caci maki dan panggung parade saling hujat dan laknat antar kelompok sosial. Akhirnya, retakan kebangsaan kian mengangah.
Untuk itulah, pemerintah menerbitkan UU ITE dan surat edaran hatespeech dari kepolisian untuk membendung arus radikalisme virtual ini.
Menurut laporan yang dilansir Tempo, sejak tanggal 27 Januari 2017, terdapat aduan yang bermuasal dari media sosial, antara lain: pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik sebanyak 149 kasus, pasal 28 ayat 2 tentang penyebaran kebencian terdapat 26 kasus, serta pasal 27 ayat 3 sekaligus 28 ayat 2 sebanyak lima kasus.
Adapun pola yang lazim digunakan melakukan tindakan intimidatif ini, antara lain;
1) melacak akun yang dianggap menghina tokoh atau agama, suku atau golongan;
2) membuka identitas pelaku baik foto, alamat rumah, institusi (sekolah, kampus, perusahaan) sekaligus menyebarkannya (share) di media sosial dengan diksi kebencian,
3) mengintruksikan dan memobilisasi massa untuk memburu pelaku yang dianggap menghina tersebut,
4) merekam melalui video atau foto tindakan persekusi dan menyebarkannya di media sosial sebagai peringatan agar tidak ada lagi pelaku-pelaku (penghinaan).
Puasa sebagai Social Defensibility
Seruan berpuasa untuk kaum muslimin, merupakan perintah yang bersifat mutlak tanpa ada tawar menawar. Jika kriteria beragama Islam, sehat, baligh/ mukallaf dan tidak gila itu sudah terpenuhi, maka seseorang tersebut diwajibkan berpuasa.
Dasar teoligisnya, terdapat dalam al-Quran surah al-Baqarah: 183. Namun, yang menarik dalam alur narasi perintah tersebut, masih ada celah atau ruang dialog bagi siapa saja yang tidak mampu, baik karena sakit atau berpergian. Untuk kedua alasan ini, Allah telah menyiapkan solusi, melalui penggantian di lain waktu (ayyaman ma’dudaat) atau membayar dengan makanan (fidya).
Secara substantif, ayat perintah puasa ini memuat nilai-nilai dialogis, kompromi dan spirit tenggang rasa. Hal ini penting untuk disadari mengingat ibadah puasa mengandung muatan sosial yang begitu luhur. Memahaminya, akan berdampak pada lahirnya kesalehan sosial akibat dari tempaan-tempaan mental, baik melalui batiniyah maupun jasmaniyah.
Untuk itulah, dalam konteks ini puasa mampu melahirkan perisai pertahanan sosial (social defensibility). Yaitu sebuah kemampuan individu yang berorientasi sosial. Kemungkinan polarisasi masyarakat, sejatinya dapat terbendung melalui pemahaman yang baik mengenai substansi perintah berpuasa bagi kaum muslimin.
Tindakan-tindakan intimidasi, penghakiman sendiri atau dengan istilah populernya saat ini, persekusi, bisa di-counter melalui cara-cara dialog, kompromi dan tenggang rasa sebagaimana kandungan narasi perintah puasa dalam al-Quran. Cara-cara yang lebih etis dalam menghadapi perbedaan ini, merupakan manifestasi berpuasa paling konkrit jika dilihat dari perspektif sosial. (*)
-------------
*) Penulis adalah Ketua GP Ansor Kabupaten Sidoarjo dan mantan Ketua I PW IPNU Jatim.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017
Peristiwa penganiayaan, intimidasi, pencemaran nama baik, gosip (ghibah) sampai pada peperangan dan penajajahan merupakan puncak dari perasaan manusia yang merasa lebih tinggi dari yang lain.
Seakan telah menjadi sikap yang teratribusikan dalam diri setiap manusia, maka Allah melalui sifat kerahmatannya menciptakan intrumen bernama puasa.
Puasa yang secara etimologis berarti menahan (al-imsak), merupakan kawah candradimuka untuk mendidik manusia agar mampu menampilkan ketahanan pribadi, sebuah sikap yang mengantarkan manusia benar-benar menjadi manusia.
Hakikatnya, puasa adalah anugerah Tuhan yang paling agung agar setiap orang menyadari sisi dan nilai-nilai kemanusiaan. Bahwa sesungguhnya, tak ada yang patut dibanggakan dan dipertahankan mati-matian, kecuali kemanusiaan itu sendiri. Bahkan, Tuhan menjadikan agama sebagai bekal untuk memedomani diri bersikap layaknya manusia, bukan bak binatang yang hanya mengenal perkelahian, permusuhan dan persaiangan semata.
Persekusi dan Runtuhnya Nilai Kemanusiaan
Dua bulan terakhir ini, istilah persekusi menjadi ramai diperbincangkan. Hal ini dikarenakan adanya tindakan-tindakan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang merasa "lebih" dibanding dengan yang lain, sehingga intimidasi dan perlakuan-perlakuan yang menimbulkan rasa takut merupakan pilihan yang tak dapat mereka hindarkan.
Persekusi merupakan cerminan tindakan yang tidak manusiawi. Para pelakunya, tentu perlu belajar kembali bagaimana seharusnya menjadi manusia. Sebagaina definisinya yang populer, bahwa persekusi merupakan perilaku menyiksa, menganiaya: tanpa memikirkan lagi keadilan atau kemanusiaan.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan persekusi sebagai pemburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga dan disakiti, dipersusah, atau ditumpas, karena perbedaan agama, ras, atau golongan (kelompok keagamaan, partai atau perbedaan politik).
Karena efek meresahkan dan mempermalukan seseorang inilah, maka persekusi saat ini menjadi atensi pihak kepolisian. Kapolri Tito Karnavian dalam keterangannya di media memerintahkan jajarannya agar memburu dan menindak secara tegas setip pelaku yang terbukti secara valid melakukan tindakan ini.
Dalam konteks perundang-undangan, tindak persekusi dapat dijerat dengan beberapa pasal sekaligus, karena telah masuk dalam kategori tindak pidana. Misalnya, dalam KUHP pasal 368 tentang pengancaman, 351 tentang penganiayaan dan pasal 170 yang menjerat para pelaku pengroyokan.
Kasus persekusi ini menjadi semakin massif karena dampak akses informasi dan teknologi yang semakin mudah. Media sosial, menjadi intrumen yang paling efektif dan potensial untuk melakukan tindakan ini.
Dalam beberapa tahun terakhir, situs jejaring pertemanan ini sedang mengalami mis-orientasi. Tidak sebagaimana yang diharapkan di masa awal, yakni sebagai media interaktif, justru situs ini menjadi semakin tempat sampah caci maki dan panggung parade saling hujat dan laknat antar kelompok sosial. Akhirnya, retakan kebangsaan kian mengangah.
Untuk itulah, pemerintah menerbitkan UU ITE dan surat edaran hatespeech dari kepolisian untuk membendung arus radikalisme virtual ini.
Menurut laporan yang dilansir Tempo, sejak tanggal 27 Januari 2017, terdapat aduan yang bermuasal dari media sosial, antara lain: pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik sebanyak 149 kasus, pasal 28 ayat 2 tentang penyebaran kebencian terdapat 26 kasus, serta pasal 27 ayat 3 sekaligus 28 ayat 2 sebanyak lima kasus.
Adapun pola yang lazim digunakan melakukan tindakan intimidatif ini, antara lain;
1) melacak akun yang dianggap menghina tokoh atau agama, suku atau golongan;
2) membuka identitas pelaku baik foto, alamat rumah, institusi (sekolah, kampus, perusahaan) sekaligus menyebarkannya (share) di media sosial dengan diksi kebencian,
3) mengintruksikan dan memobilisasi massa untuk memburu pelaku yang dianggap menghina tersebut,
4) merekam melalui video atau foto tindakan persekusi dan menyebarkannya di media sosial sebagai peringatan agar tidak ada lagi pelaku-pelaku (penghinaan).
Puasa sebagai Social Defensibility
Seruan berpuasa untuk kaum muslimin, merupakan perintah yang bersifat mutlak tanpa ada tawar menawar. Jika kriteria beragama Islam, sehat, baligh/ mukallaf dan tidak gila itu sudah terpenuhi, maka seseorang tersebut diwajibkan berpuasa.
Dasar teoligisnya, terdapat dalam al-Quran surah al-Baqarah: 183. Namun, yang menarik dalam alur narasi perintah tersebut, masih ada celah atau ruang dialog bagi siapa saja yang tidak mampu, baik karena sakit atau berpergian. Untuk kedua alasan ini, Allah telah menyiapkan solusi, melalui penggantian di lain waktu (ayyaman ma’dudaat) atau membayar dengan makanan (fidya).
Secara substantif, ayat perintah puasa ini memuat nilai-nilai dialogis, kompromi dan spirit tenggang rasa. Hal ini penting untuk disadari mengingat ibadah puasa mengandung muatan sosial yang begitu luhur. Memahaminya, akan berdampak pada lahirnya kesalehan sosial akibat dari tempaan-tempaan mental, baik melalui batiniyah maupun jasmaniyah.
Untuk itulah, dalam konteks ini puasa mampu melahirkan perisai pertahanan sosial (social defensibility). Yaitu sebuah kemampuan individu yang berorientasi sosial. Kemungkinan polarisasi masyarakat, sejatinya dapat terbendung melalui pemahaman yang baik mengenai substansi perintah berpuasa bagi kaum muslimin.
Tindakan-tindakan intimidasi, penghakiman sendiri atau dengan istilah populernya saat ini, persekusi, bisa di-counter melalui cara-cara dialog, kompromi dan tenggang rasa sebagaimana kandungan narasi perintah puasa dalam al-Quran. Cara-cara yang lebih etis dalam menghadapi perbedaan ini, merupakan manifestasi berpuasa paling konkrit jika dilihat dari perspektif sosial. (*)
-------------
*) Penulis adalah Ketua GP Ansor Kabupaten Sidoarjo dan mantan Ketua I PW IPNU Jatim.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017