Surabaya (Antara Jatim) - Membiasakan membaca buku kepada anak-anak sejak usia dini penting dilakukan untuk pembentukan karakter anak di masa yang akan datang.

Ada tiga aspek yang harus mampu dipersiapkan bagi generasi Indonesia yang kuat melalui mengasuh, membimbing dan menyediakan perlindungan, mengasah emosi dan membangun kecerdasan intelektual serta spiritual. Dan buku merupakan salah satu fasilitas yang dapat membantu pembentukan hal tersebut.

Namun sayangnya minat baca anak-anak Indonesia kini dinilai rendah, bahkan di kalangan mahasiswa dan pelajar pun masih dianggap belum menggembirakan. Membaca di kalangan masyarakat, khususnya pelajar agaknya belum menjadi kebutuhan pemuas diri yang sangat penting sebagaimana kebutuhan lain seperti makanan ataupun sandang.

Gairah besar untuk melahap bacaan-bacaan apapun yang bermanfaat bagi pemahaman diri tentang sesuatu, mengetahui nilai-nilai, serta meluasnya wawasan kiranya belum dimiliki. Mereka hanya membaca buku-buku pelajaran yang memang diwajibkan atau yang termasuk mata kuliah/pelajaran.

Rendahnya minat baca ini salah satunya terjadi di Kota Surabaya. Menurut anggota Dewan Pendidikan Jatim Isa Ansori hal ini akibat dari meningkatnya warga Surabaya pada kegiatan-kegiatan diluar kegiatan membaca, tetapi masih berkaitan dengan aktifitas pencarian "informasi ".

Berdasar data yang dimiliki oleh Hotline Pendidikan menyebutkan kegiatan melihat TV di kalangan pelajar sekitar 42 persen, berkaitan dengan internet sekitar 38 persen, selebihnya berkaitan dengan koran dan buku.

Potret itu menunjukkan sebuah keniscayaan bergesernya minat baca masyarakat, dari budaya baca buku dan koran menjadi budaya baca melalui internet, begitu juga terjadi pergeseran dari budaya membaca ke budaya melihat.

"Sehingga menurut saya perlu dilakukan paradigma membaca dalam pengertian pencarian informasi, dan hal itu juga akan menjadi keniscayaan program pemkot dalam pengadaan perpustakaan tidak hanya penyediaan bahan baca dalam bentuk cetak, tapi juga harus dalam bentuk digital," kata Isa Ansori.

Hal ini juga diungkapkan Wakil Ketua Komisi D Bidang Pendidikan DPRD Surabaya Junaedi. Ia mengaku prihatin rendahnya minat baca masyarakat Kota Pahlawan dengan dibuktikan minimnya kunjungan warga ke taman bacaan yang ada di lingkungan RW.

Menurut dia, apabila minat baca masyarakat rendah, kualitas SDM juga ikut menurun. Padahal, selain perpustakaan yang ditempatkan di balai RW, PAUD maupun TK, pemerintah kota juga memberikan fasilitas perpustakaan keliling.

Ia belum mengetahui pasti penyebab masyarakat kurang tertarik mengunjungi taman bacaan masyarakat (TBM) maupun perpustaaan yang disediakan pemerintah kota.

Menurutnya, apabila buku yang disediakan kurang menarik, pemerintah kota bisa menjalin kerja sama dengan penerbit atau pihak ketiga untuk menyediakan buku-buku yang bagus dan menarik.

"Atau bisa juga buku yang ada dirolling antarkecamatan dan sebagainya," katanya.

Ia menengarai keengganan masyarakat mengunjungi taman bacaan bisa jadi dipengaruhi oleh perkembangan teknologi di antaranya dengan adanya gadget dan sebagainya.

Namun demikian, lanjut Junaedi, membaca buku dapat meningkatkan intelektual dari pada melalui perangkat lain seperti gadget. "Di sekolah sudah ada program membaca, biasanya sebelum jam pelajaran dimulai. Nah, tinggal di RT dan RW," katanya.

Untuk itu, ia mengharapkan Badan Arsip dan Perpustakaan Kota Surabaya dapat menggerakkan minat baca masyarakat di antarannya dengan menggelar lomba baca di lingkungan masyarakat.

"Programnya sudah bagus, tapi minat baca masyarakat yang masih rendah," katanya.

Pemerintah Kota Surabaya sendiri mengakui bahwa minat baca atau budaya literasi di kalangan anak-anak masih rendah. Hal itu diungkapkan Kepala Bidang Pelayanan dan Informasi Perpustakaan Surabaya Siti Aisyah Agustini.

Ia menuturkan minat baca di Indonesia masih sangat rendah terutama pada era digitalisasi. Menurutnya dari 61 negara, minat baca masyarakat di Indonesia di peringkat ke 60.

"Masyatakat belum siap dengan serbuan digitalisasi. Otomatis masyarakat shock culture, terlebih untuk anak-anak muda. Mereka lebih senang eksis dan selfie. Untuk itu perlu ada upaya pemerintah dalam hal ini," katanya.

Sebelumnya tahun 2012, Pemkot Surabaya sudah mengadakan sistem literasi di sekolah, mulai SD hingga SMA, yaitu 5 menit membaca sebelum pelajaran dimulai.

Untuk era digitalisasi ini, lanjutnya, persiapan pemerintah melalui perpustakaan masih menyediakan e-Book di dua perpustakaan di Surabaya, yaitu Perpustakaan Balai Pemuda dan Perpustakaan Rungkut.

Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mengatakan buku adalah jendela dunia. Dengan membaca buku, wawasan akan bertambah dan juga mampu mendorong kreativitas. Sebab, membaca akan melatih anak untuk berimajinasi dan berpikir kreatif.

"Jangan meremehkan manfaat membaca. Dengan budaya membaca, kita akan menjadi bangsa yang kreatif karena terbiasa mengimajinasikan dan memprediksi apa yang kita baca. Ini yang penting. Sebab, kita harus membangun sumber daya manusia yang bisa survive dalam persaingan global," katanya.

Wali kota peraih penghargaan Ideal Mother dari Universitas Kairo ini menyebut membaca sangat berbeda dengan melihat tampilan visual yang gambar, suara, warna dan penampakan setting tempatnya, sudah terlihat nyata. Ketika membaca, anak akan membayangkan sendiri semua yang dibacanya semisal rupa tokohnya dengan segala wataknya, setting tempat hingga ceritanya.

Kreativitas yang bersumber dari membaca tersebut, lanjut wali kota, akan sangat penting bagi tumbuh kembang anak hingga mereka dewasa. Bahkan, ketika kelak mereka menjadi pemimpin. Mereka akan terbiasa berpikir kreatif untuk memajukan kota/daerah yang dipimpinnya.

"Saya pun kalau tidak rajin membaca sejak kecil, tentunya akan sulit untuk bisa memiliki kreativitas," kata wali kota yang hingga kini rajin membeli dan membaca buku.



Optimalkan Taman Baca



Sebagai upaya menghidupkan budaya literasi, Pemerintah Kota Surabaya saat ini sudah menyediakan lebih dari 1.000 perpustakaan atau taman bacaan di Surabaya yang tersebar di kampung-kampung, sekolah, taman kota, pondok pesantren ataupun mobil keliling.

Tidak seperti di tempat-tempat lain, di mana taman bacaan tidak terawat dan sepi pengunjung, taman bacaan di Surabaya hidup dan menjadi ruang publik. Itu karena taman bacaan di Surabaya dikelola secara profesional dan kreatif oleh para petugas khsusus. Mereka bekerja langsung di bawah Badan Arsip dan Perpustakaan Kota Surabaya.

Salah satu taman bacaan (TBM) yang sampai saat ini banyak pengunjungnya adalah Taman Flora di Jalan Manyar, Surabaya. TBM Taman Flora memiliki lebih dari 2 ribu koleksi bacaan, mulai dari cerita anak, novel, buku agama, hingga buku-buku berbagai keahlian.

Koleksi TBM memang tergolong sedikit bila dibandingkan dengan perpustakaan-perpustakaan besar. Namun, begitulah konsep Pemerintah Kota Surabaya yang ingin membuat taman bacaan dalam ukuran kecil, tetapi dalam jumlah banyak dan mudah dijangkau masyarakat.

Di Taman Flora, selain TBM, ada juga fasilitas Broadband Learning Center atau BLC. BLC merupakan tempat pendidikan komputer dan internet gratis untuk warga Surabaya. Di Surbaya, ada 22 BLC yang tersebar di berbagai sudut Kota Surabaya. Di Taman Flora, TBM dan BLC berbagi ruangan yang sama di bangunan berukuran sekitar 12 x 4 meter.

Kepala Badan Perpustakaan dan Arsip Kota Surabaya Wiwiek Widyawati mengatakan tingkat kunjungan ke perpustakaan rata-rata sekitar 500 perhari khususnya para siswa SD, SMP dan SMA.

"Yang jelas ada kenaikan tingkat kunjungan. Perpustakaan bukan tempat membaca saja, tapi tempat berdiskusi dan aktifitas literasi," ujarnya.

Begitu juga aktifitas TBM di masing-masing RW yang terus diupayakan agar selalu banyak pengunjung. Untuk memaksimalkan TBM di RW, Badan Perpustakaan mendatangkan petugas pendamping agar para pengunjung yang kebanyakan anak-anak bisa diarahkan dengan baik.

"Kalau bicara minat baca, tidak hanya belajar membaca tapi membiasakan membaca. Berarti ada strategi yang dikembangkan oleh para pendamping TBM misalnya program strory telling," katanya.

Strory telling adalah cara yang dilakukan untuk menyampaikan suatu cerita kepada para penyimak, baik dalam bentuk kata-kata, gambar, foto, maupun suara. Story telling sering digunakan dalam proses belajar mengajar utamanya pada tingkat pemula atau anak-anak.

"Jadi anak anak diajak membaca dan menjelaskan isinya serta membuat impian apa yang ada dalam tulisan. Mereka punya mimpi yang bisa ditransformasikan dalam bentuk tulisan," katanya.

Tidak hanya itu, lanjut dia, pihaknya mendorong semua TBM menyediakan bimbingan belajar untuk siswa SD kelas 1 sampai 6. "Kami upayakan agar pendamping TBM bisa melakukan itu," katanya.

Salah satu pengelola TBM Kelurahan Putat Jaya Juni Pustiom mengatakan warga di wilayahnya saat ini minat bacanya mulai bangkit. Para ibu dan anak di wilayah Putat Jaya yang banyak kehilangan mata pencaharian pascaditutupnya Gang Dolly mulai senang berlama-lama menghabiskan waktu dengan membaca di TBM yang dikelolanya.

"Saya dituntut untuk selalu membuat program baca yang menarik sehingga warga Putat Jaya semangat banyak yang memanfaatkan dan mengakses TBM," katanya.

Untuk itu, ia mengaku senang bisa mengikuti mini workshop bertema "Mengembangkan Budaya Baca dan Keterampilan Membaca" yang digelar oleh Gramedia bersama dengan USAID PRIORITAS dan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Surabaya beberapa waktu lalu.

Ia mendapatkan materi tentang bagaimana mengembangkan budaya baca di TBM dan bagaimana mengajarkan keterampilan membaca kepada para pengunjung TBM yang rata-rata merupakan anak-anak dan ibu-ibu.

"Pelatihan inilah yang selama ini dibutuhkan dimana dalam pelatihan ini kami diajarkan langsung bagaimana membuat program-program tentang budaya baca dan belajar teknik dan keterampilan membaca yang baik," katanya. (*)

Pewarta: Abdul Hakim

Editor : Endang Sukarelawati


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017