Trenggalek (Antara Jatim) - Perajin tenun ikat tradisional di Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur, mengaku mulai kewalahan melayani permintaan/pesanan pasar yang terus meningkat sementara kemampuan produksi terbatas.
    
"Kendalanya ada di tenaga kerja. Kami masih kesulitan mendapat SDM (sumber daya manusia) untuk membantu melakukan beberapa tahapan proses pembuatan tenun ikat," kata Rohmad Ismal, perajin tenun ikat tradisional di Desa Bulu Agung, Kecamatan Karangan, Kabupaten Trenggalek, Jumat.
    
Rohmad yang juga PNS di lingkup Dinas Kesehatan Trenggalek merupakan satu-satunya perajin tenun ikat yang memproduksi menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM).
    
Ia mengaku memiliki bakat menenun secara turun-temurun yang diwarisi dari orang tuanya di Kediri, lalu dikembangkannya di tempat tinggalnya saat ini di Trenggalek bersama sang istri.
    
Produksi kain tenun telah dilakoninya sejak beberapa tahun terakhir, setelah beberapa lama vakum, demi menjaga dan melestarikan tradisi menenun di garis keluarganya, kata Rohmad.
    
"Selain senang menjalaninya, hasilnya juga lumayan. Saya biasanya melakukan proses pembuatan kain tenun sore hari, sepulang kerja sekitar pukul 15.00 WIB, atau setiap waktu senggang di hari libur," ujarnya.
    
Bermula dari sekAdar menyalurkan hobi dan melayani permintaan terbatas rekan-rekan kerjanya, Rohmad mengaku beberapa bulan terakhir pesanan terus meningkat.
    
Tidak hanya dari lingkup kedinasan dan jajaran struktural maupun fungsional Pemkab Trenggalek, kain tenun khas Trenggalek yang dijualnya dengan harga di kisaran Rp150 ribu hingga Rp200 ribu per lembar itu kini pesanan juga datang dari luar kota.
    
"Saya dan istri saya memang mencoba memasarkan produk tenun ikat kami melalui sejumlah media sosial, seperti facebook, twitter, instagram, whatsapp, dan sebagainya. Alhamdulillah respon pasar lumayan bagus," kata Rohmad.
    
Masalah muncul lantaran tingginya permintaan tidak sebanding dengan kemampuan produksi mereka, batik tenun ikat ATBM khas Trenggalek "Telaga Sari".
    
"Satu kain tenun bisa diproduksi antara satu sampai dua hari. Kalau full dikerjakan bisa sehari sebenarnya, tapi dengan jumlah pesanan banyak tentu butuh hingga sebulan seperti order dari Puskesmas Dongko yang memesan 40 potong," katanya.
    
Rohmad saat ini sedikit terbantu dengan adanya satu kerabatnya asal Gandusari yang sudah dia latih menenun secara profesional.
    
Namun dengan volume pesanan yang terus datang, Rohmad mengaku masih butuh beberapa tenaga kerja baru karena dalam proses pembuatan kain tenun ada 13 tahap yang dilalui, mulai memilah benang, memberi warna dasar, pembuatan pola, memintal, memasang 3200 helai benang dalam alat tenun tradisional atau ATBM, hingga proses akhir penenunan.
    
"Mencari tenaga kerja yang paling susah, terutama kalangan remaja karena menganggap kegiatan menenun seperti rumit dan melelahkan. Anggapan itu tidak sepenuhnya benar, karena sebenarnya bisa dikerjakan dengan santai apalagi kami berlakukan pemilahan bidang garapan," ujarnya.(*)

Pewarta: Destyan H. Sujarwoko

Editor : Masuki M. Astro


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016