Pagi itu, Roin Umayah (12) bergegas mengenakan sepatu dan meraih tas berisi beberapa buku untuk selanjutnya berangkat menuju kelas darurat di Masjid Ibadus Sholihin. Jaraknya sekitar 50 meter dari bangunan sekolahnya SD Negeri Banaran yang kini dijadikan posko logistik bantuan bencana tanah longsor.

Setelah berpamitan dan mencium tangan bapak-ibunya, seperti juga kebiasaan anak-anak lain sebagai simbol kasih sayang dan bakti terhadap orang tua, Roin pun berangkat sekolah dengan "semangat 45".

Wajahnya berbinar dan langkahnya dipercepat. Bungsu dua bersaudara ini sedikit terburu karena waktu sudah menunjuk pukul 07.00 WIB.

Rupanya gadis cilik ini tak ingin terlambat dan ingin cepat sampai untuk bergabung dengan teman-temannya mengikuti aktivitas belajar-mengajar yang dia yakini bakal berjalan menyenangkan.

Seluruh siswa dari kelas 1 sampai VI digabung jadi satu di teras masjid Ibadus Sholihin.

"Tak mungkin pelajarannya serius (berat)," gumam Roin pada teman sekolahnya saat berjalan menuju tempat pembelajaran di kelas darurat masjid Ibadus Sholihin.

Ya, hari itu adalah hari kedua masuk sekolah sejak peristiwa longsor besar menerjang puluhan rumah di kampung halamannya, Dusun Tangkil, Desa Banaran, Kecamatan Pulung, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur.

Ingatan Roin masih membekas jelas bagaimana detik-detik longsor mengubur rumah dan warga kampungnya.

Putri pasangan Suyatno dan Siti Fayati ini selamat karena terjangan longsor berhenti tepat di depannya, sekitar 25 meter dari ia saat itu berdiri terpaku melihat orang-orang sudah berhamburan lari menyelamatkan diri.

"Saat kejadian, saya sedang berjalan keluar sekolah yang sedang istirahat menuju rumah teman kelas, Alvian Salsabila Desfira Firdaus yang tidak pernah mau masuk sekolah tiap hari Sabtu," tutur Roin.

Ia menolak saat itu berniat membolos meski menurut keterangan guru, saat kejadian longsor pada Sabtu (1/4) pukul 07.30 WIB bersamaan dengan jam awal masuk kelas. "Saya mau jemput Alvian untuk diajak (masuk) sekolah," ucapnya.

Sadar ada bahaya datang, Roin pun ikut lari ke tempat lebih tinggi mengikuti penduduk. Gadis kecil inipun selamat, dan mendapati bapak-ibunya juga selamat sesampainya di penampungan sementara rumah bapak kepala desa, Sarnu.

Semua ingatan tersebut masih mencekam. Namun, siswi kelas VI SDN Banaran ini mengaku ingin sekali melupakan.

Ia senang sekali saat diberitahu guru bahwa sekolah masuk lagi mulai Selasa (4/4) menggunakan kelas darurat di teras masjid Ibadus Sholihin.

Masjid ini posisinya berada di zona aman karena lokasinya cukup tinggi dan tak berada di jalur longsor.

Berbeda dengan gedung sekolah SDN Banaran. Kendati posisi gedung sekolah ini tiga meter di atas jalan desa yang ada persis di sisi depan, tempat Roin dkk menimba ilmu ini ada di atas jalur patahan yang bisa menjadi alur longsor.

"Pokoknya senang lah, karena akhirnya bisa masuk sekolah lagi," ucap Roin diikuti sahut celoteh rekan-rekannya yang saat itu mengikuti kegiatan belajar-mengajar membuat hasta karya di kelas darurat.

Rona kesedihan tak tampak dari wajah-wajah siswa yang saat itu masuk. Semua terlihat asyik mengikuti beberapa program bermain, bernyanyi ataupun berlatih keterampilan origami yang dipandu beberapa guru kelas SDN Banaran.

Dari total 50-an siswa yang hadir dan masuk program kelas darurat hari kedua, memang tak satupun yang rumah atau keluarganya menjadi korban langsung bencana longsor.

Hanya Roin Umayah yang rumahnya ikut terdampak karena berada di ring 1 rawan longsor.

Kendati saat ini rumah mereka masih berdiri utuh dan keluarganya selamat, Roin dan keluarga harus ikut mengungsi untuk menghindari longsor susulan.

Sementara 11 siswa yang menjadi korban terdampak langsung dan mengungsi di sejumlah rumah penampungan warga, tak satupun masuk sekolah mengikuti kegiatan belajar-mengajar yang diadakan guru SDN Banaran.

"Mereka tidak mau sekolah. Teman-teman kami di pengungsian sudah ada kegiatan sendiri (trauma healing) di sana bersama kakak-kakak pendamping," kata Laras Nailasari, siswa kelas IV yang ikut berbaur dengan Roin dan kawan-kawan.

Jumlah siswa SDN Banaran keseluruhan ada 170 anak. Menurut keterangan salah satu guru sekolah, Sudjarsijo sebagian besar siswa belum masuk sekolah karena ikut mengungsi ke rumah-rumah saudaranya di sekitar Desa Banaran maupun luar desa.

Informasi mengenai penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar di kelas darurat menurut dia telah diinformasikan ke seluruh wali murid secara langsung maupun "getok tular" (dari mulut ke mulut). Namun, rupanya tak semua segera masuk sekolah lagi.

"Tidak apa-apa. Penyelenggaraan KBM ini lebih ditujukan untuk menjaga semangat siswa agar tidak terus dirundung trauma oleh dampak bencana yang terjadi. Hari ini sudah ada peningkatan jumlah siswa yang masuk dari sebelumnya 30 siswa menjadi 50 siswa, itu sudah pertanda baik," imbuh Sudjarsijo.

Ia memastikan, sesuai petunjuk Unit Dinas Pendidikan Kecamatan Pulung sebelumnya, penyelenggaraan KBM di kelas darurat akan dilakukan hingga tiga pekan ke depan.

Evaluasi penyelenggaraan KBM di kelas darurat akan diputuskan setelah status darurat bencana tanah longsor di Desa Banaran dicabut oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah Ponorogo.

"Trauma Healing" Anak Pengungsi
Selain aktivitas sekolah yang kembali berlangsung di kelas darurat masjid Ibadus Sholihin, keceriaan juga tampak singgah di posko penampungan pengungsi di rumah Kades Banaran Sarnu.

Di teras rumah kades Sarnu yang hanya berukuran 3 x 4 meter itu, tak kurang dari 25 anak pengungsi dari berbagai usia mengikuti aneka permainan yang diselenggarakan lintaskomunitas peduli secara bergantian.

Mulai dari ormas perempuan, LSM peduli anak, kelompok pengajian, kelompok mahasiswa, PGRI bidang studi bimbingan dan penyuluhan atau BK, persatuan istri tentara atau Persit, hingga polwan peduli bencana yang dibentuk khusus oleh Polres Ponorogo.

Silih-berganti kelompok komunitas peduli ini terus mencoba menghibur anak-anak pengungsi dengan cara bermain, dialog, belajar berhitung bersama, hingga lomba kecil-kecilan dengan hadiah snak cokelat atau jenis makana ringan yang disukai anak-anak.

Roin Umayah yang siang itu pulang dari sekolah pun tak mau ketinggalan. Ia segera bergabung dengan anak-anak pengungsi lain setelah berganti pakaian seragam dengan baju santai.

"Ayo, yang lain mulai besok ikut sekolah juga ya," bujuk salah satu polwan peduli Bripka Ratna Indah Ika kepada anak-anak pengungsi mencoba menyemangati.

Namun, anak-anak pengungsi rupanya masih larut dalam suasana ceria permainan dengan beberapa pendamping yang mengajak mereka simulasi permainan.

Ajakan bersekolah pun mereka jawab sambil lalu dengan mengikuti aneka "game" (permainan) yang sedang diperankan bersama para pendamping. "Iyaaa..., besok sekolahnya di sini saja," sahut salah satu anak disambut tawa kecil anak-anak pengungsi lain di dekatnya.

Keceriaan yang dirasakan anak-anak pengungsi itu, seakan kontras dengan wajah mendung ibu-ibu pengungsi yang duduk di teras belakang tempat kegiatan "trauma healing" tersebut.

Pengungsi dewasa yang rata-rata ibu-ibu itu hanya duduk diam sembari memandangi anak-anak pengungsi terus bermain sampai beberapa kecapekan dan tiduran manja di pangkuan Bripka Ratna.

"Sekarang anak-anak lebih segar wajahnya, tidak seperti pada hari pertama dan kedua. Bahkan ada satu dua anak, seperti kasus Intan Larantika Putri yang sempat murung terus pascakejadian. Informasi dari warga pengungsi, rupanya ibu dan adiknya ikut jadi korban dan belum ditemukan," tutur Bripda Rahma.

Namun, setelah terus diajak bermain dan dihibur oleh Bripka Ratna dan beberapa pendamping dan pengungsi lain, Intan yang sesekali masih menangis sedih perlahan mulai ceria.

Ia bahkan tak pernah absen dari kegiatan trauma healing yang dilakukan para pendamping peduli anak-anak korban bencana longsor di Desa Banaran itu.

Relawan trauma healing dari Nasyi'atul Aisiyah Jawa Timur Aini Sukriah mengusulkan agar anak-anak pengungsi mendapat pendampingan secara kontinyu dari pagi, siang hingga malam.

Menurut pengalaman Aini yang pernah ikut pendampingan program trauma healing anak pengungsi Gunung Kelud di Blitar, Jawa Timur itu, anak-anak pengungsi korban longsor di Desa Banaran itu masih sulit menerima kenyataan ditinggal orang tuanya yang menjadi korban longsor.

"Ada baiknya program-program trauma healing dilakukan pagi, siang dan malam dengan konsep berbeda-beda supaya anak-anak ini tegar dan bisa melewati masa-masa kritis trauma bencana," katanya.

Aini berasumsi, anak-anak pengungsi masih akan menjalani masa transisi dalam hidup mereka tanpa orang tua atau sebagian keluarga dalam waktu lama.

Nestapa bencana tidak akan luruh begitu saja dan membekas dalam di dalam kehidupan anak-anak pengungsi tersebut.

Mereka juga masih akan berada di penampungan pengungsi hingga relokasi dilakukan, sehingga perlu didampingi secara intens, tutur Aini.

Fungsi dan tujuan kegiatan trauma healing yang dilakukan di sekolah maupun di posko penampungan pengungsi adalah untuk menguatkan mental dan fikiran anak-anak korban bencana tersebut agar tidak terus larut dalam suasana duka berkepanjangan.

Mereka harus kuat dalam menerima kenyataan sehingga ke depan bisa membangun kembali pemukiman leluhurnya sehingga makmur sentosa. "ayem tentrem loh jinawi" (aman tenteram dan sejahtera).(*)
Video oleh: Destyan S



Pewarta: Destyan H. Sujarwoko

Editor : Chandra Hamdani Noer


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017