Surabaya (Antara Jatim) - Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Majelis Wilayah Jatim menilai perlunya meneguhkan kembali nasionalisme ekonomi bangsa pada 2017 sebagai upaya menghadapi sistem ekonomi pasar yang dibangun secara masif oleh asing dan pemilik modal.
     
"KAHMI Jatim adalah bagian dari masyarakat yang merasakan kian timpangnya perekonomian nasional meski dari tahun ke tahun pertumbuhannya (growth)  secara umum nampak baik," kata Koordinator KAHMI Majelis Wilayah Jatim Akmal Boedianto saat menggelar diskusi dengan tema "Menyongsong Tahun 2017, Meneguhkan Nasionnalisme Ekonomi Bangsa" di Surabaya, Minggu.
     
 Menurut dia, pada 1 Juni 1945, dalam pidatonya Bung Karno berpesan, cita-cita mendirikan suatu negara adalah untuk semua, bukan untuk golongan tertentu (bangsawan atau golongan kaya). Pasca-kemerdekaan, cita-cita itu menjadi jiwa konstitusi UUD 1945 yang menegaskan mengenai prinsip keadilan sosial, kesejahteraan, pemerataan dan kemakmuran bagi semua.
     
 Namun, lanjut dia, jiwa konstitusi itu diselewengkan oleh penyelenggara negara, sehingga cita-cita mewujudkan kesejahteraan bangsa, kian jauh api dari panggang. Kekayaan dan kemakmuran hanya menjadi milik beberapa orang saja, baik dari kalangan elit pengusaha maupun elit penguasa.
     
Kini, setelah 14 tahun reformasi berjalan, keadaan tidak banyak berubah. Kemakmuran dan penguasaan aset ekonomi tetap menjadi milik sebagian kecil orang, sebagian lainnya milik asing. "Disparitas sosial-ekonomi masyarakat kian hari kian mengkhawatirkan," katanya.
      
Menurut Majalah Forbes, lanjut dia, nilai aset 10 orang terkaya Indonesia pada 2015 mencapai Rp550 triliun. Pada 2016, Forbes menyebut  150 orang terkaya Indonesia menguasai aset Rp1.800 triliun. Nilai itu akan lebih besar jika jumlah orang terkaya diperluas menjadi 300 orang.
     
 Akumulasi aset ekonomi sebagian kecil orang itu tidak seluruhnya dihasilkan dari persaingan usaha, tetapi ada juga yang diraih melalui political connections antara pengusaha dan penguasa (ekskutif maupun legislatif). Persekongkolan bukan hanya terjadi pada praktek bisnis di lapangan, tapi sudah dimulai sejak perancangan, pembahasan dan pematangan mengenai regulasi bisnis itu sendiri.
     
Puluhan Undang-undang terkait ekonomi bisnis, hampir seluruhnya lepas dari jiwa UUD 1945. Konstitusi dan regulasi terbukti lebih banyak memberi ruang kepada pemilik modal dan asing untuk menguasai aset-aset ekonomi/bisnis. 
     
Eksistensi UU terkait sektor keuangan, investasi, agraria, telekomunikasi, minyak dan gas bumi, perbankan, terkait industri dan sektor jasa tertentu, minerba, kepemilikan properti, dan UU lainnya, kian tergerus nilai nasionalisnya. 
     
"Dari sinilah makin kelihatan betapa repuhnya nasionalisme ekonomi bangsa," katanya. 
     
 Menurutnya, cita-cita dan jiwa konstitusi kian tidak berdaya menghadapi sistem ekonomi pasar yang dibangun secara masif oleh asing dan pemilik modal. Belum lagi tren pergaulan dunia yang cenderung mendikte sebuah negara untuk mengikuti (ratifikasi) kesepakatan internasional mengenai perdagangan bebas dan tata-cara berbisnis maupun investasi, baik dalam konteks regional Asean (MEA) maupun zona ekonomi/bisnis dunia lainnya.
     
 "Kondisi ini kian hari kian memprihatinkan, dan telah menjadi perhatian banyak pihak di tengah terus bertumbuhnya angka kemiskinan," katanya.
     
 Salah satu pembicara sekaligus pakar ekonomi Achmad Cholis Hamzah mengatakan semua presiden Indonesia dari zaman Soekarno hingga Jokowi selalu terbuka terhadap investasi asing.
     
 "Investor terbesar di Indonesia adalah bidang pertemabngan elektronik dan properti adalah Singapura, disusul Jepang, China, Hongkong, Belanda, Malaysia, Korea dan Amerika," katanya.
     
 Ia mengatakan sektor lain Amerika kalah dengan Singapura, namun politik luar negeri, Amerika tetap mengasai. Meski demikian, Indonesia perlu menyiapkan diri terkait adanya investasi tersebut agar tidak adanya kesenjangan ekonomi di dalam negeri. (*)

Pewarta: Abdul Hakim

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2017